Headlines
Loading...
Oleh. Rina Yosida

Antusiasme Penggemar

Antusiasme penggemar band Coldplay yang akan menggelar konser di Indonesia pada November 2023, makin terasa memanas walaupun pelaksanaannya masih beberapa bulan lagi. Penjualan tiketnya sendiri sebelum dijual secara umum, juga dijual tiket presale yang pembayarannya khusus melalui BCA, sebagai official bank sponsor.

Hanya dalam waktu lima jam setelah dibuka pukul 10.00 untuk presale, tiket pun habis terjual di hari pertama dari dua hari yang direncanakan. Sehingga jadwal penjualan hari kedua pun ditiadakan, dan akan dibuka kembali penjualan untuk umum tanggal 19 Mei 2023. (CNN Indonesia, Mei 2023)

Konser Coldplay yang akan diselenggarakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 15 November 2023 tersebut sebenarnya pernah gagal diadakan di Indonesia pada tahun 2017 karena masalah perizinan. Saat itu GBK sedang dalam masa perbaikan persiapan Asian Games 2018. (tempo.co, Mei 2023)

Band asal Inggris ini terbentuk lebih dari 20 tahun yang lalu, dengan anggota sebanyak lima personil. Penolakan tur Asia grup band ini bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, akibat dari atribut warna-warni dan bendera L8GT yang sering mereka tampilkan saat tampil di panggung. 

Walaupun belum ada klarifikasi tentang isu yang bersinggungan dengan L8GT,  tetapi jejak digital dan foto-foto konser Coldplay cukup mengisyaratkan dukungan mereka terhadap kaum tersebut. Postingan seputar Coldplay yang mendukung isu ini bisa ditelusuri di twitter akun @ClodplayXtra.

Bahkan di pemberitaan majalah Rolling Stone tahun 2019, Chris Martin mengaku merasa kebingungan dengan ketertarikan seksualitasnya dan merasa mengalami homophobia (Sindonews.com, Mei 2023). Menurut informasi dari laman berita online hellosehat.com, orang yang mengalami homophobia punya kecenderungan g4y.

Berbagai berita miring tentang dukungan Coldplay pada kelompok L8GT, yang faktanya bisa dilihat dari berbagai sumber, nyatanya tak juga menyurutkan keinginan penggemarnya untuk menonton konser Coldplay bagaimanapun caranya, demi dapat membeli tiket konser dengan harga antara Rp 800 ribu sampai Rp 11 juta. 

Ada-ada saja upaya para penggemar untuk memenuhi keinginannya, dari menjual kulkas, menjual emas, bahkan ada yang rela menggunakan uang belanja bulanan dan harus berpuasa untuk mengurangi pengeluarannya.

Seperti pengakuan seseorang yang bernama Danar, saat dihampiri Kompas.com mengatakan bahwa ia rela menjual kulkas demi mendapatkan tiket konser Coldplay kategori Ultimate Experience (CAT) seharga Rp 11 juta.

Lain lagi dengan seorang karyawan yang berasal dari Yogyakarta, Selly, “Saya pakai gaji bulanan saja, meskipun bulan depan sepertinya bakal puasa. Yang jelas saya tidak pakai dana darurat,” ujarnya.
Bukan hanya Danar dan Selly yang mengupayakan berbagai cara merogoh kocek yang tidak sedikit demi memuaskan keinginannya, setiap penggemar Coldplay tentulah melakukan hal yang sama dengan segala problematikanya. Dan ada kepuasan tersendiri ketika mereka bisa berhasil mendapatkan tiket konsernya.

Berpikir Pragmatis untuk Memenuhi Hawa Nafsu

Keinginan terhadap sesuatu yang berlebihan, membuat seseorang berpikiran pragmatis dalam pemenuhannya. Dan cenderung berusaha mencari pembenaran atas perbuatannya, sekalipun harus mengabaikan kepekaan terhadap sekitarnya.

Pernyataan-pernyataan yang berisi pembenaran tersebut antara lain:
“Coldplay termasuk band langka yang mengadakan konser di Indonesia.”
“Karena sudah masuk wishlist, jadi harus diusahakan.”
“Tiket ini jadi sebuah reward atas kerja saya selama ini.”
“Ingin merasakan euforianya secara langsung.”
“Konser ini merupakan pengalaman once in a lifetime.”
Hanya sebatas itu dasar pemikiran seseorang yang tidak melibatkan akidah dalam memahami hakikat hidup yang sesungguhnya.

Mengorbankan sekian ratus ribu hingga jutaan tanpa amalan shalih akan menjadi kesia-siaan ketika kelak tak meninggalkan jejak saat dihisab.

Perumpamaan harta yang mereka infakkan di dalam kehidupan dunia ini, ibarat angin yang mengandung hawa sangat dingin, yang menimpa tanaman (milik) suatu kaum yang mendzalimi diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak mendzalimi mereka, tetapi mereka yang mendzalimi diri sendiri.” (Ali-Imran [3]: 117)


Makin Nyata Adanya Kesenjangan Sosial

Dalam kehidupan sistem Kapitalisme, adanya kesenjangan kesejahteraan adalah hal yang wajar terjadi. Setiap individu sibuk memuaskan diri sendiri tanpa memikirkan sesama yang sedang mengalami keterpurukan dengan segala problem kehidupan. Karena tujuan hidupnya hanyalah meraih kesuksesan tanpa memikirkan ada atau tidak ridho Allah SWT di dalam perbuatannya. Sungguh, kondisi ini sangatlah memprihatinkan. 

Cara berpikir masyarakat yang demikian tentulah ada peran negara yang menerapkan sistem kapitalisme dengan asas manfaat. Dimana terdapat peluang menghasilkan materi, di situlah diberi kemudahan akses tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat.

Pemberi Ijin dan Penyelenggara Nirempati

Kebijakan dzalim dari pemberi izin dan penyelenggara konser hanyalah memikirkan bagaimana caranya meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

“Optimis akan meningkatkan jumlah wisatawan, membawa berkah ekonomi dan lapangan pekerjaan, khususnya bagi para pelaku event dan pelaku ekonomi kreatif,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, dikutip dari laman Instagram resminya.

Tentang band Coldplay yang selalu menggunakan teknologi ramah lingkungan, seharusnya bukanlah sesuatu yang patut untuk dipuja-puji. Itu bisa-bisanya mereka saja, membuat pernyataan-pernyataan untuk mendukung eksistensinya, yang sesungguhnya hanyalah berharap pujian manusia dan sebagai strategi promosi.

Butuh Peran Negara
 
Suasana keimanan bersama hanya bisa terwujud ketika negara menerapkan sistem Islam sebagai dasar kebijakannya, serta mengedukasi masyarakat tentang hakikat hidup sesungguhnya. Sehingga setiap individu mampu berpikir menyeluruh dan mampu menetapkan skala prioritas dalam amalannya dengan tidak mengutamakan hawa nafsu.

Saatnya kita menerapkan sistem Islam, karena manusia diciptakan dengan akal yang terbatas, sedangkan keinginannya tak terbatas. Untuk itulah dalam Islam ada batasan-batasan aturan yang wajib ditaati, supaya pemikiran dan perbuatan manusia tetap berada dalam koridor hukum syara’. Jika tak mengikutinya, maka dipastikan akan membawa pada kerusakan dan kehancuran, karena manusia merasa bebas berbuat tanpa merasa ada Allah sebagai Pencipta dan Pengatur kehidupan.

Rasa empati dan tak egois hanya bisa terwujud ketika tercipta lingkungan dalam ketaatan, sehingga ikut merasakan penderitaan sesama makhluk Allah. Di sisi lain, Islam mewajibkan negara bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan asasi setiap individu. 

Penguasa tak hanya berperan sebagai regulator, tapi juga memastikan kebijakannya menciptakan kebaikan untuk semua, bukan hanya untuk segelintir orang. Sehingga amanah sebagai pemimpin bukanlah sebagai profesi untuk mendapatkan harta dan kekuasaan, tetapi menilainya sebagai ladang pahala yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Bukankah indah ketika aturan Islam dijadikan sebagai dasar kebijakan? [my]

Baca juga:

0 Comments: