Headlines
Loading...
Marketplace Guru, Akankah menjadi Solusi Terbaik?

Marketplace Guru, Akankah menjadi Solusi Terbaik?

Oleh. Ratna Kurniawati, SAB

Jagat dunia pendidikan dihebohkan oleh gagasan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim yang mencetuskan ide untuk pembuatan marketplace guru guna menyelesaikan persoalan perekrutan guru. 

Gagasan tersebut disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI dan rencananya akan dirilis pada tahun 2024. Tak ayal, ide ini menimbulkan pro dan kontra.

Adapun marketplace guru merupakan basis data dengan teknologi agar para calon guru dapat diakses oleh semua sekolah. Dengan platform ini pihak sekolah dapat mencari guru sesuai dengan kriteria dengan mudah sesuai kebutuhan sekolah yang harapannya dari program ini dapat menyelesaikan problem perekrutan guru. 

Marketplace guru ternyata konsepnya tidak jauh dari  marketplace dikenal publik dalam hal belanja online. Namun, dalam marketplace guru yang dipromosikan sebagai objek adalah guru, yang satuan pendidikan dapat memilih guru sesuai kebutuhan dengan kualifikasi yang ada dalam marketplace.

Pengamat Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Triyanto mengatakan bahwa penggunaan diksi marketplace akan menurunkan marwah guru sebagai tenaga pendidik dan terkesan tidak terhormat. Padahal guru merupakan profesi mulia yang sangat tidak layak disamakan dengan barang dagangan. 

Tidak heran memang dalam sistem Kapitalis semua ini bisa terjadi. Nasib para guru dapat dengan mudah dikapitalisasi. Profesi guru yang seharusnya terhormat dan mulia tetapi demi materi profesi ini layaknya objek bisnis semata. 

Benarkah marketplace guru demi kesejahteraan guru?

Layaknya dalam jual beli barang dagangan tentu yang diuntungkan adalah pihak produsen. Pengusaha dengan modal besar akan mendapatkan keuntungan banyak. Sedangkan penjual yang berhubungan langsung dengan konsumen mendapatkan keuntungan sewajarnya.

Marketplace guru tentu tidak jauh berbeda dengan marketplace barang. Jadi, untuk kesejahteraan siapa?

Guru merupakan profesi mulia yang mengajarkan banyak hal kepada para muridnya. 

Rasulullah bersabda,

أكرمني، ومن أكرمني فقد أكرم الله، ومن أكرم الله فمأواه الجنة

“Barangsiapa memuliakan orang alim (guru) maka ia memuliakan aku. Dan barang siapa memuliakan aku maka ia memuliakan Allah. Dan barangsiapa memuliakan Allah maka tempat kembalinya adalah surga.” (Kitab Lubabul Hadis).

Akar persoalannya bukan hanya istilah marketplace yang dinilai tidak tepat menyejajarkan sosok guru dengan barang dagangan, namun program ini lahir dari paradigma kapitalistik yang menyerahkan kepada pasar untuk menentukan arah sistem pendidikan saat ini mau dibawa ke arah mana. Negara yang seharusnya sebagai pelayan dan pengurus umat malah hanya berfungsi sebagai regulator. 

Padahal, pelayanan pendidikan merupakan hak warga negara dari segala kalangan baik kaya maupun miskin. Namun apabila mekanisme pendistribusian guru diserahkan kepada pasar maka hanya yang pihak yang kaya saja yang akan mendapatkan guru yang berkualitas.

Dalam sistem kapitalis menjadikan motivasi menjadi guru hanya demi materi semata. Pengabdian seorang guru dipandang sebagai jasa yang diperjualbelikan. Semakin berkualitas semakin mahal bayarannya. 

Program ini menunjukkan bahwa negara gagal dalam mendistribusikan guru secara langsung ke setiap wilayah sesuai spesifikasi dan kompetensinya. Hal ini disebabkan pemerintahlah yang mempunyai data akurat sehingga ketimpangan akan terasa. Tidak adanya jaminan kesejahteraan yang diberikan oleh pemerintah sehingga menyebabkan guru tidak mau ditempatkan di pelosok desa. Apabila ada jaminan kesejahteraan dari pemerintah maka ketimpangan guru tidak akan terjadi lagi. Permasalahan guru honorer yang banyak akan dapat tersalurkan. 

Persoalan di atas mustahil diselesaikan dalam sistem saat ini karena keuangan negara yang lemah yang pembiayaan negara hanya mengandalkan utang sehingga menyebabkan defisit APBN. Kondisi di atas yang menyebabkan tidak bisa menyejahterakan guru.

Islam Jaminan Kesejahteraan Guru

Di dalam Islam pendidikan adalah kebutuhan dasar manusia yang dijamin oleh negara tanpa ada perbedaan. Negara mengatasi ketimpangan fasilitas di daerah perkotaan dengan pedesaan menggunakan baitulmal demi terwujudnya kemaslahatan umat bukan pada pemilik modal. Guru dipandang sebagai profesi mulia sehingga kesejahteraan diperhatikan sehingga guru akan fokus mengajar bukan yang lain.
 
Pada masa kekhilafahan Abbasiyah, guru sejahtera dengan gaji yang besar. Hal ini telah disampaikan Imam Suyuthi
“Dari bentuk perhatian Sultan (Shalahuddin) terhadap pendidikan pada masa itu, beliau memberikan kepada setiap pengajar gaji sebesar 40 dinar setiap bulannya (sekitar Rp156 juta) dan untuk para pengelola madrasah sekitar 10 dinar (sekitar Rp39 juta). Selain gaji pokok, beliau juga memberikan tunjangan setiap harinya makanan pokok sebesar 60 rithl Mesir (sekitar 10 kg).”

Tidak hanya guru yang sejahtera fasilitas sekolah dibangun dengan kualitas terbaik dan terdepan contohnya Universitas Cordoba pada masa Bani Umayyah yang memiliki perpustakaan megah yang menampung 400.000 pengunjung.

Pelayanan terbaik di atas menunjukkan bahwa bentuk tanggung jawab penguasa Islam dalam rangka pengurusan urusan umat yang kelak akan diminta pertanggung jawaban.

Solusi marketplace guru bukanlah cara untuk mengatasi ketimpangan dan ketidakmerataan guru di kota dan desa. Solusi tambal sulam ini hanya mengonfirmasi kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan guru. Kegagalan ini karena penerapan sistem kapitalis. 

Oleh karena itu, sudah saatnya kembali kepada sistem Islam dalam bingkai daulah Kh1l4f4h Islamiyah. 

Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: