Headlines
Loading...
Konser Coldplay, Matinya Empati Secara Sistemik

Konser Coldplay, Matinya Empati Secara Sistemik

Oleh. Ummu Shabbiya

Beberapa hari terakhir, euforia terhadap konser band asal Inggris, Coldplay, terjadi sangat riuh. Berbagai platform sosial media banyak yang mengunggah baik tentang cuplikan konser-konser mereka di berbagai negara, hits-hits mereka terdahulu, sampai kolaborasi yang mereka lakukan dengan BTS dari negeri ginseng Korea untuk membangkitkan animo masyarakat agar hadir dalam konser tersebut. 

Reaksi masyarakat yang heboh dan berbondong-bondong ingin hadir menjadikan harga tiket dibandrol sangat mahal. Namun, itu tidak menjadi masalah bagi mereka. Menurut mereka, harga tiket tersebut 'worth it' untuk band sekaliber Coldplay. Berikutnya mereka mengatakan konser ini bukan untuk kaum 'mendang-mending' yang perhitungan dalam mengeluarkan uang. 

Promotor memang cerdas dalam mengelola promosi serta iklan. Twitter, Instagram, dan Tiktok menjadi ajang promosi konser band yang  dikenal dengan aliran musik rock alternatif, pop rock, dan post-Britpop tersebut. Sehingga mereka yang awalnya tahu sekilas saja ikut tertarik dan ingin datang ke konser, meskipun mereka hanya tahu sedikit tentang band yang digawangi oleh Chris Martin, Guy Berryman, Jonny Buckland, Will Champion, dan Phil Harvey ini. 

Harga tiket yang fantastis tak menjadi masalah, meskipun mereka harus merogoh kocek dalam-dalam, menguras tabungan masa depan dan menekan pengeluaran agar bisa membeli tiket melalui war ticket yang sulit didapat secara online.

Sungguh sangat disayangkan, di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit, dan banyaknya problem kehidupan di tengah masyarakat, tidak dijadikan pertimbangan oleh pihak penyelenggara dalam mengambil keputusan. Cuan adalah fokus utama. Mereka, para promotor sadar bahwa nama Coldplay telah kembali menjadi perbincangan hangat  setelah mereka berkolaborasi dengan super grup dari Negeri Ginseng Korea, BTS dalam lagu berjudul My Universe. Seperti kita ketahui, fans BTS yang disebut sebagai Army adalah fandom terbesar saat ini. Di mana mereka menyukai juga band yang berkolaborasi dengan idolanya. Otomatis, fans Coldplay melonjak drastis. Akun-akun media sosial mereka dibanjiri oleh fans baru. Apalagi ketika duet tersebut memuncaki chart lagu di berbagai negara dan memenangkan Best Duo/Group perfomance dalam penghargaan tertinggi dalam industri musik, Grammy Award. Maka tidak salah, jika kemudian Coldplay menjadi incaran para promotor karena mendatangkan mereka artinya kesuksesan yang besar pasti akan mereka raih. Popularitas Coldplay sungguh menjanjikan keuntungan yang besar.

Di sisi lain, antusiame masyarakat akan konser ini menunjukkan kesenjangan kesejahteraan yang nyata di depan mata kita. Kesenangan dan mengidolakan manusia secara berlebihan menjadikan mereka tidak ragu melakukan segala hal agar bisa datang dan bertemu  dengan idolanya. Meskipun untuk itu, mereka harus mengeluarkan  banyak uang. Mungkin tidak menjadi masalah untuk kalangan berduit, namun bagi mereka yang tak memiliki cukup uang untuk membeli tiket yang terbilang mahal, ini akan menjadi masalah serius ketika mereka sampai berhutang ke pinjol (pinjaman online) yang menerapkan sistem bunga/riba demi bisa bertemu dengan sang artis yang menelurkan hits Yellow tersebut. Sungguh sangat disayangkan, sebegitu rendahnya pola pikir masyarakat saat ini. Mereka begitu mudah terbawa arus  promosi  sampai melakukan hal hal yang dilarang dalam agama hanya untuk kesenangan sesaat.

Mereka melupakan identitasnya sebagai seorang Muslim, yang seharusnya tidak melakukan hal hal tersebut. Dalam Islam kita  boleh dan bisa menikmati hidup, namun tetap harus dalam koridor yang dibolehkan oleh syarak. Jangan sampai kemudian kesenangan itu menyulitkan diri sendiri dan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dilarang oleh Allah. 

Sebagai jmat Islam, sudah seharusnya kita memahami prioritas amal kita. Mana yang musti kita dahulukan dan mana yang kemudian. Di dalam kondisi seperti sekarang, kita harus mampu mengasah kepekaan sosial kita. Kanan dan kiri kita, ada banyak yang membutuhkan uluran tangan kita sekadar untuk bertahan hidup. Banyak yang kesulitan mendapatkan pekerjaan dan berujung depresi.  Mereka banyak yang mengakhiri hidup karena himpitan ekonomi yang tak mampu lagi mereka tanggung. Jangan sampai kemudian kita menjadi orang yang bodo amat dan tidak pedulia dengan sesama. Menghabiskan banyak uang demi sebuah konser adalah  menghambur-hamburkan uang tanpa manfaat, karena dari sisi faedah juga tidak ada kecuali hanya kesenangan sesaat. Sementara banyak orang yang bekerja seharian demi mendapatkan beberapa puluh ribu saja. Sebuah ironi yang benar-benar nyata di depan mata kita semua.

Ekonomi saat ini memang benar-benar sulit bagi sebagian besar orang. Harapan adanya sistem yang mampu memanusiakan manusia, mensejahterakan kehidupan, dan menjamin kebutuhan asasi tercukupi menjadi sebuah kebutuhan yang penting adanya. Sistem Islam adalah satu satunya solusi yang dinanti umat. Di mana  ketika Islam diterapkan maka ada jaminan kesejahteraan dan kecukupan tanpa mereka harus bersusah payah bekerja keras sepanjang waktu, hingga melalaikan hak Allah atas dirinya, seperti mengabaikan salat karena sibuk bekerja. 

Hanya sistem Islamlah yang mampu memberikan yang terbaik di dunia dan di akhirat. Wallahu'alam bissawab. [my]

Baca juga:

0 Comments: