Headlines
Loading...
Remisi Idul Fitri, Refleksi Kemenangan Bagi Para Napi?

Remisi Idul Fitri, Refleksi Kemenangan Bagi Para Napi?

Oleh. Ummu Faiha Hasna

Remisi atau pengurangan masa tahanan diklaim akan mengirit anggaran negara secara cukup signifikan. Benarkah pemberian remisi Idulfitri ini akan memberi efek jera bagi pelaku kejahatan?

Dikutip dari JawaPos.com, Jumat, 21 April 2023 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan remisi khusus (RK) Hari Raya Idulfitri 1444 Hijriah kepada 146.260 dari 196.371 narapidana beragama Islam di Indonesia.

Menurut Ditjenpas Rika Aprianti, pemberian RK Idulfitri ini merefleksikan lebaran sebagai kemenangan atas perjuangan melawan hawa nafsu. Selain itu, kemenangan ini pun berlaku untuk orang yang menjalani hukuman pidana alias para napi yang dengan sungguh-sungguh lantas bertaubat dan memperbaiki diri. Sebagaimana yang diucap Ditjenpas dalam keterangan tertulis, pada Jumat 21 April lalu.

Selain mempercepat reintegrasi sosial narapidana, sejatinya pemberian RK Idulftri ini juga dinilai berpotensi menghemat biaya anggaran makan narapidana.

Bila ditelaah, dari sekian banyak aturan yang terkait sistem hukuman saat ini, Remisi Idulfitri ini menunjukkan adanya ketidakpastian sanksi dalam sistem sekuler dalam memberi efek jera pada pelaku kejahatan. Masalahnya, aturan sanksi ini berpangkal pada perhitungan sekuler-liberal yang akhirnya melahirkan tata aturan pidana sekuler.

Sejatinya, sistem sanksi dalam kehidupan hari ini menafikan peran agama dari kehidupan. Hukum pidana dibuat oleh akal manusia yang lemah dan sangat terbatas.

Sistem pidana sekuler juga nihil dari unsur ketakwaan, sebab tidak berawal dari wahyu Allah. Akibatnya aturan yang dibuat dari manusia tersebut, punya kemampuan untuk berubah, berbeda dan berganti. Apalagi sistem pidana ini kemungkinan besar disalahgunakan oleh pihak yang kuat, yakni penguasa atau pemilik modal sebab tidak ada kepastian yang jelas di dalamnya. 

Hal ini berbeda dengan tata kelola sanksi di dalam Islam yang menimbulkan efek jera dan meniscayakan adanya rasa keadilan. Hal ini, sebab, hukum sanksi yang berlaku berasal dari Sang Pencipta dan pengatur alam semesta, yakni Allah azza wa jalla.

Sekurang-kurangnya ada lima keunggulan aturan sanksi dalam Islam, yaitu yang pertama, sistem sanksi Islam berasal dari Allah, Dzat yang Maha Mengetahui perihal manusia secara sempurna termasuk perilaku hati dan kecintaan naluriah manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 50, afahukmal jahiliyyati yabgun waman ahsanu minallohi hukmal liqoumiy-yuuqinuun.

 
Menurut Tafsir Al-Jalalain, hal. 91
Ayat di atas maknanya adalah tidak ada hukum siapa pun yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin. Maka, atas dasar itulah  sistem sanksi Islam yang berasal dari wahyu Allah dijalankan sebagai wujud ketakwaan individu terhadap Penciptanya.

Kedua, sistem sanksi Islam bersifat wajib,, konsisten, dan tidak berubah-ubah mengikuti situasi, kondisi, waktu dan tempat. Allah SWT berfirman:
Watammat kalimatu Robbikashidqon wa'adlan wamubaddila likalimati wahuwassamii'ul 'aliimu,  Sebagaimana dalam Quran Surat Al-An'am ayat 115.

Ketiga, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir alias membuat jera di dunia) dan jawabir atau sebagai penghapus dosa di akhirat. Sejatinya, sistem pidana Islam itu berdimensi dunia dan akhirat. Sebab, aturan yang berlaku dalam pidana sekuler kapitalis saat ini hanya berdimensi dunia yang sangat dangkal. 

Sifat zawajir artinya aturan sanksi Islam akan membuat jera pelakunya sampai benar-benar tidak akan melakukan kejahatan yang sama. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat  dapat terjamin dengan baik. 

Sedang sifat jawabir, artinya aturan sanksi Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang muslim di akhirat kelak. 

Pada peristiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menerangkan bahwa siapapun yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu, maka sanksi itu akan menjadi kaffarah atau penggugur dosa baginya (HR. Bukhari)

Keempat, dalam sistem sanksi Islam, peluang permainan hukum dan peradilan sangat kecil. Ini terutama karena, sistem pidana Islam itu bersifat spiritual, yakni menjalankannya berarti bertakwa kepada Allah. Selain itu, hakim yang curang dalam menjatuhkan hukuman, atau menerima suap dalam mengadili, diancam hukuman yang berat oleh Allah, yaitu masuk neraka atau malah bisa menjadi kafir atau murtad.

Kelima, sistem sanksi Islam, seorang qadhi memiliki independensi tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syariat Islam.

Secara empiris aturan sanksi Islam telah terbukti mampu meminimalisir tindak kejahatan atau kriminalitas. Hal ini tentu tidak akan terwujud dalam sistem demokrasi sekuler seperti sekarang ini. Sebab agama terpisah dari negara. 

Aturan sanksi yang tegas dan adil akan ada jika hukum Allah diterapkan dalam bingkai negara Khil4f4h. Karena Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna, mengatur segala aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali. Aturannya bersifat baku. Tidak akan berubah di mana pun dan kapan pun. Maka, hanya sistem sanksi Islamlah yang akan mampu mencegah kriminalitas dengan tuntas hingga ke akar-akarnya, bukan selainnya. Wallahu a'lam bish shawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: