Headlines
Loading...
Oleh. Zahrah (Aktivis Dakwah Kampus)

Korupsi masalah yang mungkin mustahil diselesaikan dalam sistem sekularisme kapitalisme saat ini. Bagaimana tidak, beragam kasus korupsi bermunculan bahkan semakin ke sini semakin bertambah dari segi kualitas dan kuantitasnya. 

Kasus korupsi kembali ditemukan, baik oleh pejabat, anggota dewan atau ASN, bahkan dilakukan secara berjemaah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mencekal 10 tersangka kasus korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun anggaran 2020—2022 ke luar negeri. Modusnya kali ini dengan sengaja memasukkan angka tukin yang akan ditransfer ketika ditanya mereka ngeles dengan mengatakan ini tipo. (Antaranews)

Kasus lainnya, dilakukan oleh pasangan suami istri, Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S. Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni Ben Bahat. Keduanya diduga menerima fasilitas dan sejumlah uang dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemkab Kapuas dan beberapa swasta demi keperluan kontestasi politiknya dan juga memenuhi kebutuhan pribadinya. 

Di tengah mengguritanya kasus korupsi muncul kembali pembahasan UU Perampasan Aset Tindak Pidana setelah Menko Polhukam Mahfud MD meminta permohonan khusus kepada komisi III DPR ketika membahas transaksi janggal senilai Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan. Beragam tanggapan bermunculan, ada yang setuju, ada juga yang menunggu "bos" partai setuju baru bisa disahkan. 

Fakta-fakta ini menjadi bukti bahwa korupsi sudah mengakar dan membudaya di negeri ini. Sehingga sangat sulit untuk diberantas. Diperparah lagi dengan lemahnya sistem hukum dan pengawasan negara terhadap pejabat yang korup. Kalaupun RUU Perampasan Aset Tindak Pidana disahkan menjadi UU, para tikus berdasi punya kemungkinan besar lolos dari jerat hukum. Kalaupun terjerat hukumannya akan ringan, seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. 

Hal ini lumrah terjadi dalam sistem politik sekularisme  Tingginya mahar politik yang harus dibayarkan ketika menghadapi kontestasi politik harus diganti ketika menang pemilu dan menjabat. Cara paling gampang balik modal adalah dengan korupsi. Semakin tinggi jabatan yang diraih, semakin besar ongkos politiknya, maka akan semakin besar pula potensi korupsinya. 

Ditambah lagi dengan sifat hedonis dan konsumtif para pejabat dan keluarganya. Semakin memperbesar potensi korupsi para pejabat negara. 

Sistem hari ini telah melahirkan pejabat korup dengan gaya hidup hedonis. Jauh berbeda dengan sistem Islam. Sebab sistem Islam langsung dari sang Pencipta, Allah Swt. sedangkan sistem politik sekularisme buatan manusia yang penuh dengan kecacatan. 

Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah Swt. memiliki aturan yang sangat lengkap dalam mengatur kehidupan manusia. Termasuk dalam menangani kasus korupsi. Islam memiliki upaya preventif dan kuratif. Upaya preventif yang dilakukan diantaranya menguatkan akidah kaum muslimin per individu. Penanaman akidah yang kuat akan mencegah seseorang bermaksiat. Selain individu, masyarakat juga  akan terbentuk ruh keislamannya dengan selalu beramar makruf nahi mungkar. Masyarakat akan menjadi peka terhadap kemaksiatan dan akan langsung melaporkan kepihak yang berwajib. Negara juga secara berkala akan memeriksa harta kekayaan para pejabat. Sebab, dalam sistem Islam ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat. 

Dalam aspek kuratif, negara akan menerapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku korupsi. Untuk kasus korupsi, pelakunya dikenai sanksi takzir, yakni Khalifah yang berwenang menetapkannya. Sanksi takzir bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati. Dengan sanksi ini, masyarakat akan berpikir seribu kali jika berniat untuk korupsi. 

Seperti itulah cara Islam dalam mengatasi kasus korupsi. Maka, korupsi hanya bisa diberantas jika Islam diterapkan secara kafah oleh negara   yang menerapkan Islam kafah. Wallahualam bisshowwab. [CF].

Baca juga:

0 Comments: