surat pembaca
Maraknya Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Pemuda
Oleh. Dita Serly Nur Cahyanti
Bicara tentang pemuda, seharusnya membuat kita lebih semangat, seperti kutipan Ir. Soekarno kala itu. "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Bahkan jika diamati lebih dalam lagi, setiap kalimat menunjukkan betapa besar potensi pemuda. Miris sekali, ketika harus menghadapi kenyataan bahwa pemuda saat ini banyak yang mengalami masalah mental.
Baik itu kehilangan akal sehat atau bahkan mengakhiri hidupnya. Pemuda yang seharusnya menjadi tonggak perubahan, kini beralih menjadi pemuda yang mudah terserang gangguan.
Kebebasan yang digaungkan tanpa ada arahan, menunjukkan betapa rusaknya sistem ini dalam menjaga kesehatan para individunya.
Pemuda saat ini, diarahkan menjadi budak kapitalisme. Tekanan ekonomi, keluarga, dan sekolah pun tak luput dari campur tangan kapitalisme, hingga menjadikan pemuda semakin frustasi dan memilih mengakhiri diri.
Bukan hanya itu, kurangnya keimanan dalam diri pemuda semakin membuat kehidupannya tak terarah. Tidak ada yang menjadi acuan dalam menghadapi segala permasalahan, yang ada hanya nafsu yang selalu dinomorsatukan.
Seperti inikah gambaran pemuda saat ini? Pemuda yang jauh dari kata ideal. Pemuda yang tidak tahu arah dan tujuan, hanya mengikuti budaya barat yang tak sejalan dengan budaya Islam.
Pemuda itu masuk pada usia produktif, yang seharusnya mampu menjadi tonggak perubahan dalam sebuah negara. Menjadi pemuda yang berprestasi dengan keimanan yang kokoh. Namun, sayang seribu sayang. Di sistem saat ini potensi pemuda dibajak dengan begitu bebasnya. Pemuda dijadikan budak kapitalisme. Keimanan yang lemah menjadi gambaran masa depan pemuda yang semakin suram di negeri ini.
Inilah dampak dari penerapan kapitalisme, seperti yang dilansir dalam situs berita berikut.
CNN Indonesia, Sebanyak 2,45 juta remaja Indonesia didiagnosis mengalami gangguan jiwa selama 12 bulan terakhir.
Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan The Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada.
Bukan hanya itu, penelitian ini juga menemukan 15,5 juta remaja mengalami gangguan kesehatan jiwa dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, di mana kesehatan jiwa setiap individu terjaga. Kurikulum dalam pendidikan Islam mengedepankan akidah, sehingga tak heran jika pada zaman dahulu negara Islam banyak melahirkan generasi muda yang sangat berprestasi, seperti Muhammad al-Fatih, Al-Khowarismi, Ibnu Sina, Imam Ahmad, Imam Syafi'i, dan masih banyak lagi.
Para orang tua akan dibekali dengan ilmu parenting, sehingga keduanya akan lebih fokus pada tugas masing-masing. Seorang anak tak akan merasakan kekurangan kasih sayang. Tidak seperti sekarang, orang tua sibuk dengan pekerjaan dan membiarkan anaknya hidup bebas tanpa kasih sayang yang cukup.
Adapun biaya pendidikan, dalam Islam semuanya gratis ditanggung oleh negara. Tak hanya pendidikan, kesehatan juga gratis. Dan negara akan memastikan setiap laki-laki memiliki pekerjaan, terlebih bagi seorang pencari nafkah.
Apakah masih ingin bertahan di sistem saat ini? Biaya pendidikan dan kesehatan mahal, lapangan pekerjaan pun sulit. Bukankah Allah telah memberikan seperangkat aturan yang sempurna, kenapa masih memilih memakai aturan manusia yang sudah terbukti hanya melahirkan kerusakan manusia itu sendiri? Maka tak ada pilihan lagi selain memilih sistem Islam menjadi solusi permasalahan umat saat ini, termasuk permasalahan pemuda.
Wallahualam bissawab. [Ni]
0 Comments: