Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Faiha Hasna

Dalam kitab "al Jawabul Kafi 101", Ibnu Qayyim rahimahullah berkata bahwa maksiat itu menghilangkan keberkahan umur, rezeki, ilmu, amal, dan ketaatan.

Maka, nasihat ini penting bila direnungkan bahwa sejatinya yang terpenting dari hidup kita itu adalah keberkahannya. Sebaliknya, maksiat itu sejatinya bisa menghilangkan keberkahan hidup manusia.

Namun, di zaman sekarang, untuk meraih hidup berkah itu membutuhkan pemikiran yang cerdas. Pasalnya, tidak sedikit orang terjebak dalam aneka ragam kemaksiatan yang melenakan.

Baru-baru ini, sebagaimana dilansir dari inilahbandung.com (14/5/2023), pada 23 November 2023, band ternama asal Inggris, Coldplay, direncanakan akan menggelar konser di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.

Konser akbar ini adalah konser kedua di tahun ini. Sebelumnya, di bulan April lalu, konser grup Band asal Korea Black Pink telah berhasil digelar dengan menghadirkan seratus empat puluh ribu penonton.

Pada bulan Mei ini, tepatnya tanggal 17 sampai 18 Mei 2023, penjualan tiket konser akan dimulai. Tidak tanggung-tanggung. Tiket konser dijual mulai dari delapan ratus ribu rupiah untuk kategori termurah sampai dengan kategori termahal 'Ultimate Experience' sebesar sebelas juta rupiah. (orbitindonesia.com, 17/5/2023)

Namun, meski harga tiket dibandrol dengan harga yang mahal, masyarakat begitu antusias berburu untuk mendapatkan tiket tersebut hanya demi leluasa menikmati hiburan konser grup band yang dijuluki sebagai 'The Most Successful Band of the 21st Century' tersebut.

Sejak Coldplay dipastikan akan pentas di Indonesia, pertanyaan terkait masalah pembelian tiket tersebut yang diarahkan ke laman media sosial BCA sudah tidak terhitung. 

Selain itu, jasa titip pembelian untuk konser juga mulai marak. Malah ada juga yang disinyalir membeli tiket dengan memanfaatkan pinjaman online alias pinjol. 
(Bisnis.tempo.co, 12/5/2023)

Akan tetapi, di tengah antusiasme atau gelora semangat tersebut, rencana konser Coldplay di Stadion utama Gelora Bung Karno tersebut dilawan keras oleh persaudaraan alumni atau PA 212. Sampai-sampai alumni 212 siap menggelar aksi besar bila acara konser ini tetap digelar di Jakarta.

Novel Bamukmin selalu Wasekjen PA 212  menilai, Chris Martin dan kawan-kawannya merupakan kelompok yang mendukung kampanye LGBT. Yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. (tribunnews.com, 15/5/2023)

Itulah beberapa respon dari sebagian masyarakat sebagai warga Indonesia ketika dihadapkan pada gelaran konser yang sejatinya hanyalah hiburan.  

Sebagian bahkan rela mengeluarkan uang simpanan dalam jumlah besar. Demi apa? "Satisfy his desire to meet the idol", yakni demi memuaskan keinginan untuk bertemu sang idola. Padahal, menikmati konser bukanlah bagian dari kebutuhan pokok manusia.

Penyelenggaraan konser sejatinya menunjukkan matinya empati penyelenggara dan pihak pemberi izin terhadap problem kehidupan yang dihadapi  masyarakat hari ini. Problem tersebut yaitu masalah kemiskinan, stunting, pengangguran, dan berbagai  persoalan lainnya. Ini di satu sisi. 

Di sisi lain, gelora semangat atau antusiasme masyarakat, dalam membeli tiket yang berharga selangit, merupakan salah satu bukti tingginya kesenjangan sosial yang terjadi di negeri ini.

Seperti inilah gambaran negara yang menerapkan tata aturan kapitalis. Paradigma pemikiran liberal yang dijunjung negara secara tak langsung sudah menjadikannya tidak lebih hanya sebatas regulator atau pembuat kebijakan. Kebijakan yang ditetapkan tersebut, tidak lain hanya untuk memenuhi kepentingan para kapitalis dalam industri hiburan. Mengapa? Karena sistem ekonomi kapitalis memandang,  selama ada permintaan yang dipandang bisa mendatangkan keuntungan duniawi, maka produksi atau pengadaan permintaan seakan harus diberi ruang, meskipun ada unsur keharaman yang berisiko  merusak moral masyarakat. 

Penguasa yang menerapkan aturan hidup kapitalis juga bisa dikatakan gagal membentuk masyarakat yang memahami tujuan hidupnya sebagai hamba Allah, beramal sesuai aturan Penciptanya hingga memiliki empati terhadap nasib sesama.

Aturan hidup kapitalis liberal berupaya menjatuhkan taraf berpikir umat ke taraf yang sangat rendah. Namun, hal ini tidak akan terjadi bila aturan  yang digunakan untuk mengatur kehidupan berlandaskan akidah Islam, yaitu syariat Islam kafah di bawah naungan Khil4f4h. 

Paradigma Islam adalah paradigma ri'ayah atau mengurus urusan umat. Penguasa Islam sudah semestinya memenuhi kebutuhan asasi warga negaranya yang menjadi tanggungannya. Baik kebutuhan pangan, sandang maupun papan, semuanya harus dipenuhi negara dalam berbagai mekanisme. 

Negara yang berpola pikir Islam akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyatnya yang siap dan mampu  bekerja. Sementara bagi mereka yang lemah atau terkendala fisik, negara akan memberikan mereka santunan.

Bagaimana dengan kebutuhan lainnya semisal layanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan fasilitas publik? Tentu, dalam hal ini negara yang berlandaskan akidah Islam wajib memenuhi semua kebutuhan tersebut dengan standar pelayanan terbaik, cepat, mudah dan profesional serta cuma-cuma.

Tak hanya itu. Negara Islam bahkan akan memudahkan rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Semua dilakukannya semata untuk meningkatkan kualitas hidup warga negaranya sebagai umat terbaik ('the best people'). Mereka berhak mendapatkan pelayanan dengan kualitas terbaik.

Hanya saja, kebutuhan tersier dan sekunder yang dimaksud tetap dibatasi oleh syariat Islam. 

Negara dalam tata aturan Islam tak akan membiarkan barang atau aktivitas haram beredar di tengah masyarakat. Meskipun hal tersebut bisa mendatangkan keuntungan bagi negara. Negara Islam sangat memahami betul, keharaman hanya akan menjauhkan hidup dari keberkahan.

Di sinilah urgensi pelaksanaan pendidikan yang berlandaskan pada akidah Islam. Dengan pendidikan yang benar (sahih), akan lahir generasi-generasi pejuang yang bervisi dunia dan akhirat. Generasi terbaik tersebut paham bahwa dunia hanyalah tempat persinggahan dan ladang amal untuk mengumpulkan bekal demi meraih kebahagiaan di akhirat nantinya. Mereka akan berpikir jauh ke depan, menentukan pilihan: berburu amal saleh atau berburu kemaksiatan?

Dengan pilihan yang benar tersebut, diharapkan akan lahir pribadi-pribadi bertakwa yang senantiasa menyibukkan diri dengan beragam amal saleh; bukannya sibuk menikmati hidup dengan beragam kemaksiatan. Generasi terbaik berpikir untuk kemajuan umat. Mereka memahami skala prioritas amal dan memiliki empati tinggi atas nasib sesama.

Bukankah sebaik-baik manusia itu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia?  Seperti yang disabdakan Rasulullah dalam hadis riwayat Ahmad.

Maka, teruslah berlindung pada Allah dari beragam maksiat dan jauhilah orang-orang yang suka bermaksiat. 

Yakinlah, hanya tata aturan Islam yang mampu memuliakan umat manusia sekaligus membangun peradaban mulia.

Wallahualam bisawwab. [Dn]

Baca juga:

0 Comments: