Headlines
Loading...
Oleh. Maya Dhita

Pagi yang sibuk di Desa Rejosari. Anak-anak dan guru berangkat ke sekolah. Terlihat juga berseliweran para petani, pekerja bangunan, pegawai negeri, dan pejuang rupiah lainnya berangkat ke tempat kerja masing-masing. Ibu-ibu tampak berkerumun di gerobak tukang sayur keliling. Suaranya riuh diselingi gelak tawa. Entah apa yang mereka bicarakan.

Ibu datang mengagetkanku. "Belum selesai nyapunya, Midah?"

"Belum, Bu," jawabku sambil kembali mengayunkan sapu lidi ke kanan dan ke kiri.

Setahun di pondok membuatku terasa asing di kampung halamanku sendiri. Banyak perubahan yang terjadi mulai dari jalan yang telah diaspal, pembangunan fasilitas umum, hingga cara berpakaian warga Desa Rejosari yang semakin kekinian. 

"Bu, itu Pak Broto, kan?" tanyaku saat melihat sosok berperawakan besar lewat di depan rumah. Kaus dalam dan bersarung. Gaya khas lelaki pedesaan melekat erat pada lelaki berusia senja itu. Satu yang membuatku bertanya-tanya, ia membawa sebuah celengan plastik berbentuk ayam dalam dekapannya. Erat.  Seolah-olah tak ingin seorang pun menyentuhnya. Alis mata yang beradu dan kerutan di dahi tanda waspada, membuatnya terlihat tidak bersahabat.

Ibu menoleh ke arah jalan, "Pak Broto, mampir, Pak!" seru Ibu mengagetkanku lagi.

Yang disapa hanya menyeringai. Lalu meneruskan jalannya. 

"Ada apa dengan Pak Broto, Bu?" Rasa ingin tahuku memuncak, karena Pak Broto yang kukenal adalah orang yang ramah pada siapa pun. Yang kulihat tadi beliau tampak seperti orang yang terganggu kejiwaannya.

"Yuk masuk, Ibu ceritakan di dalam," kata Ibu sambil berjalan masuk  rumah.

Dua cangkir teh melati yang masih mengepul telah tersedia di meja makan saat kuhampiri ibu. 

"Yuk, duduk sini," ajak Ibu sambil meletakkan sepiring pisang goreng kesukaanku.

"Bismilah, heeemmmm mantap," kataku sambil melahap pisang goreng.

Ibu mulai bercerita tentang Pak Broto. Sebulan sejak keberangkatanku ke pondok, Pak Broto kaya mendadak setelah dapat warisan dari bapaknya. Tanah yang sempat disalahgunakan oleh saudara sepupunya akhirnya kembali ke pemilik sahnya. Singkat kata tanah tersebut dijual dan laku dengan harga tinggi. Kehidupan Pak Broto pun berubah drastis. Rumahnya dibangun besar-besaran. Mobil dan motor keluaran terbaru pun dibelinya. Kemewahan ini pun dinikmati oleh anak lelaki satu-satunya, Robby.

Pak Broto yang semula mengerjakan sendiri sawahnya, akhirnya mempekerjakan beberapa orang untuk mengelola sawah. 

Cuaca ekstrim tahun kemarin mendatangkan hujan lebat bercampur angin kencang di saat padi telah menguning. Hujan deras yang turun empat hari berturut-turut telah merendam sebagian besar tanah persawahan. Para petani kebingungan karena gagal panen. Tidak ada modal untuk tanam kembali.

Beberapa warga memberanikan diri untuk meminjam uang pada Pak Broto yang telah menjadi kaya. Mereka berharap uang tersebut dapat digunakan untuk modal tanam padi berikutnya. 

Namun, harapan tidak sesuai kenyataan. Pak Broto menolak mentah-mentah permintaan warga yang datang ke rumahnya. Dia beralasan juga mengalami gagal panen. Bahkan, tetangganya yang minta bantuan karena tidak ada uang untuk membeli beras juga ditolaknya.

"Hah, iyakah, Bu? Sampai segitunya?" Respon pertamaku setelah panjang lebar Ibu cerita.

"Tapi Midah tahu, kan, kalau Allah bakal ambil apa yang seharusnya menjadi milik orang lain jika pemiliknya tidak mau mengeluarkan hartanya?" tanya Ibu.

"Apa yang terjadi, Bu?" 

Robby yang kaget karena banyak uang yang diberikan Bapaknya akhirnya terjerumus dalam lingkaran setan bernama narkoba. Uangnya habis untuk membeli barang haram itu. Lalu, diam-diam dia mengambil uang Pak Broto. Hingga suatu saat Pak Broto menangkap basah anaknya saat mengambil uang di brangkas kamar. Sekali, dua kali sampai kali ketiga, Pak Broto marah besar. Robby diusir dari rumah. Tapi karena otaknya sudah terpengaruh zat adiktif, Robby berperilaku kriminal. Dia berusaha membunuh Bapaknya sendiri demi mendapat uang. 

Pak Broto merasa terpukul. Anak yang selama ini dibesarkannya sendiri, menginginkan kematiannya. Robby berhasil dibekuk dan dimasukkan ke dalam penjara. Sedangkan, Pak Broto menjadi linglung setelah hartanya habis dan anaknya dipenjara. 

Ke mana-mana dia pergi membawa celengan ayam plastik miliknya dan memasukkan uang logam yang dia temukan di jalan ke dalam celengannya. Terkadang warga sengaja memberinya uang logam agar dia bahagia atau sekedar ingin dapat hiburan gratis melihat tingkah lucunya yang kekanakan saat menerima uang logam itu.

"Midah ingat, di dalam surat Al-Baqarah ayat 254, Allah berfirman, 
'Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang yang zalim.'"

"Untuk itu, sebelum datangnya hari akhir, maka kita sebagai hamba Allah sudah seharusnya membelanjakan rezeki yang telah Allah berikan pada kita di jalan kebaikan, untuk apa? Agar kita punya tabungan pahala sebagai bekal kita dihari kiamat. Saat tidak ada lagi yang bisa kita usahakan. Ngerti, Nduk?"

"InsyaAllah, Bu."

"Kita doakan semoga Allah memberikan kesembuhan pada Pak Broto, ya! Semoga Allah memberikan yang terbaik bagi keluarganya! Aamiin."

Aku menghabiskan pisang goreng terakhir di piring. Cerita panjang Ibu tentang Pak Broto membuatku lapar dan banyak belajar tentang cara tepat membelanjakan harta pemberian Allah. [CF]

Baca juga:

0 Comments: