Headlines
Loading...
Paradoks Kebebasan Berpendapat dalam  Sistem Demokrasi

Paradoks Kebebasan Berpendapat dalam Sistem Demokrasi

Oleh. Aya (Radiografer)

Sedang ramai di media sosial beberapa hari yang lalu, seorang pengguna TikTok bernama Bima Yudho Saputro atau akrab di panggil Bima. Bima menuai sorotan usai membuat konten video berupa presentasi bertajuk “Alasan Lampung Tidak Maju-Maju” di akun TikToknya yang kemudian viral dan juga sempat menjadi trending topik di twitter.

Video Bima berdurasi 3 menit 28 detik itu melontarkan kritik terhadap kondisi sejumlah sektor di kota kelahirannya, Lampung. Beberapa sektor yang dikritik Bima sehingga menimbulkan kontroversial, diantaranya mengenai infrastruktur, proyek Kota Baru, pendidikan, tata kelola birokrasi, pertanian, dan tingkat kriminalitas. Dengan disertai beberapa data dalam presentasi Bima menyebutkan bahwa infrastruktur di Lampung banyak yang rusak, sedangkan proyek Kota Baru disebut mangkrak sejak lama. TikToker ini juga menyebutkan bahwa pendidikan di Lampung tidak merata dan banyak terjadi kasus suap menyuap.

Naas, kasus Bima berujung pada tindakan yang dilakukan oleh seorang advokat Gindha Ansori, dimana Gindha melaporkan Bima ke Polda Lampung terkait konten Bima yang melanggar Undang-Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Laporan inilah yang menjadikan kasus Bima tidak hanya viral, akan tetapi juga berbuntut panjang. Orang tua Bima harus berurusan dengan orang no. 1 di Lampung dan beberapa pejabat publik lainnya. Tidak hanya itu, dalam video unggahan Bima yang lain, ia menyesalkan adanya tekanan yang dirasakan oleh keluarganya. Akan tetapi dari kasus Bima ini, netizen justru beramai-ramai memberi dukungan pada Bima. 

Kreativitas pemuda dalam bersuara yang mampu menggentarkan rezim ini, mengingatkan akan sebuah kutipan pidato Bung Karno yang sangat terkenal, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Terbukti baru satu pemuda ternyata mampu mengguncang Indonesia.

Paradoks Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi

Pada zaman digital hari ini, kritik lebih cepat mengena dan viral di media sosial. Terbukti, setelah kritik Bima viral tentang jalan di Lampung ramai dibahas, pemerintah setempat tampak bergerak cepat dengan melakukan perbaikan jalan yang disebutkan Bima dalam akun TikTok-nya.

Sangat jelas, bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi untuk berbagai jenis gagasan di negeri ini dilindungi oleh konstitusi. Sebagaimana amanat Pasal 28 ayat (4) UUD 1945, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya kebebasan berpendapat dan berekspresi, adalah tanggung jawab Negara. 

Namun, kritik rakyat kepada penguasanya juga sering kali dijawab dengan ancaman, intervensi, dan intimidasi serta bisa berujung di bui. Sungguh aneh, kebebasan berpendapat yang katanya dijamin UUD 1945 pun akhirnya terancam oleh penerapan UU ITE yang disahkan sejak 2008, sehingga membuat ruang gerak rakyat dalam mengkritik dan memberi masukan menjadi sempit dan terbatas.

Inilah yang terjadi pada UU ITE. Banyak sekali aktivis yang menjadi korban “keganasan” UU ITE. Dari musisi hingga politisi pernah mencicipi pasal karet yang kerap diterapkan untuk menjerat lawan penguasa ke penjara tak terkecuali dalam kasus Bima. Namun, berbeda cerita bila pelaku pelanggaran ITE adalah pendukung pemerintah, UU ITE seperti tumpul untuk mereka.

Jadi, jika pemerintah mengatakan terbuka terhadap kritik, itu omong kosong. Sederet fakta menjadi bukti tidak terbantahkan betapa masyarakat dibuat ketakutan untuk melakukan kritik dan menyuarakan aspirasinya atas jalannya pemerintahan hari ini. Mereka ditakuti dengan narasi negatif dan ancaman pidana dengan satu senjata ampuh bernama UU ITE. 

Jika memang demokrasi menjujung tinggi kebebasan berpendapat, harusnya tidak perlu ada pembungkaman kepada mereka yang kritis, tidak ada kriminalisasi ulama, tidak ada pembubaran ormas yang konsisten berdakwah menyuarakan kebenaran, tidak perlu ada tuduhan-tuduhan yang menyerang aktivis Islam, dan tidak perlu ada kriminalisasi ajaran Islam. Inilah bukti paradoks kebebasan berpendapat dalam Demokrasi. 

Kritik Dalam Pandangan Islam

Siapapun yang memiliki pikiran jernih dan nurani yang bersih, tentu tidak akan berkompromi dengan kezaliman. Rakyat juga tidak akan suka jika pihak yang diberi kekuasaan malah disalahgunakan. Kritik adalah tanda rakyat peduli pada negeri tercintanya ini. Penguasa yang diberi amanah menjalankan roda pemerintahan, sudah semestinya berbesar hati menerima kritik rakyat. 

Penguasa dipilih rakyat, diberi mandat melakukan pelayanan pada urusan rakyat, bukan pihak yang minta dilayani rakyat. Artinya, jika pemerintah berbuat salah, ada hak rakyat untuk melakukan koreksi, mengkritik, dan meluruskannya.

Dalam Islam, kritik yang dilakukan rakyat kepada penguasa merupakan bagian dari aktivitas muhasabah. Hal ini sudah biasa dilakukan sejak masa Rasulullah saw. sampai pada masa Ustmaniyah. Kritik atau muhasabah merupakan kewajiban bagi setiap muslim sebagai kontrol masyarakat serta amar makruf nahi mungkar. 

Pemimpin dalam Islam tidak anti kritik. Rakyat boleh mengkritik penguasa secara langsung atau tidak langsung kepada penguasa. Sebagaimana kisah seorang perempuan yang mengkritik kebijakan Kh4l1f4h Umar bin Khaththab r.a. terkait pembatasan mahar bagi perempuan. 

Rakyat juga bebas menyampaikan pendapat dan keluhannya kepada Majelis Umat, yakni bagian dari struktur negara Kh1l4f4h yang mewadahi aspirasi rakyat serta tempat Kh4l1f4h meminta nasihat dalam berbagai urusan. Majelis Umat punya wewenang yang terbatas pada mengoreksi kebijakan penguasa, mengontrol jalannya pemerintahan, dan memberi masukan pada penguasa serta pejabat negara.

Islam juga memberikan keteladanan seorang penguasa dalam menanggapi kritik dan nasehat atas kebijakannya. Tengoklah sikap Kh4l1f4h Umar yang lebih senang dikritik daripada dipuji. Beliau mengatakan, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, luruskan aku walaupun dengan pedang.” Begitu pula dengan Kh4l1f4h Umar bin Abdul Aziz yang dengan senang hati menerima kritik dari putranya sendiri lantaran ingin beristirahat sejenak sementara masih banyak urusan rakyat menanti untuk diurus. 

Kh1l4f4h sangat terbuka dengan kritik dan aduan dari rakyatnya. Dengan kritiklah penguasa bisa selamat dari sikap zalim dan mungkar yang bisa menjerumuskannya ke dalam neraka. Dengan muhasabah, penguasa akan melakukan evaluasi, sebab dia menyadari setiap kebijakannya pasti berdampak bagi rakyat yang dipimpinnya. Begitu juga dengan beratnya beban amanah yang harus dijalankan dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. kelak di akhirat. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: