Headlines
Loading...
Oleh. Maya Dhita

Tangisnya meraung. Tangannya menarik-narik rambut kusutnya. Umpatan dan kata-kata kasar tak henti keluar dari mulutnya. 

"Tak pantas wanita beragama berkata kotor seperti itu, tutup mulutmu!" 

Rohana berteriak semakin keras, "Tahu apa Kau tentang agama? Allah bahkan menghalalkanku untuk berkata buruk padamu. Apa yang kau lakukan hanya pantas dibalas dengan kematian!"

-Di dalam surat An-Nisa' 4:148, yang artinya: Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizhalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.-

***

Belum kering air mata Rohana ditinggal pergi wanita yang telah melahirkan dan mengasuhnya hingga sebesar ini. Tiba-tiba Haryo, ayah kandungnya datang setelah belasan tahun meninggalkan dia dan ibunya. Kesedihan Rohana sedikit terobati. Ayahnya datang di saat ia membutuhkan perlindungan.

Namun, ternyata kebahagian belum berpihak pada Rohana. Haryo bukan ingin menghapus luka, tapi malah menambah lara. Kecantikan Rohana malah dimanfaatkan untuk  kepentingan pribadinya. Rupanya Haryo sedang terjepit hutang yang sangat besar pada Prakoso, sang juragan tanah. Gadis berkerudung itu dijadikan jaminan untuk melunasi hutangnya. 

Dengan dalih mengajak jalan-jalan, Haryo malah membawa Rohana ke rumah Prakoso.

"Kenapa kita ke sini, Pak?" tanya Rohana enggan.

"Sudah ikut Bapak saja, nanti kamu juga tahu. Ada seseorang yang ingin menemuimu."

Di ruang tamu bernuansa kayu jati dengan beragam ukiran di dindingnya, Haryo dan Rohana dipersilakan menunggu. Rohana tampak gelisah. 

Seorang lelaki berusia 40 tahunan menyapa dengan suara yang nyaring hingga mengagetkan Rohana. Haryo tak kalah kaget, tetapi berusaha menyembunyikannya dibalik senyum lebar.

"Jadi ini anakmu yang cantik itu? Siapa namamu, Cah Ayu?" tanya Prakoso 

"Rohana, Juragan," jawab Haryo cepat.

"Eh, aku tidak tanya kamu!"

Haryo langsung tertunduk.

"Yuk ikut aku ke dalam, Rohana, kita pilih baju pengantinmu." 

"Apa ini maksudnya, Bapak?" ketus Rohana menatap tajam Haryo.

"Sudah ikut sana, kamu akan bahagia menikah dengan Juragan Prakoso," lirih Haryo.

"Aku tak sudi!"

Rohana mencoba kabur, tetapi anak buah Prakoso dengan sigap menahannya. Gadis malang itu meronta-ronta. 

"Bawa dia masuk ke kamar," perintah Prakoso.

Haryo tampak ragu-ragu. Rasa bersalah mulai menjalar dalam dirinya. 

"Kenapa Rohana harus dibawa masuk? Aku hanya ingin memperlihatkannya kepadamu, Juragan. Bukannya engkau akan menikahinya seperti janjimu?" 

"Aku tidak mau membeli kucing dalam karung, aku harus tahu apakah dia benar-benar seindah yang kau katakan," ucap Prakoso sambil terkekeh.

"Lepaskan anakku!" Haryo menyadari kesalahannya dan mencoba menerobos masuk menyusul Rohana. Salah satu anak buah Prakoso memberikan pukulan telak pada muka Haryo lalu menggelandangnya ke luar.

Di dalam kamar, Rohana berteriak-teriak histeris. Ia sadar bahaya sedang mengancamnya. 

Terdengar suara kunci pintu di buka dari luar. Sosok Prakoso masuk dengan senyum lebar. 
"Gimana, Rohana, kamu pilih baju yang mana?" 

"Jangan mendekat! Aku tidak mau menikah denganmu! Biarkan aku pergi!" Rohana menangis histeris.

"Oh, tidak bisa, Bapakmu sudah menjualmu padaku. Hutangnya sangat banyak, gak mampu dia bayar. Sudah nurut saja."

Rohana tak kuasa menahan tubuhnya. Kakinya seakan lemas tak bertulang. Kata-kata Prakoso bagai petir di siang bolong. Bagaimana mungkin bapak kandung rela menjual anaknya sendiri. Rohana pun pingsan.

Melihat Rohana tak berdaya, Prakoso terkejut. Ingatannya melayang pada sepuluh tahun yang lalu saat calon istrinya tetiba meninggal di depan matanya sesaat sebelum akad nikah. 

Prakoso segera mengangkat tubuh mungil itu dan membaringkannya di kasur. Prakoso tampak panik, jantungnya berdegup kencang, takut terjadi apa-apa pada gadis itu. 

Dia melepaskan kerudung Rohana, tak ingin gadis itu kehabisan oksigen. Tidak terpikir akan aurat wanita yang tidak boleh dilihat yang bukan mahram. Prakoso tidak terlalu paham agama, keluarganya juga tidak terlalu taat beragama. Apalagi di dukung oleh sistem kehidupan sekuler membuatnya semakin jauh dari syariat. 

Prakoso lalu keluar mencari minyak angin.

Rohana tersadar dan mendapati dirinya terbaring di kasur tanpa memakai kerudung. Rohana berteriak-teriak dengan keras. Dia mengira dirinya telah dirudapaksa.

Prakoso kembali ke kamar karena mendengar teriakan Rohana. Dengan membawa minyak angin dan kerudung yang tak sengaja terbawa di tangannya, dia merasa lega Rohana telah sadar. 

Rohana menangis meraung. Tangannya menarik-narik rambut kusutnya. Umpatan dan kata-kata kasar tak henti keluar dari mulutnya.

Mendengar perkataan buruk yang ditujukan padanya, Prakoso jadi hilang kesabaran.  

"Tak pantas wanita beragama berkata kotor seperti itu, tutup mulutmu!" 

Rohana berteriak semakin keras. "Tahu apa kau tentang agama? Allah bahkan menghalalkanku untuk berkata buruk padamu. Apa yang kau lakukan hanya pantas dibalas dengan kematian!"

"Perkataanmu tak berdasar, aku tidak menyentuhmu sama sekali." 

"Cepat pakai kerudungmu dan pergi dari rumahku!" Prakoso melemparkan kerudung di tangannya dan meninggalkan Rohana yang masih menangis.

Meski telah salah paham, tapi Rohana bersyukur kepada Allah karena masih diberikan keselamatan dan perlindungan. Rohana segera memasang kerudungnya dan berlari pulang. 

Sepeninggal Rohana, Prakoso tampak jengkel. Gadis itu telah membuatnya uring-uringan. Selama ini tidak ada seorang pun yang berani menolak keinginannya. Meskipun tidak terlalu paham agama, tetapi tak pernah sekalipun Prakoso mempermainkan wanita, apalagi berbuat zina. Kesepakatan yang dibuat dengan Haryo adalah agar dia jera dan tidak berhutang lagi, tetapi di lain pihak dia juga ingin mengakhiri masa lajangnya. Apalagi sejak pertama bertemu Rohana, entah kenapa Prakoso merasa tertarik dengan gadis berkerudung itu. 

Sesampainya di rumah Rohana menghempaskan diri di kasur ibunya. Dia menangis kembali mengingat wajah ibu. Di saat kesedihan yang memuncak, Rohana tak lupa berdoa kepada Allah agar selalu dilindungi dan diberikan keselamatan. 

Sedangkan Haryo tidak berani pulang ke rumah. Ia pergi lagi dan berusaha lepas dari tanggungjawab seperti dulu dia meninggalkan istri dan anaknya. [CF]

Baca juga:

0 Comments: