Headlines
Loading...
Oleh. Rinnay

Indonesia negara agraris, tidak ada satu tanaman pun yang tak bisa tumbuh di negeri yang sangat subur ini. Namun sayangnya si manis gula masih saja didatangkan dari luar negeri. Jika menengok sejarah Indonesia, Direktur Utama PTPN III, Dr. Mohammad Abdul Ghani, dalam webinar yang bertajuk "Problematika Kebijakan dan Revitalisasi Industri Gula Nasional", 23 September 2021, yang diselenggarakan UGM,  menjelaskan bahwa dulu Indonesia menjadi eksportir gula terbesar kedua setelah Kuba di tahun 1930-an, dengan produksi gula mencapai 2,9 juta ton per tahun dengan luas area perkebunan tebu mencapai 196 ribu hektare. Namun  terjadi penurunan produktivitas, dan sejak tahun 1970 Indonesia menjadi importir gula ( sahabat.ugm.ac.id, 24/9/2021).

Predikat eksportir memudar berlahan berganti status sebagai importir dan semakin bertambahnya tahun menjadi importir gula terbesar di dunia. Sungguh sangat miris bukan? 

Berdasarkan data, impor gula dari tahun ketahun terus meningkat. Tercatat, pada 2015 volume impor gula sebesar 3,36 juta ton. Lalu pada 2016, 2017, dan 2018 masing-masing sebesar 4,76 juta ton, 4,47 ton, dan 5,02 juta ton. Sebagai catatan, mayoritas volume impor gula berasal dari gula mentah dari gula tebu lainnya (katadata.co.id, 2/12/2020). Di tahun 2019 impor gula sempat turun 4,09 juta ton, tahun 2020  naik 5,54 juta ton, 5,48 juta ton tahun 2021 dan di tahun 2022 naik signifikan 6,01 juta ton. (BPS dalam dataindonesia.id, 4/04/2023). 

Pemerintah senantiasa menegaskan bahwa impor yang dilakukan merupakan tindakan penyelamatan, karena kebutuhan gula dalam negeri tinggi sedangkan produktivitas dalam negeri tak mampu mencukupi.  

Pemerintah mengambil  contoh pada tahun 2021, produksi gula nasional sebesar 2,35 juta ton yang terdiri dari produksi pabrik gula BUMN sebesar 1,06 juta ton dan pabrik gula swasta sebesar 1,29 juta ton. Sementara itu, kebutuhan gula tahun 2022 mencapai sekitar 6,48 juta ton, terdiri dari 3,21 juta ton GKP dan 3,27 juta ton GKR.

Selama ini, jumlah produktivitas tebu yang jumlahnya tak sebanding dengan kebutuhan dalam negeri yang selalu dikambing hitamkan, dan impor gula menjadi win win solution. Padahal tidak akan ada asap jika tak ada api, tanaman tebu butuh biaya perawatan yang tak murah, petani harus menunggu 11-12 bulan baru siap dipanen, ketika dipanen sudah bisa ditebak harganya tak sebanding dengan biaya perawatan, seringkali pabrik gula (PG) membeli tebu dengan harga dibawah standar. Belum lagi guyuran impor yang membuat semakin hancur harga tebu. Petani juga tak bisa terus menerus merugi, pada akhirnya mereka beralih kepada tanaman lain. 

Belum lagi pemerintah mewajibkan gula berSNI (Standar Nasional Indonesia) kebijakan tersebut menimbulkan permasalahan, gula lokal susah mendapatkan gelar SNI, pengurusannya ribet berbiaya mahal pula, akhirnya kalah saing dengan gula impor dengan harga murah dan telah berSNI. 

Bukan hanya petani yang nasibnya mengenaskan, pabrik gula (PG) juga mengalami hal yang sama banyak yang bangkrut, kebangkrutan ini lagi-lagi disebabkan biaya produksi tinggi, sehingga harga gula lokal mengikuti biaya produksi, sedangkan pemerintah asyik impor gula yang harganya jauh lebih murah. Alhasil masyarakat akan lebih memilih membeli gula impor. 

Bukankah ini sudah sangat jelas kebijakan yang "membunuh" petani dan PG, padahal satu PG ditutup sudah menyumbang ratusan pengangguran.

Dan semakin tinggi impor, neraca perdagangan pun semakin terseok. Faisal Basri dalam diskusi pangan virtual yang diselenggarakan BEM KM IPB, Jumat, 22 Mei 2020. Menuturkan bahwa dari tahun 2016 setidaknya Indonesia menghabiskan 2,1 miliar dolar AS untuk mengimpor gula. Tahun 2019, nilai impornya menurun menjadi 1,4 miliar namun tetap secara volume konsisten mengalami kenaikan. Impor pangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun lebih cenderung menguntungkan para importir dalam sektor gula. "Keuntungan para trader gula rafinasi itu setidaknya Rp 4 triliun," ujarnya (republika.co.id, 22/5/2020).

Nampak terang benderang jika negeri ini tersandera, padahal jika pemerintah serius untuk swasembada gula seperti yang dicita-citakan maka pemerintah akan fokus untuk meningkatkan produktivitas gula. Anggaran impor bisa dialihkan untuk membeli tebu petani dengan harga tinggi, dan menghidupkan kembali PG agar beroperasi lagi. 

Islam pun mencontohkan bagaimana mengelola pertanian. Ketahanan pangan di dalam Islam begitu penting sehingga harus ada strategi ekonomi pertanian. Islam akan memetakan mana daerah untuk rumah penduduk, mana daerah untuk industri, dan mana daerah khusus pertanian. Dengan seperti itu lahan pertanian tidak akan  menyusut tergantikan dengan perumahan dan industri. Negara tidak akan membiarkan lahan kosong tanpa ditanami, jika tanah dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut negara akan mengambilnya dan menyerahkan kepada siapapun masyarakat yang bersedia untuk mengelolanya. 

Di dalam Islam negara diwajibkan untuk bertanggung jawab atas kebutuhan petani, negara wajib memberikan bibit berkualitas unggul, pupuk gratis bukan subsidi, peralatan pertanian yang modern, membeli hasil pertanian dengan harga tinggi. Negara wajib merangsang dan mendukung para ilmuwan untuk menemukan dan mengembangkan teknologi pertanian. Industri gula merupakan Industri yang diprioritaskan oleh negara, kesehatan manajemen dan keuangan industri diperhatikan oleh negara, agar Industri dapat berjalan dan berkembang. 

Negara memang butuh anggaran besar untuk mewujudkan swasembada pangan, Islam dengan Baitul Mal akan mampu menganggarkan dana untuk kemajuan pangan.

Islam dengan politik ekonominya tidak akan terjerat dengan perjanjian perdagangan internasional yang merugikan negara, Islam menegaskan, bahwa negara harus mandiri menghasilkan produk sendiri didalam negeri. Jika terjadi sesuatu hal yang menyebabkan harus impor, maka negara akan impor secara bijak, ketika kondisi atau produk bisa dipenuhi oleh dalam negeri maka akan menyetop impor. Wallahu a'lam bish showab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: