Headlines
Loading...
Oleh. Maya A (Muslimah Gresik)

Ekonomi syariah di Indonesia mendapat sambutan baik. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut bahwa pengembangannya merupakan kebutuhan pembangunan sekaligus sebuah keunggulan komparatif, selain sebagai manifestasi ajaran Islam. Kedepannya, Pemerintah ingin memposisikan Indonesia sebagai pelaku utama dan sekaligus Hubungan ekonomi syariah, serta produsen pusat halal dunia.

Implementasi aktivitas ekonomi dan keuangan syariah telah membawa dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat, yang tercermin dari naiknya total aset keuangan syariah mencapai Rp2.375,8 triliun pada akhir tahun 2022, dimana perbankan syariah telah menjadi motor penggerak (ANTARA.com,  26/5/2023) 

Peran keuangan sosial syariah bagi pemerataan ekonomi umat juga kian meningkat. Terbukti dengan penyalurannya yang diarahkan guna mendukung penanggulangan kemiskinan, menyokong ketahanan pangan, dan berbagai program lain dalam kerangka pengelolaan zakat dan wakaf yang lebih produktif (Kompas.com, 26/5/2023). 

Sungguh, betapa menarik eksistensi kaum Muslimin bagi negeri ini. Populasinya yang banyak, ternyata tidak hanya dilirik saat konstelasi perpolitikan sedang berlangsung, tapi juga diklaim bermanfaat bagi perkembangan ekonomi syariah dan industri syariah dalam negeri.

Tak heran bila bersamaan dengan itu, geliat terhadap syariat mulai semarak. Sikap alergi terhadap syariat pun sepertinya perlahan hilang. Ataukah sebenarnya masih alergi, tapi dikecualikan pada aspek ekonomi lantaran potensinya yang menggiurkan? Karena faktanya, pernyataan manis para pejabat negara atas agenda ekonomi syariah tidak semanis perkataan mereka terhadap syariat yang lain. Bahkan di berbagai kesempatan, syariat kerap kali mendapat stigma negatif dan dinarasikan pada khalayak sebagai perkara berlabel radikal yang membahayakan. 

Inilah ketika kekayaan syariat berada dalam pusaran sekuler kapitalisme. Ia bak hidangan prasmanan yang bisa dicomot sesuai selera. Di tangan sekulerisme, agama tak layak tampil di muka publik sehingga porsinya diminimalisir sebatas ranah privat untuk urusan ibadah. Tak jauh beda nasibnya ketika berada di tangan kapitalisme, agama beserta turunannya berupa syariah akan diterima dengan tangan terbuka jika ia mampu mendatangkan manfaat dari sisi ekonomi. Dengan kata lain, syariah nekat dijadikan pemanis dalam memutar roda perekonomian kapitalis.

Dari sini saja, umat harusnya bisa menerka kemana sebenarnya arah kebijakan ini. Karena pada dasarnya, ketika suatu negara masih menolak penerapan syariat secara utuh dan memilih bertahan pada kapitalisme, maka kebijakan apapun yang lahir darinya sudah pasti akan dihambakan pada sang tuan: para kapital, bukan rakyat!

Bahkan jika melihat peluang keuntungan negara dari sektor ini pun, sudah sepantasnya umat berlakon cerdik, bahwa embel embel syariat di belakang kata ekonomi tak lebih dari sekedar manipulasi para dedengkot kapitalis. 

Sebagaimana watak kapitalis pada umumnya yang selalu berporos pada cuan, maka menjadi omong kosong bila geliat ekonomi syariah ini lahir atas satu kesadaran bahwa ia adalah solusi bagi problema kehidupan. Karena implementasinya, pilihan syariah ini masih belum diambil sebagai sebuah sistem ekonomi yang mengikat. Terbukti investasi di sektor non riil dan transaksi berbasis ribawi baik skala makro maupun mikro masih begitu diminati bahkan dilegalisasi. Terlebih lagi, fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa sumber segala persoalan di negeri ini dan juga dunia adalah penerapan sistem sekuler kapitalis itu sendiri.

Omong kosong pula jika kemudian para petinggi berharap MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) bisa menjadi jembatan bagi pemangku kepentingan ekonomi syariah untuk membangun ekosistem ekonomi syariah yang inklusif dan mampu bertahan menghadapi berbagai macam krisis. Karena yang demikian itu, jelas tidak akan bisa berjalan sendiri tanpa ditopang oleh sistem politik dan sistem pemerintahan Islam. Sebab dalam pelaksanaan bernegara, kebijakan apapun yang diterapkan sangatlah bergantung pada sistem politik dan pemerintahan yang tengah diadopsi.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat berhenti untuk tergiur dengan tawaran tawaran solusi yang sifatnya masih parsial dan pragmatis. Karena selain penuh tambal sulam, tawaran tersebut dipastikan hanya mengecoh fokus umat dari perjuangan hakiki yang sejatinya mampu menghadirkan solusi komprehensif. Yakni, perjuangan penegakan syariat Islam secara kafah.

Apalagi, negeri ini sudah memiliki modal yang mumpuni berupa populasi penduduk Muslim terbesar dunia. Hanya perlu dorongan keimanan, berupa kesadaran akan ketundukan seorang hamba terhadap hukum syariat, maka harapan menjadi kiblat dunia dan mercusuar peradaban bukan lagi sebatas angan. Wallahu a'lam bish showab. [ry]

Baca juga:

0 Comments: