Headlines
Loading...
Oleh. Noor Azizah

Selesai salat Magrib, saya ngobrol tentang keseharian putra ketiga  selama di sekolah. Sebenarnya ia bukanlah tipe anak yang suka bercerita apalagi yang menurutnya tidak penting. Ia cenderung tertutup kecuali dengan abinya.

Namun pengalaman dari putra sulung saya,  ketika sekolah dasar  pernah dimintai uang oleh teman satu kelas, membuat saya sedikit khawatir dengan putra ketiga, karena karakter keduanya sama, sama-sama tidak berani melawan, sama-sama tidak berani membela diri.

Tiba-tiba sebuah notifikasi pesan WhatsApp muncul di layar ponsel. Saya buka pesan tersebut, ternyata dari grup sekolahnya, terkait pelarangan anak-anak untuk tidak jajan di sekolah pada istirahat kedua.

Sebenarnya anak-anak saya jarang jajan di sekolah, kecuali dalam kondisi tertentu. Ia lebih sering membawa bekal dari rumah yang  diantarkan oleh abinya.

“Kenapa nggak boleh jajan, Mas?” tanya saya.
“Ceritanya begini, Mi.” Akhirnya mengalirlah cerita dari mulut mungilnya. Bahwa ada teman satu kelasnya yang diajak tawuran oleh sekolah swasta berbasis Islam, sementara anak saya dan juga temannya ini bersekolah di SDIT yang masih satu komplek,  karena di bawah naungan yayasan yang sama. Anak yang mengajak tawuran ini menyebutkan kalau teman anak saya ini (baca: siswa SDIT) babi.

Saya kaget, secara sekolah tersebut berbasis Islam, bagaimana mungkin anak-anak usia sekolah dasar bisa kepikiran mengajak temannya tawuran? Dalam satu kompleks yang sama pula, yang semestinya memiliki perasaan yang sama pula. 

Ke mana orang tua? bagaimana output pendidikan? pertanyaan yang mengusik hati dan tidak tahu harus kepada siapa saya tanyakan. 

Sebuah ironi dalam dunia pendidikan. Islam hanya sebagai identitas. Belajar agama sekadar teori, tetapi minim implementasi. 

Lain lagi cerita keponakan saya yang bersekolah di sebuah pondok pesantren. Ia bercerita, bahwa temannya enggan memakai kerudung, kecuali dalam keadaan tertentu, padahal ia tinggal di asrama. Alasannya tampak sederhana, tapi menghujam di dada kita para ibu. “Mami, kalau menjemput saya, pernah nggak pakai kerudung, bahkan kadang hanya memakai baju tidur.” Nauzubillahi minzalik.

Nasihat bijak mengatakan, bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Artinya, apa yang dilakukan anak-anak sejatinya meniru tabiat dan perilaku orang tuanya. Namun kita tidak perlu mewarisi ataupun mewariskan perkara-perkara yang melanggar syariat. 

Oleh karena itu menjadi kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya menjadi generasi mulia, baik tutur kata maupun akhlaknya dengan menanamkan akidah yang benar sesuai akidah Islam. Jangan hanya menyerahkan pendidikan kepada sekolah, sebab kewajiban mendidik putra-putri kita adalah orang tua. Jangan hanya mencukupkan diri dengan mengaji ke TPA. Pun kita orang tua haruslah lebih giat pula mengkaji Islam, agar pemahaman kita tidak hanya sekadar kewajiban lima waktu dan menunaikan rukun Islam.

Anak-anak kita butuh sosok yang akan dijadikan teladan dan panutan. Jika kita menginginkan mereka menjadi orang saleh, maka orang tua pun harus memantaskan diri dengan terus belajar. Mungkin kita tidak bisa mencerna pelajaran secepat anak-anak yang secara fitrah masih suci, mudah menerima segala pemikiran dan ilmu, setidaknya ketika mereka salah arah, orang tua siap mengarahkannya.

Namun, orang tua tidak bisa berjalan sendiri. Betapa banyak anak-anak kita yang di rumah pintar, cerdas, baik, penurut, tetapi setelah ke luar dari rumah menjadi anak yang sulit dikendalikan. Main playstation, tawuran, melakukan perundungan, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu diperlukan kontrol masyarakat. Jika saat ini masyarakat banyak yang masa bodo dengan urusan orang lain, tidak lebih dan tidak bukan karena malas mencampuri urusan orang lain. Banyak kejadian ketika kita menegur orang lain, justru yang menegur diperkarakan bahkan sampai terluka dan berujung kematian.

Tentu itu bukan hal yang aneh saat ini. Dengan dalih kebebasan, meskipun seseorang salah akan tetap dilindungi. Hal ini membuat segala perilaku tidak lagi diukur berdasarkan halal dan haram, bermanfaat atau menimbulkan kerugian.  

Maka tidak heran bila anak-anak kita, meski berbasis sekolah Islam tidak ada jaminan kalau ia akan memahami Islam secara benar dari akar hingga daunnya. Pendidikan agama Islam hanya sebagai bagian dari kurikulum, sedangkan penerapannya jauh dari Islam hakiki.

Hal ini disebabkan karena pendidikan agama Islam tidak dilandaskan pada sistem Islam. Dalam sistem pendidikan Islam, seluruh pendidikan baik swasta maupun sekolah milik pemerintah menitikberatkan pendidikan atau landasan pendidikannya adalah akidah Islam. Memahami hakikat penciptaan dirinya, dan segala tingkah lakunya selama di dunia akan dicatat oleh malaikat pencatat amal. Kelak semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Dengan begitu anak-anak akan merasa selalu diawasi, dan takut berbuat hal-hal yang mendatangkan murka Allah. Jangankan untuk berbuat anarkis, menyakiti lewat lisan saja akan berpikir ulang. 

Sistem pendidikan Islam tidak bisa berjalan sendiri. Perlu peran dari negara sebagai pelaksana aturan yang bersumber dari Rabb semesta alam, berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Alhasil, output pendidikan Islam akan mencetak generasi saleh salihah, berakidah Islam dan berakhlakul karimah. [ry].

Baca juga:

0 Comments: