Headlines
Loading...
Perang Sarung, Cermin Lemahnya Kualitas Generasi

Perang Sarung, Cermin Lemahnya Kualitas Generasi

Oleh. Desi Dwi A., S.P. (Guru di Malang)

Polsek Astanajapura Cirebon berhasil membubarkan segerombolan pemuda yang diduga hendak melakukan perang sarung pada Jum'at 7/4/2023 lalu. Dari salah seorang dari mereka juga ditemukan lima bilah senjata tajam (tribunJabar.id).

Antvklik.com juga melansir berita bahwa bentrok warga vs peserta perang sarung terjadi akibat adanya informasi hoaks yang menyebar, sehingga warga menyerang sekelompok pemuda dengan menggunakan parang dan samurai. Akibat bentrokan itu, dua pemuda kritis dan satu anak meregang nyawa setelah dihakimi warga. Ini terjadi di desa Cilandak kecamatan Anjatan kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Mengutip pernyataan mantan Komisioner KPAI Retno Listyarti, ternyata sarung tersebut tidak kosong, tetapi ada yang dimasukkan pipa hingga besi. “Inilah yang berakibat fatal ketika mengenai lawan,”  katanya.

Tahun sebelumnya, perang sarung pun telah memakan korban, seperti yang terjadi di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal jelang sahur, Ahad (10-4-2022). Akibatnya, seorang remaja meninggal dunia akibat tawuran menggunakan sarung tersebut. Para remaja itu saling serang menggunakan sarung yang diduga telah diberi batu. Selain itu, mereka pun menggunakan senjata tajam, pentungan, dan benda lainnya.

Sarung sejatinya adalah sarana untuk beribadah. Dari berbagai pemberitaan, perang sarung tak hanya di Jawa tapi juga luar Jawa. Di Pulau Jawa antara lain terjadi di Jakarta, Solo, Jogja, Bantul, Bojonegoro, Surabaya termasuk yang baru saja terjadi, di Kabupaten Malang dan Kota Batu.

Dr Wahyudi Winarjo, dosen Sosiologi FISIP UMM yang juga Wakil Direktur 2 Pascasarjana UMM menjelaskan fenomena ini sebagai rivalitas yang tidak sehat berbalut atribut budaya keberagamaan. Banyaknya fenomena perang sarung ini salah satunya dampak dari maraknya pemakaian media sosial. Saat satu kejadian perang sarung direkam dan dibagikan di media sosial dan viral, maka seakan itu menjadi inspirasi bagi remaja lainnya untuk melakukan hal serupa sehingga menjadi fenomena di berbagai wilayah.

Media sosial tentu tak hanya memberikan dampak positif berupa pesatnya laju perkembangan informasi, namun apabila dia konten negatif juga akan cepat tersebar pula dan menjadi inspirasi ‘keburukan’ yang merajalela. Ini adalah salah satu dampak abainya pemerintah dalam membendung arus informasi atau konten negatif. Tercatat negara besar semacam Cina bahkan melarang penggunaan aplikasi tertentu di negaranya meski dengan tujuan ekonomi. Namun, justru Indonesia hanya menyerahkan kepada individu untuk tidak terpengaruh dengan konten negatif di tengah semakin derasnya konten negatif itu tersebar di jagad dunia maya. Tentu ironis sekali, seolah kita membiarkan pintu rumah terbuka di tengah malam lengkap dengan beberapa sepeda motor dan perhiasan yg terpampang jelas di dalam rumah tanpa terkunci, kemudian bilang, jagalah diri kalian dari pencuri.

Di sisi lain, situasi generasi muda kita memang tidak sedang baik-baik saja. Penderasan konten moderasi beragama dan pengerdilan posisi agama dalam kehidupan membuat generasi muda semakin jauh dari ketaatan. Standarisasi benar salah bukan lagi dilandaskan kepada syariat Islam, namun bisa pada viral tidaknya peristiwa tersebut.
Sarung yang seharusnya identik dengan para santri menjadi ajang pertarungan untuk menunjukkan eksistensi diri. Demikian juga standar eksis yang seharusnya dinilai dari ketaatan mereka pada syariat menjadi bergeser pada kekuatan fisik, identitas kelompok maupun ikutnya mereka dengan arus yang ada.

Jarang sekali generasi muda yang berani menunjukkan identitas keislamannya di tengah wacana islamophobia. Sedangkan problem kerusakan generasi juga makin merebak. Mulai dari fenomena tawuran remaja, pergaulan bebas hingga hamil di luar nikah, hingga ketidakpedulian mereka terhadap sekian banyak permasalahan yang dihadapi umat Islam.

Maka sudah saatnya kita kembali kepada Islam kaffah, menjadikan aqidah Islam sebagai landasan dalam kurikulum pendidikan yang akan melahirkan generasi bertaqwa dan beramal shalih. Juga memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku tindak kriminal yang telah baligh.

Islam telah menentukan batasan mukallaf (terbebani hukum) ketika anak-anak telah baligh, yakni haid bagi wanita dan mimpi bagi laki-laki. Maka siapapun remaja yang telah mengetahui hukum syariat dan telah mencapai usia baligh maka akan dikenakan hukuman tegas manakala dia melakukan pelanggaran hukum syara’ termasuk ketika melakukan penganiayaan terhadap orang lain tanpa hak. Allahu a’lam. [My].

Baca juga:

0 Comments: