Oleh. Afiyah Rasyad
(Emak Big 5)
Gerbang besar bercat orange terdiam membisu di tengah terpaan cuaca dingin menusuk tulang. Daun-daun kering berguguran tanpa ada penghormatan. Didi tenggelam dalam tugas-tugas literasi yang menggunung tinggi. Tangannya lincah menekan 'keyboard' laptop berlogo "apel kroak" di hadapannya.
Beberapa pasang mata menatapnya. Lisan-lisan pemilik mata itu sibuk menilai dan mengomentari Didi yang asyik dengan dunianya. Dengan saksama, komentator di seberang mejanya merasani Didi yang tak tahu-menahu akan alpa dan cela yang dirasani.
"Eh, si Didi bukan Riyadi, tuh udah puasa, lho, sejak kemarin," ucap Syasya sambil memperbaiki kerudungnya.
"Ya, biarin aja, Sya. Kan Senin memang puasa sunnah," sahut Ria santai.
"Tapi, dia itu sudah pasang status WA, lho. Di medsosnya juga iya. Dia selalu beda pokoknya," jawab Syasya agak julid.
"Bener juga, sih. Kemarin aja Idulfitri dia juga beda. Berarti bener, ya, isu dia kapan waktu yang dipangkil PR III," Nyinyir Ratu si perempuan Menwa alias Resimen Mahasiswa.
"Lihat, deh, tulisan si Didi," Andin menghentikan sejenak perhelatan lisan di antara mereka.
Syasya segera membaca topik itu.
"Apa kata dunia jika satelit bumi yang hanya satu, selisih waktu dalam sehari yang tak elbih dari 24 jam, justru menetapkan tanggal 1 tiap bulan Hijriah terus beda. Fine, jika itu Idulfitri. Lantas, bagaimana dengan Iduladha. Momentum haji sebagai lonceng persatuan umat Islam seluruh dunia. Ada wukuf di Arafah sebelum Iduladha." Syasya mengambil napas panjang.
"Apa kata dunia jika wukuf di Arafah yang hanya terjadi sehari saja pada tanggal 9 waktu Makkah harus bertambah di tanggal 10 di belahan dunia lain. Tanggal 10 itu masih saja tanggal 9, padahal letak geografisnya lebih dulu negeri itu dibandingkan Arab Saudi. Apa kata dunia?"
Syasya mengakhiri bacaannya. Mereka "kicep" seketika. Ada perasaan bersalah menyusup dada mereka, kecuali Syasya yang masih berkomentar, "Sok paling Tuhan." Komentar pedas pada penulis itu dia monologkan dalam hati.
"Udah, Sya. Benar memang apa yang dia tulis itu," ucap Andin seakan paham.
Sementara Didi sedang sibuk mengemasi barangnya. Telinganya menangkap beberapa obrolan para gadis di sebrangnya yang hanya berjarak 2500 cm. Dia hanya berdoa semoga dia kuat menanggung perbedaan yang dianggap biasa dan dianggap sebagai rahmat. Lisannya terus merapal kalimat thoyyibah dan melangitkan doa agar istikamah di jalan Islam.
0 Comments: