
OPINI
Kasus Parimo, Butuh Sistem Islam
Oleh. Putri Uranus
Kasus kekerasan seksual menimpa anak dibawah umur semakin menjamur, berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus. Hari demi hari manusia semakin menggila, otak dipenuhi oleh nafsu bejat dan anak dibawah umur menjadi sasaran keberingasannya.
Kasus Parimo yang berada di Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah, merupakan kasus terberat di tahun 2023, korban R yang baru berusia 15 tahun diperkosa oleh 11 pelaku, akibatnya kondisi korban mengalami infeksi akut pada alat reproduksinya hingga harus melakukan operasi pengangkatan rahim (bbcindonesia.com, 31/5/2023)
Mungkin selama ini kita berfikir bahwa pelaku kejahatan adalah orang-orang yang tak memiliki jabatan, namun sayangnya dikasus Parimo ini beberapa pelakunya malah orang yang seharusnya sebagai contoh dan pelindung masyarakat. HR merupakan seorang kepala desa, HST merupakan anggota Brimob, dan A adalah seorang guru. (bbcindonesia.com, 31/5/2023)
Korban pun bertemu dengan A disaat korban mengirimkan bantuan untuk korban banjir dari Poso ke Desa Toroe, Parimo. Disinilah A yang berprofesi sebagai seorang guru memperdaya korban dengan mengiming-imingi pekerjaan di Rumah Makan. Padahal pekerjaan itu tidak ada.
Lalu korban diperdaya oleh pelaku berikutnya dengan pekerjaan dan uang, sedangkan pelaku satu dengan pelaku lainnya saling mengenal. Disinilah indikasi adanya perdagangan anak, seperti yang diutarakan oleh Retno Listyarti Pemerhati anak dan pendidikan.
Perdagangan orang termasuk anak masih menjadi PR bagi pemerintah, kemiskinan yang menjerat, susahnya mencari pekerjaan, menjadi peluang besar bagi penjahat untuk menipu korbannya. Sungguh malang nasib korban, niat hati untuk bekerja membantu meringankan beban keluarga malah malapetaka yang menimpanya.
Pihak kepolisian terus didesak untuk menuntaskan perkara ini, namun sayangnya dalam konferensi pers 31 Mei 2023, Kapolda Sulteng menuai kontroversi menyebut kasus yang menimpa R, 15 tahun, di Parigi Moutong bukan termasuk pemerkosaan namun persetubuhan. (tempo.co, 4/6/2023)
Perbedaan definisi kasus tentu dipengaruhi oleh perbedaan persepsi kasus. Dan ini sangat berbahaya jika salah mendefinisikan karena akan mempengaruhi penentuan hukuman bagi pelaku. Pemerkosaan dengan persetubuhan jelas berbeda maka hukuman yang dijatuhkan pun akan berbeda, tentu ini akan merugikan korban. Dan hal tersebut yang tidak diinginkan oleh publik.
Lemahnya sanksi hukum terhadap pelaku menjadi para predator tak jera. Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar (Kompas, 6/1/2022).
Hukumannya hanya lima tahu dan paling lama 15 tahun, belum lagi potongan remisi dan sebagainya, sungguh begitu ringan bukan? Bagaimana dengan nasib korban, apakah bisa sembuh secara mental lima tahun atau 15 tahun ke depan? Tentu tidak. Mereka para korban harus menanggung trauma seumur hidup, dan masa depan mereka pun buram. Apakah ini adil?
Bertolak belakang dengan sanksi di dalam Islam, Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar menyatakan, “Sesungguhnya, hakim atau kadi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya.”
Islam bukan hanya menetapkan sanksi namun juga mencegah perbuatan pemerkosaan dan perzinaan dengan penjagaan individu dan masyarakat dengan ketakwaan. Ketakwaan individu maupun masyarakat bukan sekedar urusan pribadi tapi menjadi tanggungjawab negara. Negara wajib memberikan suasana keagamaan sehingga tumbuh keimanan, menutup semua media yang mengarah pada pornografi dan pornoaksi sehingga individu maupun masyarakat mudah untuk menjaga ketakwaan.
Untuk mewujudkan hal diatas, dibutuhkan sistem Islam secara keseluruhan yang diterapkan oleh negara, masyarakat dan individu agar berkah dunia akhirat.
Baca juga:

0 Comments: