Headlines
Loading...
Oleh. Yosidarina Parwitasari

Anak seorang mantan pejabat pajak menganiaya pemuda berusia 17 tahun secara sadis. Bahkan hingga saat ini kondisi korban masih juga belum ada perkembangan yang signifikan, walaupun sudah menunjukkan responnya ketika ada orang yang datang.

Dalam penganiayaan tersebut, MD sebagai pelaku utama, SL, teman MD, yang memvideokan kejadian tersebut dan AG , pacar MD, menonton penganiayaan itu sambil merokok. Mulai dari perintah push up 50 kali, menginjak kepala korban dan melakukan tendangan bebas (free kick) ke arah kepala korban. Bahkan saat korban makin tak berdaya, MD melakukan selebrasi ala Cristiano Ronaldo. Seolah-olah ia merasa telah memenangkan pertandingan. 

Merasa Lolos dari Jeratan Hukum

Alasan pacar dilecehkan merupakan penyebab terjadinya penganiayaan yang sangat brutal tersebut. Hal ini menunjukkan fenomena betapa mudah generasi kita berbuat sekehendak hati tanpa berpikir dampaknya. Emosi sesaat telah menguasai hawa nafsu, sehingga kesadisannya sungguh-sungguh tak terbayangkan oleh kita yang masih bisa berpikir sehat. Perbuatan baik atau buruk menurut standar pemikirannya sendiri, sama sekali tak melibatkan agama sebagai standar perbuatannya.

Ditambah lagi dengan harta berlimpah yang dimiliki orang tua, merasa bisa membeli segalanya. Termasuk merasa bisa lolos dari jeratan hukum, seperti biasanya. Hak-hak istimewa yang selama ini didapatkan, misalnya kepemilikan kendaraan bermotor tanpa surat yang sah, masuk kawasan Bromo dengan mobil pribadi yang melanggar peraturan dan ugal-ugalan mengendarai motor Harley-nya tanpa bisa ditindak. Hal inilah yang membuatnya merasa lagi-lagi akan lolos dari jeratan hukum.
Kuasa hukum korban, Mellisa menuturkan, Mario sengaja menyebarkan video penganiayaan David sebagai bentuk arogansinya. Mungkin, imbuh Mellisa, dia berpikir akan lolos dari jerat hukum. (Kompas TV, 23 Maret 2023).

Salah Asuhan Berakibat Fatal

Orang tua yang selalu memanjakan anak dengan memberikan apapun permintaannya dan memudahkan semua keinginannya, akan membentuk jiwa fight yang lemah bahkan cenderung tak berempati pada kondisi sekelilingnya. Ia akan sibuk dengan kesenangannya sendiri, sibuk mengeluh dan tak mampu berpikir rasional.

Anak yang tak pernah menemui masalah, lebih dikuasai hawa nafsu dan perasaannya sendiri, karena tak pernah belajar mencari solusi yang mampu menyelesaikan masalah, bahkan cenderung mencari solusi yang dapat menimbulkan masalah baru.

Mendidik anak bukan hanya membimbingnya, tapi juga memberikan contoh nyata karena orang yang mengasuhnya berperan sebagai role model. Karena itulah sebaik-baik pengasuh dan pengurus anak adalah orang tuanya sendiri. 

Termasuk juga orang tua memperoleh harta dengan cara halal atau haram akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku anak. Begitu mudahnya orang tua mendapatkan harta berlimpah dengan kecurangan, membuat anak berpikir hal yang sama. Ia akan berpikir, jika orang tua bisa melakukan kejahatan dengan mudah, maka ia pun bisa. Apalagi dengan harta berlimpahnya itu ia akan mudah memenuhi semua keinginannya. Sehingga ia merasa tak ada lagi yang bisa menghalangi segala perbuatan buruknya. Seperti dalam kasus ini adalah kekerasan dan perbuatan yang mendekati zina.

Perolehan harta haram akan saling berkorelasi dengan pola pikir dan perbuatan dosa. Semakin dekat dengan kemaksiatan, akan semakin jauh dari Allah.

“Barang siapa yang mengambil hak milik orang Muslim dengan menggunakan sumpah, maka Allah akan mewajibkannya masuk neraka dan diharamkan masuk surga. Seorang bertanya, Walaupun barang yang kecil, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Walaupun sepotong kayu arok.” 
(HR Muslim, Nasai, ad-Darami dari Abu Umamah).

Salah asuhan bukan hanya dalam keluarga, tapi juga ketika pemuda kita melihat para penguasa saling sikut untuk menjatuhkan lawan politiknya demi meraih harta dan jabatan. Bekerja sama dalam kemunkaran menjadi hal yang biasa. Generasi seperti apa yang diharapkan dari kerusakan ini?

Menciptakan Suasana Keimanan

Generasi yang taat tak hanya dibentuk dalam lingkup keluarga, tapi juga butuh peran negara. Kebijakan negara menerapkan pendidikan Islam merupakan upaya membentuk generasi menjadi manusia seutuhnya. 

Yaitu generasi yang tumbuh dengan ilmu pengetahuan dan adab dalam menjalani kehidupan. Sehingga mereka mampu mengeluarkan segala potensinya dengan selalu merasa terikat dengan hukum syara. 

Suasana keimanan harus diciptakan secara bersama-sama, karena manusia adalah makhluk sosial. Yaitu adanya ikatan timbal balik dengan manusia lain. Kebaikan atau keburukan di lingkungannya akan mudah diadopsi oleh seseorang tanpa bisa memilah halal atau haram jika tak dilandasi akidah yang kuat.

Terbukti bahwa sistem sekuler saat ini telah gagal menanamkan akidah yang sahih. Pertanyaan mendasar pun tak akan mampu terjawab sebagai visi misi hidup sesungguhnya, seperti:
1. Darimana ia berasal?
2. Untuk apa ia hidup?
3. Akan kemana setelah mati?

Menurut ustaz Hanif Kristianto yang juga seorang penulis, jika tiga pertanyaan ini tidak dipahami, maka generasi kita:
• Tidak menjadikan agama sebagai dasar perbuatan.
• Tidak menjadikan Rasulullah Saw sebagai panutan yang mulia.
• Perbuatannya menjadi lepas kendali dan tak terkontrol, sehingga beraktivitas penuh dengan kebebasan.

Dampak dijauhkan generasi dari agama sangat memprihatinkan dan makin tak terkendali. Antara lain, krisis moral dan etika (melawan orang tua dan guru), perzinahan, bullying, pencurian, pembunuhan, bunuh diri dan hedonis. 

Padahal sejatinya pemuda sebagai tonggak perubahan, yaitu melanjutkan perjuangan untuk mengembalikan Islam sebagai pedoman hidup seperti yang dicontohkan Rasulullah Saw.

Pastinya... bagi orang tua, anak adalah investasi dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishawab. [YT]

Baca juga:

0 Comments: