surat pembaca
Jadi Surga Wisata Halal, Akankah RI Semakin Sejahtera?
Oleh. Dira Fikri
Indonesia baru saja meraih predikat Top Muslim Friendly Destination of The Year 2023 dalam Mastercard Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023 di Singapura. Berbagi di posisi puncak bersama dengan Negara tetangga Malaysia dengan skor 73, Indonesia dianggap telah berhasil menunjukkan pesona dan daya tariknya kepada wisatawan Muslim.
Dikutip dari katadata.co, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam keterangan resminya mengatakan bahwa kenaikan ini merupakan suatu capaian yang luar biasa, di mana pada 2021, Indonesia berada di peringkat keempat dan kedua pada 2022. Pencapaian tersebut adalah hasil dari kolaborasi pihak-pihak terkait khususnya Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI), Halal In Travel, Mastercard Crescent, dan lainnya. Sandiaga juga berharap jika hal ini bisa mengakselerasi target penciptaan 4,4 juta lapangan kerja di 2024 yang salah satunya berasal dari wisata halal.
Pendapatan Devisa dari sektor pariwisata Indonesia mencapai US$4,26 miliar pada 2022. Nilai tersebut telah melonjak hingga 769,39% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang hanya sebesar US$0,49 miliar. Hal ini juga dianggap bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang bisa bangkit pascapandemi.
Sektor pariwisata memang menjadi salah satu sumber devisa Indonesia selain bidang ekspor, pinjaman, hibah dan tenaga kerja luar negeri. Namun sektor penyumbang devisa terbesar adalah di bidang ekspor terutama minyak dan gas. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam.
Prioritas pengelolaan sektor pariwisata harusnya juga dilakukan di sektor SDA (Sumber Daya Alam). Tapi alih-alih melakukan perbaikan mendasar terhadap pengelolaan SDA, pemerintah justru menandatangani UU Minerba No. 3 Tahun 2020 yang sarat penolakan dari berbagai kalangan. Padahal isi pasal-pasal dalam UU Minerba sangat kontroversial bahkan mengabaikan sisi konservasi lingkungan hidup serta jauh dari tujuan menyejahterakan masyarakat luas.
Tidak hanya itu, celah korupsi di bidang pertambangan juga sangat lebar. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyatakan,"Ada informasi dari PPATK waktu itu Abraham Samad mengatakan, kalau saja di dunia pertambangan ini kita bisa menghapus celah-celah korupsi, setiap kepala orang Indonesia itu setiap bulan akan mendapatkan uang Rp 20 juta tanpa kerja apa pun, termasuk anak kecil" (news.detik.com, 21/3/2023).
Hal ini membuktikan bahwa kesejahteraan rakyat bukan menjadi prioritas yang utama dalam mengelola harta kepemilikan negara. Negara yang berasaskan kapitalis sekuler memang akan mengejar keuntungan materi namun berbeda dengan pembelanjaannya. Orientasi untuk mengentaskan kemiskinan rakyat bukan menjadi prioritas utama. Terbukti meski pemasukan di bidang pariwisata melonjak tidak serta merta membuat angka kemiskinan berkurang. Pada September 2022 saja, jumlah penduduk miskin masih menyentuh angka sebesar 26,36 juta orang. Sedang jumlah pengangguran sebanyak 7,99 juta orang untuk data per Februari 2023.
Pemerataan ekonomi masih menjadi tugas besar negeri ini. Meski negara kita kaya akan sumber daya alam, sumber daya manusia bahkan potensi di bidang pariwisata, namun pengelolaannya tidak akan bisa berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Hal ini karena asas pengelolaannya berbasis kapitalis sekuler yang tidak akan menghasilkan kemaslahatan umat.
Hanya dengan aturan Islam dalam mengelola negara, solusi bagi rakyat untuk sejahtera akan didapatkan. Hal ini karena Islam memiliki mekanisme pengelolaan kepemilikan yang terpisah antara kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Selain itu ketakwaan individu menjadi sandaran pertama dalam pengelolaannya, sehingga akan menutup celah korupsi karena akan dikelola oleh pribadi-pribadi yang amanah.
Islam juga akan memastikan mekanisme distribusi berjalan dengan baik. Seperti sejarah yang mencatat pada pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang telah berhasil mengelola zakat di Baitul Mal. Sehingga sampai tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat pada saat itu.
Wallahualam. [Ys]
0 Comments: