Headlines
Loading...
Oleh. Dira Fikri

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah berlaku mulai 31 Maret 2023. Gelombang protes di tengah masyarakat terjadi karena menganggap bahwa hal tersebut sebagai langkah “pembangkangan” pemerintah atas keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki.

Menurut pandangan Pemerintah, Perppu Ciptaker ditetapkan karena masuk dalam kondisi kegentingan. Sebagian besar ahli hukum mengatakan bahwa perppu ini justru menciptakan “ketidakjelasan” hukum. Sejumlah pasal di dalam UU Ciptaker sudah bisa dipastikan tersalin kembali pada Perppu Ciptaker. Dan sejumlah pasal baru menurut berbagai pengamat justru menciptakan ketidakpastian hukum. 

Seperti yang tercantum di dalam pasal 64 yang menjelaskan terkait tenaga alih daya atau outsourcing. Pasal ini berasal dari UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang dihapus pada UU Ciptaker. Namun kembali muncul pada Perppu Ciptaker dengan tidak disertai penjelasan rinci tentang “menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan”. Hal tersebut juga akan berpengaruh pada ketersediaan lapangan pekerjaan di Indonesia. Meski kaum buruh satu suara menolak perppu ini, tetapi mereka juga menginginkan menginginkan jenis-jenis pekerjaan outsourcing makin dipersempit.

Upah minimum yang  sebelumnya ditentukan berdasarkan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dalam Perppu Cipataker ditambahkan variabel baru yaitu indeks tertentu yang juga menunjukkan “ketidakpastian”. Hal ini justru memberikan peluang pada dewan pengupahan untuk melakukan negosiasi penentuan upah minimum dengan pemilik perusahaan. Dan tentu hal ini akan sangat merugikan di sisi kaum buruh. Namun di dalam pasal 88F juga disebutkan besaran upah buruh bisa jadi akan ditentukan oleh pemerintah pusat yang dianggap menjadi kurang partisipatif terhadap kondisi daerah masing-masing.

Segala “ketidakjelasan” di dalam Perppu Ciptaker tidak terlepas dari sistem pokoknya yaitu kapitalisme yang dianut Indonesia. Penetapan Perppu ini dengan alasan kegentingan yang memaksa jelas sangat menguntungkan para kapital. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto pada media tempo, menyebut UU Ciptaker akan mendorong investasi serta menggerakkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah alias UMKM di Indonesia. UU Ciptaker, kata Airlangga, akan turut memuat kebijakan yang fleksibel dalam sektor ketenagakerjaan. Namun di satu sisi, kaum buruh satu suara untuk menolak Perppu ini.

Berbeda dengan sistem Islam yang aturannya bersumber dari Allah Swt. Penguasa di dalam islam itu seperti pelayan yang melayani rakyatnya. Lapangan pekerjaan disediakan oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab sebagai pemimpin kaum muslim sekaligus tanggung jawab sebagai hamba Allah Swt.

Jika dalam sistem kapitalisme penguasa hanya bertindak sebagai regulator dan menjadi pelayan bagi para kapital, sedang di dalam Islam penguasa berkewajiban untuk mengelola urusan rakyat dengan aturan Islam. Termasuk mengatur harta kepemilikan menjadi tiga bagian, yaitu kepemilikan individu, harta milik umum dan harta milik negara. Hal ini akan menutup peluang bagi seseorang atau pemilik usaha untuk menguasai harta milik umum dan negara, sehingga kesulitan lapangan kerja yang dialami kaum buruh bisa terselesaikan. 

Selain itu ada jaminan pemenuhan kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara. Negara di dalam sistem Islam akan menjamin pemenuhannya per individu di dalam negeri. Bahkan pemenuhan tersebut termasuk jaminan biaya pendidikan dan biaya Kesehatan. Hal ini menjadi bukti yang jelas bahwa sistem kapitalisme tidak akan pernah membuat kemaslahatan di negeri ini. Bahkan negeri yang katanya sangat demokratis ini tidak lagi mengindahkan banyaknya gelombang protes terhadap Perppu Ciptaker ini. Wallahu’alam. [rn]. 

Baca juga:

0 Comments: