Headlines
Loading...
Korupsi Menggurita, Apakah RUU Perampasan Aset Mampu Membasminya?

Korupsi Menggurita, Apakah RUU Perampasan Aset Mampu Membasminya?

Oleh. Siti Nur Rahma

Aktivitas korupsi tak ubahnya seperti lintah penghisap darah. Tak berhenti menghisap hingga gendut kekenyangan. Para koruptor di sistem kapitalis liberal tak akan berhenti menghisap dana rakyat dan negara. Tak ayal, nikmatnya korupsi terus digadang-gadang. Lantas, kapankah budaya korupsi ini akan berujung?

Dilansir dari tirto.id, terdapat pelanggaran kasus korupsi yang dilakukan oleh bupati Kapuas pada bulan Maret lalu. Hal ini merupakan bentuk lemahnya pengawasan terhadap politik uang yang biasa dilakukan oleh pejabat yang menyalahgunakan wewenang.

Dikutip dari antaranews.com, pada 31 Maret 2023 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cekal 10 tersangka dalam penyidikan kasus dugaan  korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun anggaran 2020-2022. 

Ide perampasan aset bagi tindak pidana korupsi kembali diusung sebagai solusi masalah korupsi di negeri ini. Namun, sejak Indonesia menandatangani konvensi RUU Perampasan Aset pada tahun 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2006 tidak ada kejelasan hingga kini.

Salah satu arti penting ratifikasi itu adalah untuk meningkatkan kerja sama secara internasional. Aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri akan dilacak, dibekukan, disita dan dikembalikan ke dalam negeri. Sehingga diharapkan mampu meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.

Namun, upaya yang dilakukan masih dalam batas rancangan yang tak kunjung ada kejelasan. Sedangkan gurita korupsi semakin membesar. Terjadilah tindak pidana korupsi yang merajalela hingga menimpa para pejabat dan ASN. Sungguh, Indonesia darurat korupsi.

Adapun faktor utama yang mendorong tindak korupsi yang dilakukan oleh para pejabat salah satunya adalah politik yang berbiaya tinggi. Para pejabat melakukan tindak pidana tersebut  untuk mengembalikan modal ketika hendak menduduki kursi pemerintahan.

Selain faktor tersebut, manusia yang hidup di dunia kapitalis liberal membuat hawa nafsunya membuncah untuk sesegera mungkin dipenuhi gaya hidup hedonis dan konsumtif. Barang mewah yang begitu menyilaukan, sungguh membuat para koruptor ingin lagi dan lagi menjadi tikus berdasi untuk memperoleh cuan yang lebih banyak.

Bahkan, sifat jujur dan amanah kian tergerus di sistem sekularisme dan kapitalisme ini. Pemangku kebijakan tak lagi menjadikan iman dan takwa sebagai orientasi amalnya. Sebagian besar tergerus oleh arus sekularisme dalam amal perbuatannya yakni menjauhkan nilai agama dalam kehidupan dunia. Tak ayal, rasa takut dan senantiasa diawasi oleh Sang Maha Tahu seakan sirna saat melakukan maksiat, sebab tak ada kesadaran dalam setiap amal perbuatannya bahwa kelak akan dihisab di akhirat.

 RUU Perampasan Aset Tindak Pidana apakah efektif AZ membasmi gurita korupsi hingga ke seluruh pelosok negeri? Dengan sederet faktor pemicu korupsi tersebut agaknya butuh solusi menyeluruh agar budaya korupsi sirna dan mampu dicegah untuk muncul kembali.

Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia menjadi solusi bagi setiap permasalahan hidup manusia. Islam sebagai aturan hidup yang sempurna lagi paripurna akan memberikan tindakan preventif dan kuratif dalam mengatasi masalah korupsi yang tak kunjung usai.di negeri ini.

Secara preventif, dalam Islam terdapat langkah awal yang dilakukan untuk membentuk kepribadian dalam diri manusia yang khas. Yakni dengan menanamkan akidah Islam pada setiap individu agar terbentuk pola pikir dan pola sikap Islam yang akan mencegah seseorang bertindak kriminal, termasuk korupsi.

Dalam sistem sosial masyarakat diterapkan syariat Islam secara menyeluruh hingga terbentuk kebiasaan amar ma'ruf nahi munkar. Tindakan saling nasihat menasihati dan senantiasa beramal saleh akan membuat masyarakat saling menjaga. Jika terdapat indikasi korupsi dalam masyarakat, maka masyarakat akan melaporkan pada pihak yang berwajib untuk ditindak lanjuti.

Pihak berwenang juga perlu melakukan pengecekan harta pejabat dalam periode tertentu. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penimbunan harta hasil korupsi yang luput dari pengawasan. Sehingga dapat dikontrol kekayaan pejabat dari harta yang didapat bukan dari gaji.

Dalam sistem aturan hidup Islam terdapat Badan Pemeriksaan Keuangan yang bertujuan untuk mengetahui tindak kecurangan yang terjadi di instansi pemerintahan. Pengawasan yang ketat dapat dilakukan dengan adanya Badan Pemeriksaan Keuangan tersebut, seperti yang telah dicontohkan oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khattab ra. Beliau mengangkat pengawas keuangan, Muhammad bin Maslamah yang bertugas mengawasi kekayaan pejabat pemerintah.

Sementara itu, hukum Islam yang bersifat kuratif akan diterapkan kepada pelanggaran yang terjadi di masyarakat. Sistem sanksi yang bersifat jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah dan memberi efek jera) akan mampu memberantas tuntas budaya korupsi. 

Dengan sifat penebus dosa, seorang muslim akan tidak dikenakan sanksi akhirat tersebab negara Islam telah menjatuhkan sanksi uqubat saat di dunia. Sedangkan sifat pemberi efek jera (zawajir) akan mencegah perilaku tindak kriminal terulang. Sebab masyarakat dalam negara Islam akan berpikir ulang untuk melakukan maksiat dengan sanksi takzir (seperti: penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati) yang dikenakan.

Jika jelas terdapat sistem sanksi yang mampu membasmi gurita korupsi di negeri ini hingga tuntas, mengapakah masih membahas RUU Perampasan Aset sebagai wacana untuk mengatasi tindak pidana korupsi? Wallahu'alam bissawab. [My].

Baca juga:

0 Comments: