Headlines
Loading...
Marketplace Guru, Solusi atau Ilusi bagi Masalah Pendidikan di Indonesia?

Marketplace Guru, Solusi atau Ilusi bagi Masalah Pendidikan di Indonesia?

Oleh. Yuli Ummu Raihan
(Aktivis Muslimah Tangerang)

Apa yang terbayang ketika kita mendengar kata marketplace? Tentu nya kita akan ingat aplikasi berbelanja online semacam toko hitam, orange, hijau dan sejenisnya yang sekarang sedang digandrungi masyarakat Indonesia. Sebuah platform yang menyediakan produk yang bisa dipilih dan dibeli oleh siapa saja.

Lalu, apa yang akan terjadi jika platform semacam ini bukan memperjualbelikan produk, namun guru yang merupakan pahlawan tanda tanda jasa? Sungguh ini adalah sebuah ide yang sangat perlu kita kaji lebih dalam. 

Latar Belakang Marketplace Guru

Ide marketplace guru ini datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, yang disampaikan dalam rapat kerja Mendikbudristek dengan komisi X DPR. Marketplace guru berdasarkan pernyataan Nadiem, adalah sebuah wadah di mana semua guru yang boleh mengajar masuk ke dalam satu database yang dapat diakses semua sekolah. Ini adalah cara Kemendikbudristek untuk memenuhi kebutuhan guru. (Detik.com, 09/06/2023) 

Menurut Nadiem, marketplace guru ini akan menyelesaikan tiga masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini. 

Pertama, masalah kebutuhan guru secara real-time sehingga tidak perlu menunggu rekrutmen terpusat yang lama. Kedua, cara perekrutan ini sangat efektif karena sesuai kebutuhan. Selama ini ada ketidaksesuaian data antara sekolah dan pemerintah pusat. Ketiga, agar formasi ASN dari daerah sesuai  dengan kebutuhan. 

Pro Kontra Marketplace Guru

Sekilas wacana marketplace guru ini terdengar sebagai solusi atas permasalahan pendidikan saat ini terutama akan kebutuhan guru. Namun, ternyata tidak begitu kenyataannya. 

Tidak semua guru dapat masuk ke dalam platform ini. Hanya guru honorer yang lulus seleksi dan lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) prajabatan. Seluruh guru honorer yang lulus seleksi dan lulusan PPG prajabatan akan masuk ke database marketplace guru. Pemerintah pusat akan menentukan formasi yang bersifat dinamis tergantung  jumlah siswa.

Setiap sekolah bisa mencari dan merekrut guru sesuai dengan kebutuhan dan formasi mereka dari database platform ini, sekaligus melakukan wawancara dan tes. 

Kemudian guru yang terpilih bisa diangkat sebagai guru tetap atau kontrak tergantung kesepakatan. Sekolah juga bisa memberikan insentif sesuai prestasi dan kinerja guru tersebut. 

Sekilas program yang digulirkan pak Nadiem ini terlihat bagus. Namun nyatanya banyak pihak yang kontra bahkan menolak usulan ini. 
Seperti yang disampaikan oleh Syaiful Huda, Ketua Komisi X DPR RI, yang menilai ide ini tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan tenaga pendidik di Indonesia. Platform ini hanya menjawab isu terkait distribusi guru yang belum merata. Platform ini hanya mempermudah sekolah mencari tenaga pendidik sesuai formasi dan kebutuhan, tapi tidak mampu menjamin nasib guru terutama guru honorer agak bisa hidup layak. (Dikutip dari dpr.go.id, 03/06/2023) 

Huda menyarankan agar Mendikbudristek fokus pada masalah penerimaan satu juta honorer menjadi berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) serta penerbitan surat pengangkatan (SK) dan penempatan mereka di seluruh Indonesia. 

Dilansir dari Tempo.co, beberapa kali akun Twitter @P2G_ ID (Perhimpunan Pendidikan Guru) menulis kicauan mengkritisi wacana ini. Diantara kicauan itu berbunyi "Sebentar lagi, guru bisa dimasukkan ke keranjang belanja"

Apakah layak guru dijadikan komoditas dalam marketplace?

Sementara Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai platform ini hanya akan mempersulit dunia pendidikan. Tidak. Semua guru mengerti teknologi terlebih yang tinggal di daerah terpencil yang koneksi Internetnya terbatas serta lokasi yang sangat jauh dan sulit. (Liputan6.com, 02/06/2023) 

Masalah Pendidikan di Indonesia

Sejatinya dalam sistem kapitalis seperti saat inilah tidak pernah ada satu sektor pun yang luput dari masalah termasuk pendidikan. Kalau pun ada solusi biasanya hanya tambal sulam, sehingga tidak pernah benar-benar menyelesaikan akar permasalahannya.

Selain masalah kesejahteraan guru, pendistribusian guru yang tidak merata adalah masalah yang tidak kunjung usai. Guru-guru menumpuk di kota atau daerah dengan upah tinggi. Sementara di daerah terpencil keberadaan guru sangatlah minim apalagi kesejahteraan mereka. Data dari Kemendikbudristek pada tahun 2023 ada kekurangan guru karena pensiun setiap tahun. Tahun 2024  guru yang akan memasuki usia pensiun ada 69.762 orang sehingga akan menyebabkan kekurangan guru sebesar 1.312.759 guru. Sementara lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) prajabatan 2006-2018 ada 27.935 orang. Pada tahun 2019 jumlahnya ada 2.963. Jumlah ini belum cukup untuk menggantikan guru pensiun 2022 yang mencapai 77.124 orang (detik.com, 26/05/2023) 

Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, mengatakan ada 360.950 tenaga honorer yang belum diangkat menjadi ASN padahal telah mengabdi selama 11 hingga 15 tahun. Sungguh miris nasib mereka harus terlunta-lunta sekian tahun tanpa kepastian. Bukan rahasia lagi kalau gaji guru honorer sangatlah kecil, bahkan ada yang dibayar per tiga bulan. 

Rumitnya birokrasi juga menambah pelik masalah pendidikan di negeri ini. Untuk bisa masuk universitas dan memiliki legalitas mengajar tidaklah murah. Banyak pungutan liar dan biaya kuliah yang sangat tinggi. Tidak adanya koordinasi yang baik antara pemerintah daerah dan pusat, bahkan kadang saling lempar tanggungjawab. Kebijakan yang berbeda antar menteri dan setiap pergantian menteri menjadikan pendidik serta peserta didik seolah bahan percobaan, tentang sistem penggajian dan lainnya. 

Paradigma kapitalis menjadikan semua hal diukur dengan materi. Apa saja yang bisa mendatangkan manfaat maka akan diperjualbelikan. Sistem kapitalis juga menjadikan pemerintah hanya sebagai regulator bukan pengurus rakyat. Bahkan kapitalis membelokkan motivasi seorang guru dari pengabdian ilmu, menjadi ajang mendulang materi. Mereka akan memberikan yang terbaik  jika diberi bayaran lebih, meski ini hanya oknum. 

Islam  Memberikan Solusi Tuntas

Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam hadir memberikan solusi yang terbukti dan teruji mampu mensejahterakan guru dan mencetak generasi gemilang. 

Dalam Islam pendidikan adalah hak semua rakyat tanpa terkecuali. Ini adalah tugas pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Semuanya bertujuan untuk melahirkan generasi gemilang yang akan membangun peradaban mulia. 

Dalam Islam orang yang berilmu dan mempelajari ilmu memiliki posisi yang mulia. Memuliakan guru adalah bagian adab seorang penuntut ilmu. 

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: من أكرم عالما فقد أكرمني، ومن أكرمني فقد أكرم الله، ومن أكرم الله فمأواه الجنة

Artinya: Barang siapa memuliakan orang alim (guru) maka ia memuliakan aku. Dan barang siapa memuliakan aku maka ia memuliakan Allah. Dan barang siapa memuliakan Allah maka tempat kembalinya adalah surga (Kitab Lubabul Hadits).

Dalam Islam menuntut ilmu itu adalah kewajiban. Negara wajib memfasilitasi sehingga kewajiban ini terlaksana. Segala hal yang bisa menunjang kewajiban ini akan dimaksimalkan. 

Guru sebagai salah satu komponen utama dalam sistem pendidikan sangat dihargai dalam Islam. Khalifah Umar bin Khattab pernah memberi upah seorang guru yang mengajar anak-anak sebesar 15 dinar yang kalau dikonversikan ke dalam rupiah saat ini sekitar 50 jutaan. 

Sultan Shalahuddin Al-Ayubi juga pernah menggaji Syaikh Najamuddin Al-Hasabusyani sebesar 40 dinar setiap bulannya. Gaji para guru diambil dari baitul mal bukan dibebankan pada sekolah atau orang tua. 

Selain gaji yang layak negara Khilafah akan membangun sarana penunjang pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, laboratorium, dan lainnya. Semua sarana tersebut diberikan gratis dan bisa dinikmati semua rakyat. Sarana dan prasarana ini sama baik di perkotaan atau pedesaan. Pemerintah juga akan melakukan pembangunan yang merata, sehingga semua daerah akan mendapatkan perhatian yang sama. 

Dari sisi administrasi negara Islam akan mempermudah, merespon dengan cepat, serta akan dihandle oleh orang-orang yang memiliki kemampuan di bidangnya. Tidak seperti sekarang yang siapa saja, latar belakang apa saja bisa jadi guru. Sehingga output yang dihasilkan tidak maksimal. 

Semua yang bekerja untuk negara berstatus sama, sehingga tidak akan ada ketimpangan nasib dan semua akan bisa merasakan hidup yang layak. 

Dengan segala kebijakan ini tentu guru bisa fokus menjalankan tugasnya mendidik dan mencetak sumber daya manusia yang unggul. Tidak heran kenapa pada masa lampau Islam mampu membangun peradaban yang Agung dan mulia. Wallahua'lam bishawab. [Rn]

Baca juga:

0 Comments: