Headlines
Loading...
Sejahtera Sesungguhnya, Bukan untuk Sebuah Citra

Sejahtera Sesungguhnya, Bukan untuk Sebuah Citra

Oleh. Ni’mah Fadeli 
Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam

Segala sesuatu memiliki tingkat acuan atau ukuran tertentu. Hal ini dibutuhkan agar menjadi evaluasi dan bahan perbaikan apalagi jika sesuatu tersebut berkaitan dengan kondisi suatu negara. Sebagai contoh ukuran kemiskinan di Indonesia, sejak tahun 2011 adalah berdasarkan paritas daya beli atau purchasing power sebesar USD 1,9 per hari.

Bank Dunia menilai hal ini sudah tidak relevan dan merekomendasikan agar acuan tersebut diubah menjadi besaran pendapatan sebesar USD 3,20 per hari. Merespon hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa ukuran garis kemiskinan yang disarankan Bank Dunia tersebut belum dapat menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat Indonesia yang sebenarnya. 

Jika ukuran garis kemiskinan dinaikkan seperti rekomendasi tersebut maka sebanyak 40% penduduk Indonesia akan menjadi terkategori miskin (cnbcindonesia.com,09/05/2023).

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai,  ketidakmauan pemerintah mengubah acuan angka kemiskinan seperti rekemondasi Bank Dunia adalah karena akan berimbasnya hal tersebut pada citra negara. Pemerintah tentu akan malu jika angka kemiskinan di negaranya tinggi. Meski demikian, menurut Trubus seharusnya pemerintah tidak boleh menghindar dan mengingkari karena standar yang ditetapkan Bank Dunia merupakan standar internasional yang tentu saja sudah melalui penelitian sebelumnya (tempo.co, 15/05/2023).

Tak bisa dipungkiri, angka kemiskinan di negeri ini memang relatif masih tinggi. Entah itu menggunakan standar pemerintah sendiri atau standar internasional. Pada faktanya memang masih banyak penduduk yang hidup dalam garis kemiskinan. Namun mirisnya,  dalam sistem kapitalis liberal yang menguasai dunia saat ini dimana materi menjadi acuan dalam kehidupan maka kesempatan untuk menumpuk kekayaan pribadi dibuka seluasnya-luasnya bagi mereka yang kuat secara modal atau capital sehingga jumlah orang kaya pun meningkat.

Maka ukuran makro yang digunakan untuk menghitung angka kemiskinan di suatu negara tentu tak akan dapat menggambarkan fakta ekonomi yang sebenarnya. Tak ingin dikategorikan negara miskin sehingga standar yang digunakan rendah sementara harga-harga semakin tinggi. Di lain sisi juga memberi kebebasan seluas-luasnya pada si kaya untuk menambah kekayaan. Sungguh sangat ironi.

Islam memandang bahwa kesejahteraan adalah hak setiap individu bukan hanya untuk sebagian orang saja seperti dalam sistem kapitalis liberal saat ini. Kebutuhan pokok setiap individu harus terpenuhi maka ada aturan agar hal tersebut dapat tercapai. Dalam Islam kewajiban mencari nafkah ada pada laki-laki maka lapangan pekerjaan akan dibuka seluas-luasnya dan disediakan keterampilan juga modal agar setiap laki-laki dapat menafkahi keluarganya dengan layak. 

Untuk pendidikan, kesehatan dan keamanan akan dapat diakses setiap rakyat tanpa biaya karena memang kewajiban negara untuk menyediakannya.

Islam akan mengatur kepemilikan individu, umum dan negara sesuai syariat. Tidak diperkenankan menguasai harta berdasarkan keinginan pribadi untuk menumpuk kekayaan. Pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki negara akan digunakan untuk kepentingan rakyat dan digunakan sebagai pemasukan negara. Untuk pendistribusian harta baik kekayaan negara, masyarakat dan negara juga diatur sesuai syariat seperti adanya zakat, kharaj, jizyah dan seterusnya.

Segala aturan yang diterapkan adalah berdasarkan syariat yang telah Allah Subhanallahu Wa Ta’ala tetapkan bukan karena ambisi pribadi atau untuk membangun citra. Jika segala sesuatu disandarkan berdasarkan standar Sang Pemilik Kehidupan maka kesejahteraan yang sesungguhnya akan didapat. Bukan tentang citra di mata manusia namun keinginan mendapat ridha Allah semata. 

Dengan penerapan sistem Islam dalam kehidupan maka fungsi Islam sebagai rahmatan lil alamin, pembawa rahmat bagi seluruh alam akan kita dapatkan. Wallahu a’lam bishawwab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: