OPINI
Bioetanol Lebih Mahal dari Pertamax, Kebijakan ini Dibuat untuk Kepentingan Siapa?
Oleh. Ummu Faiha Hasna
Beberapa waktu yang lalu, Direktur PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan Pertamina Persero akan launching produk baru bahan bakar minyak (BBM) campuran pertamax dengan nabati etanol yang diberi nama bioetanol Juni ini.
Bioetanol merupakan salah satu bentuk energi terbarukan yang dapat diproduksi dari tumbuhan melalui proses fermentasi. Etanol sendiri dapat dibuat dari tanaman-tanaman yang umum, salah satunya tebu.
Beliau menuturkan etanol yang akan digunakan berasal dari molases tebu. Menurutnya, transisi energi bukan sekadar menurunkan karbon emisi, tetapi lebih penting lagi bagi Indonesia adalah untuk mewujudkan kemandirian energi. Dan produk ini diklaim menjadi solusi pengurangan tekanan impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan Indonesia. Di samping itu manfaat lainnya adalah sebagai bahan campuran BBM yang dapat menurunkan polutan emisi kendaraan. Mengingat harganya lebih mahal dari pertamax, lalu kebijakan ini sebenarnya dibuat untuk kepentingan siapa? Jika rakyat justru terbebani.
Meski produk BBM bioetanol Pertamina memiliki sejumlah keuntungan, nyatanya masih terdapat tantangan dalam implementasinya. Seperti kebijakan harga, pajak, dan subsidi yang tepat sasaran. Tak hanya itu, PT Pertamina (Persero) juga menyatakan harga BBM bioetanol kemungkinan lebih mahal dari pertamax. Karena Research Octane Number (RON)nya lebih tinggi (cnnindonesia, 09/6/ 2023).
Sebagaimana yang dikabarkan dalam Kompas, 7/2/2017 lalu, bahwa sebelumnya proyek bioetanol sudah pernah dilakukan. Yakni bioetanol dengan bijih jarak. Akan tetapi faktanya pabrik pengolahan yang dibangun oleh pemerintah daerah dan pusat justru malah mangkrak. Namun, perusahaan pengolahan biji jarak milik asing justru berkembang. Produk itu dikemas untuk ekspor ke Jepang dan Jerman. Lagi pula, minyak jarak di tingkat petani dihargai amat rendah, sekitar 500 rupiah per kilogram.
Seperti inilah kebijakan dari negara yang diatur oleh tata kelola kapitalisme. Kebijakan yang dibuat sejatinya bukan menjanjikan angin surga atau meringankan beban rakyat, namun melihat peluang keuntungan bagi para pemilik modal yakni swasta.
Meskipun negeri ini kaya akan minyak dan gas, akan tetapi justru impor migas dan rakyat menikmati BBM dengan harga yang mahal.
Sejatinya, sistem kapitalisme yang telah membuat kekayaan alam dikuasai swasta. Ditambah, adanya Undang-Undang SDA membuat sebagian hasil eksplorasi migas wajib diekspor ke luar negeri. Inilah yang akhirnya menyebabkan kekayaan migas tak dapat dijangkau oleh pabrik. Dan juga, solusi terbarukan yang diklaim sebagai solusi energi fosil seperti bioetanol juga menjaga ladang kapitalisasi swasta. Lagi-lagi kebijakan penguasa membebani rakyat.
Akan jauh berbeda dengan sistem Islam yakni Kh!l4f4h ketika mengurus kebutuhan rakyat. Kh!l4f4h sebagai pemimpin tunggal kaum muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab dalam mengurusi urusan umat. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw., bahwa seorang imam atau kh4l1f4h adalah raa'in yakni pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. (HR. Bukhari)
Atas dasar inilah Islam mewajibkan negara untuk membuat kebijakan yang memudahkan hidup rakyatnya. Karena negara adalah sebagai pengurus rakyat. Sehingga negara dalam sistem Islam akan mengurus keperluan rakyatnya dengan sepenuh hati. Sebab, kebijakannya didasari atas pelayanan publik, bukan berorientasi untung rugi seperti di negara kapitalisme.
Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, negara atas dasar mindset Islam akan berpijak pada aturan syariat yang mengaturnya. Sebagaimana yang diketahui migas dan batu bara termasuk sumber daya alam yang menjadi penopang utama energi.
Dalam kitab Nidzamul Iqtishadiy, Syekh Taqiyuddin mengategorikan sumber daya alam adalah harta kepemilikan umum yang tidak boleh dimonopoli pihak tertentu dan hasilnya harus bisa dinikmati oleh seluruh kaum muslimin. Dalilnya adalah sebagaimana hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad bahwa, kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yakni padang rumput, air, dan api (muslimahmediacenter).
Maka, dari hadis inilah syariat mewajibkan negara yang menjadi pengelola, bukan pihak lain seperti swasta. Sehingga, proses eksplorasi, eksploitasi, hingga pengelolaan hasil tambang berada di bawah kendali Kh!l4f4h. Selanjutnya, Kh!l4f4h akan mendistribusikan hasil pengelolaan tersebut kepada warga negaranya secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, yakni berupa distribusi BBM listrik dan kebutuhan energi lainnya sehingga rakyat bisa menikmatinya dengan mudah, murah, dan bahkan gratis. Secara tidak langsung keuntungan pengelolaan SDA akan dimasukkan ke pos kepemilikan umum baitulmal, yang mana dananya dari pos ini nantinya akan digunakan untuk membiayai kebutuhan dasar publik.
Maka, ketika pemanfaatan migas sebagai sumber energi dinilai menimbulkan emisi CO2 yang tinggi, negara wajib menggunakan teknologi yang paling baik sehingga kemudian tidak dihasilkan emisi CO2 yang tinggi.
Islam sebenarnya tidak melarang pengembangan energi alternatif seperti bioenergi untuk mendukung kebutuhan energi warga. Hanya saja, pengembangan ini tentunya tidak boleh dalam rangka bisnis. Dan tidak boleh menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi rakyat. Seperti kesulitan pangan yang menyebabkan impor atau bahkan menimbulkan kerusakan lingkungan. Tata aturan Islam akan menjadi sumber kebaikan bukan sumber keburukan. Karena tidaklah Allah mengutus Nabi ke dunia ini untuk menerapkan syariat-Nya, melainkan agar membawa rahmat bagi semua umat (QS. Al Anbiya: 107).
Demikianlah, negara Islam dalam mengatur dan mengelola kebutuhan energi warga negaranya. Negara yang bersyaksiyah Islam bukanlah mesin regulator seperti kapitalisme saat ini, akan tetapi negara yang berdiri kokoh sebagai negara mandiri yang memiliki kedaulatan penuh dalam urusan negara dan juga urusan rakyatnya hingga membawa umatnya pada kesejahteraan. Wallahualam bissawab. [Ni]
0 Comments: