Headlines
Loading...
Polemik UU Ciptakerja, Siapa Untung Siapa Buntung?

Polemik UU Ciptakerja, Siapa Untung Siapa Buntung?

Oleh: Rinnay

Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2019 mengatur tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan, Kawasan Bromo-Tengger Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan. 

Sedangkan, Karisidenan Madiun masuk ke dalam kawasan selingkar wilis, dan masuk kedalam tiga kawasan industri yang diprioritaskan dalam pembangunan yaitu Kabupaten Ngawi, Kabupaten Madiun dan Nganjuk. 

Kawasan industri Kabupaten Madiun rencananya akan dilakukan di kecamatan Geger, Dolopo, Wungu, Wonosari, dan Balerejo dengan luas 64,83 hektar. Kabupaten Madiun dibidik sebagai salah satu tempat kawasan industri, bukan tanpa alasan, terdapat banyak faktor yang menggiurkan bagi investor, mulai UMR yang rendah, harga lahan yang murah, jalan tol yang sudah tersedia dan bahan baku yang murah. 

Rencana pengaturan kawasan industri pun disambut meriah oleh pemkab dan juga masyarakat, kedepannya diharapkan keberadaan kawasan industri akan mampu menyerap tenaga kerja, meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), dan meningkatkan GDP (Gross Domestik Produk) secara nasional. Namun apakah kemeriahan ini akan selaras dengan UU Cipta kerja yang baru-baru ini disahkan? gelombang penolakan terus terjadi, penolakan tersebut dilakukan karena UU Cipta kerja banyak merugikan pekerja dan lingkungan. 

Ada empat catatan di dalam UU Cipta kerja tersebut yang pekerja. Pertama, dihilangkannya upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003. Dengan begitu perusahaan bisa dengan sangat mudah membayar upah sekehendak hatinya. Upah mereka bisa tak sebanding dengan tenaga yang mereka keluarkan. Lembur pun bisa tak dimasukan sebagai tambahan gaji. Sangat begitu kejam. 

Kedua, UU No 11 Tahun 2020 menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003. Ini artinya perusahaan legal untuk tidak mengangkat pegawai sebagai tenaga tetap namun menjadi tenaga kontrak. Meskipun pegawai tersebut telah bekerja bertahun-tahun hingga belasan bahkan puluhan tahun lamanya, tetapi menjadi tenaga kontrak yang bergaji kecil, dan bisa didepak dari perusahaan sewaktu-waktu. Sungguh tidak manusiawi. 

Ketiga, UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 64 dan 65 UU No 13 Tahun 2003. Penghapusan pasal ini mengakibatkan tidak adanya batasan jenis pekerjaan outsourcing (kontrak), artinya semua pekerjaan baik pekerjaan pokok hingga pekerjaan non pokok menggunakan tenaga outsourcing. Padahal karyawan adalah manusia yang seharusnya tidak diperjual belikan seperti barang oleh agen. 

Keempat, UU No 11 tahun 2020 mengurangi nilai pesangon buruh, dari 32 bulan upah menjadi 25 upah (19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan). Bagaikan jatuh tertimpa tangga pula, sudah jadi tenaga kontrak, upah minimalis, ditambah pula pengurangan pesangon. Padahal pesangon, jaminan hari tua dan jaminan pensiun di Indonesia masih sangat kecil dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. 

Bisa jadi ketika pembangunan kawasan industri berlangsung, akan merekrut karyawan disekitarnya, namun bisa juga yang terjadi adalah pengangguran akan berkurang. Namun tidak cukup hanya mendapatkan pekerjaan saja sedang hak-hak pekerja tidak terpenuhi malah semakin jelas dikebiri, tenaga mereka diperas tapi upah tak sepadan. Bukankah ini jelas ada upaya menjadikan karyawan sebagai butuh? Amat disayangkan jika bonus demografi yang dimiliki Indonesia malah dimanfaatkan oleh kepentingan pemilik modal untuk kepentingan keuntungan mereka. 

Belum lagi kerusakan alam yang akan ditimbulkan oleh industri, limbah cair yang merusak tanah, air, limbah udara, dan berbagai jenis limbah lainnya. Lagi-lagi UU Cipta kerja ini pun menuai polemik, AMDAL bukan menjadi tanggungjawab perusahaan.

Sungguh sangat miris sekali. Kondisi alam kita semakin rusak, perubahan iklim yang ekstrem merugikan rakyat kecil. Ketika musim hujan banjir melanda, ketika musim kemarau kekeringan merajalela. Gagal panen, petani rugi, harga pangan mahal, rakyat susah memenuhi kebutuhannya. Ya! lagi-lagi rakyat kecil yang harus menanggung beban ini. 

Kenaikan PAD dan GDP tak akan mampu merubah kondisi masyarakat kecil, sebaliknya akan menambah daftar orang kaya. Karena GDP tinggi sebenarnya tidak mencerminkan kesejahteraan. 

Ketika sistem kehidupan diatur oleh sistem buatan manusia yang memiliki nafsu keserakahan maka wajar jika semakin rusak. Dalam Islam, Allah menciptakan manusia dengan seperangkat aturan, yaitu syariat Islam, agar manusia bisa menjadi Khalifah (pemimpin dan pengatur) di muka bumi. Islam bukan sekadar akidah, namun juga sebuah sistem yang mengatur masalah muamalah, termasuk industri. 

Industri di dalam Islam tidak boleh saling menzalimi hak-hak yang lainnya. Maka harus ada RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dalam pemetaan setiap daerah, dimana industri diletakan di daerah yang tidak subur,  jangan sampai menggunakan lahan untuk persawahan atau daerah resapan air, karena itu akan menzalimi masyarakat dan petani. Industri didirikan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sehingga harus produk halal dan tidak membahayakan manusia. Industri juga harus jelas statusnya, kepemilikan negara atau swasta. 

Di dalam Islam swasta dilarang untuk menguasai sektor yang berpengaruh besar terhadap hajat hidup rakyat, maksudnya sektor strategis tidak boleh dikuasai oleh swasta, contohnya seperti Industri senjata atau Industri pangan skala besar. Swasta hanya boleh mendirikan Industri pada sektor yang tidak strategis seperti Industri pakaian, sepatu, berkecimpung dalam Industri makanan atau minuman sangat boleh asal tidak menguasai pangan secara nasional. Pengaturan ini dimaksudkan agar tugas negara sebagai penjaga, pelindung, dan pemenuhan kebutuhan rakyat menjadi tanggungjawab negara bukan diprivatisasi oleh swasta. 

Di dalam pengaturan ketenagakerjaan, Islam mewajibkan pemberi kerja memberikan hak-hak pekerja, mereka digaji sesuai dengan posisinya, mereka tidak boleh dizalimi baik berkaitan dengan upah, hari libur, lembur, maupun hak-hak pekerja lainnya. Dan Islam mewajibkan negara untuk berlaku adil, negara wajib menindak tegas pembisnis yang nakal, negara harus membuat aturan yang jelas terkait ketenagakerjaan yang melindungi hak-hak pekerja. 

Pemanfaatan alam  juga dilindungi oleh Islam, penjagaan alam semesta merupakan tugas manusia. Negara akan mengembangkan teknologi untuk mengolah limbah agar tidak mencemari lingkungan. Begitulah Islam mengatur kehidupan bermuamalah. Wallahu a'lam bish showab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: