Headlines
Loading...
Oleh. Surya Ummu Fahri
(Pengamat Sosial)

Siapa yang tak kenal dengan sebutan kang OJOL alias ojek online? Dengan khas jaketnya yang mencolok, helm dan atributnya yang lengkap plus aplikasi yang tinggal pesan langsung datang. Tak perlu berjalan ke pangkalan layaknya tukang ojek zaman dahulu. Tak perlu menunggu lama seperti angkot yang lewatnya berdasarkan giliran. MasyaAllah tabarokallah kang OJOL, semoga rezekinya berkah melimpah ruah. Aamiin.

Dilansir dari www.tempo.co.id/bisnis/01042023, terkait gaji OJOL yang tak kunjung membaik karena adanya potongan dari aplikator sebesar 20 hingga 40 persen dari hasil pendapatan. Dan ternyata, mereka dianggap sebagai mitra driver bukan lagi pekerja yang layak mendapatkan perlakuan yang sama selayaknya pegawai. Libur cuti maupun tunjangan lain ataupun uang pesangon saat berhenti. Jam kerja fleksibel bahkan lebih dari jam kerja namun gaji yang tak sesuai dengan pengorbanan. 

Sekilas terlihat keren dan canggih memang. Bahkan harga yang terjangkau membuat banyak orang memilih OJOL sebagai alat transportasi yang murah meriah. Sehingga mengalahkan pamor ojek pangkalan maupun angkutan kota atau angkot ini. 

Namun, siapa sangka jika driver OJOL itu juga harus berjuang lebih untuk mendapatkan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Tak jarang kita jumpai driver yang harus bekerja dari pagi sampai pagi lagi. Wajah lelah maupun kantong mata yang menggelantung. Bahkan tak jarang wajah lesu karena jadi korban pembelian yang digagalkan karena tak sesuai dengan waktu yang ditentukan sementara pendapatan dipotong aplikator.

Negara Sebagai Kontrol

Diawal kehadirannya, OJOL memberikan peran yang luar biasa bagi negara dalam mengatasi pengangguran. Berbagai tawaran menarik bahkan pendapatan yang luar biasa bagi driver OJOL yang giat dalam bekerja. Bahkan tak jarang kita jumpai perjuangan mereka dijadikan sumber inspirasi yang di filmkan. 

Dan ketika hantaman pandemi berlangsung OJOL seakan menjadi pekerjaan yang tetap menghasilkan rupiah tatkala banyak pegawai yang harus dirumahkan. Sampai saat ini menjadi pilihan para penumpang dengan harga terjangkau dengan pelayanan laksana kendaraan berkelas. 

Namun kini berbanding terbalik. Nasib driver OJOL kini harus pontang-panting mengais rezeki agar terpenuhi kebutuhan. Impian yang dibangun dengan kerja keras hingga tak peduli siang malam itu tak mampu mewujudkannya.

Banyak driver OJOL yang bingung mencari pekerjaan lain untuk menjadi pekerjaan tetap dan menjadikan OJOL sebagai sampingan. Bahkan diantara mereka ada yang pula menawarkan jasanya dengan harga yang sama tanpa menggunakan aplikasi demi tercapainya gaji yang mereka harapkan. 

Memang sudah tugas negara menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Namun, negara tak boleh berlepas tangan dengan kondisi rakyatnya. Pemerintah harus mampu menjadi kontrol bagi para pengusaha agar tidak menjadikan rakyatnya sebagai sapi perah bagi pengusaha. 

Tanpa adanya aturan yang jelas dan mengikat, maka pengusaha makin berjaya namun rakyat jelata tetap sengsara. Apalagi di tengah harga yang kian melambung tinggi.

Islam Rahmatan Lil 'alamin

Islam memang sangat detail dalam merinci peraturan. Baik aturan bangun tidur hingga tidur lagi, hingga dari kandungan ke liang lahat. Semua aturan terkait kehidupan tercakup secara sempurna termasuk dalam bidang ketenagakerjaan. 

Dalam Islam, wajib bagi negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya termasuk dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang layak. Dengan upah yang pantas sehingga umat mampu memenuhi kebutuhannya tanpa merasa terdzolimi atau bahkan tak punya waktu untuk keluarga. 

Tak cukup dengan itu, para pengusaha di dorong untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya tanpa harus mendzalimi pekerjanya. Dari segi kehalalan, gaji yang pantas, serta komunikasi yang baik antara pengusaha maupun pegawai. Semua itu ada aturannya, sehingga tidak terjadi kezaliman baik pekerja maupun pengusaha.

Keren 'kan aturan Islam itu? Banget. Tak ada solusi segala permasalahan dalam kehidupan yang tak mampu diselesaikan dengan Islam. Maka tak ada salahnya jika kita merujuk kembali Islam sebagai mabda agar tercapai kesejahteraan.

Baik kesejahteraan pengusaha maupun pekerja. Terlebih-lebih kesejahteraan negara. Seperti halnya kesejahteraan di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang tidak didapati fakir miskin maupun orang yang berutang.

Wallahu a'lam bishawab. [YS].

Baca juga:

0 Comments: