Headlines
Loading...
Oleh. Maya Dhita

"Apakah aku salah jika berharap memilikimu seutuhnya?"

***

Aku menikah dengan lelaki yang berhasil mengambil hatiku saat pertama kali bertemu. Azka, lelaki yang kini menjadi imamku. Aku merasa ini adalah akhir bahagia di hidupku. Pernikahan yang diimpikan banyak wanita. Suami yang rupawan, lembut, pekerja keras dan memperlakukan istrinya bak putri. 

Dia terlalu sempurna, sampai aku merasa takut jika dia menyembunyikan sesuatu hal. Entah itu perasaan, kepribadian atau entah apa yang mungkin akan aku temui di depan sana. 

Hingga saat itu terjadi, aku memutuskan untuk bersyukur dan mencoba untuk menghilangkan kekhawatiranku. Aku berusaha selalu berpikir positif dan menjalankan tugas sebagai seorang istri. Aku bersyukur berada dalam komunitas mengaji sehingga membuatku sedikit banyak memahami hukum syarak.

Tidak terasa perjalanan pernikahanku memasuki tahun kedua. Entah berapa kali, mungkin ribuan pertanyaan tentang datangnya momongan menghampiri. Sesekali pertanyaan itu datang di saat tidak tepat, hingga membuat penyakit asam lambungku naik. Kecemasan menyeruak. Yang bisa kulakukan hanya menyebut nama-Mu. Diakhiri dengan kata yang sudah jadi template.  

"Minta doanya saja, ya!"

Hingga pada malam itu, aku membuat keputusan.

"Mas, kita ke dokter kandungan, yuk,! Aku mau periksa. Maksudku kita harus periksa."

Seperti biasa, Mas Azka menyetujui semua keinginanku. 

"Apapun yang menurut kamu baik, aku ikut," jawabnya sambil mencium keningku lalu tertidur.

Keesokan harinya, Azka sengaja izin terlambat ke kantor agar bisa menemaniku ke dokter kandungan. Di tempat praktek SpOG, kami diminta melakukan serangkaian tes lengkap dan pengambilan sampel. Hasilnya akan keluar dalam beberapa jam.

Hari itu perasaanku tak menentu. Azka memelukku erat dan meyakinkanku bahwa semua baik-baik saja. Kami bergandengan tangan menuju ruang konsultasi. 

Jantungku berdetak kencang. Hasil tes kami telah berada di atas meja konsultasi. Seperti petir di siang hari, dokter Heni mengatakan bahwa kandunganku bermasalah.  Penjelasan panjang lebar SpOG tentang penyumbatan tuba falopi atau apapun itu sudah tidak bisa kucerna. Aku telah larut dalam pikiranku sendiri. 

Perjalanan pulang tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Aku merasa tak sempurna. Berkali-kali Azka mengajak bicara, tapi pikiranku terlalu lelah untuk sekadar menjawabnya. 

Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Ingin menangis sejadi-jadinya, tapi aku tak bisa. Aku hanya merasa lelah. Azka mendekapku. 

"Semua pasti ada jalan keluarnya. Kamu mungkin lebih susah hamil, tapi bukan berarti tidak bisa, kan? Yakinlah Allah punya rencana terbaik untuk kita. Dan yang harus kamu tahu, apapun keadaanmu, tidak akan mempengaruhi rasaku," bisik Azka lembut di telinga kananku.

Seminggu berlalu, aku menjadi pribadi yang berbeda sejak pulang dari SpOG. Lebih suka menyendiri dan menarik diri. Beberapa teman kajian datang dan memberikan semangat. Aku hanya minta diberi sedikit waktu untuk menenangkan diri.

Sore itu Azka datang lebih awal. Aroma martabak yang wangi menyeruak di dalam rumah. Azka membawakan makanan kesukaanku. 

"Kok salamku tidak di jawab?" Azka sambil mencium keningku.

"Maaf, ya, Mas, sepertinya aku sedang melamun," jawabku pasrah.

Aku tak sanggup menahan godaan harum martabak di depanku. Setelah membaca bismillah, sepotong martabak telah berpindah ke mulutku. Tidak terasa aku sudah menghabiskan empat potong martabak. Melamun ternyata membuatku lapar juga.

Setelah mandi dan salat Ashar, Azka mengambil kursi dan duduk di sebelahku. Dia tersenyum melihat martabak yang tinggal setengah. Lelaki tampan itu selalu membuatku jatuh cinta setiap melihatnya tersenyum. 

"Masyaallah, sempurna ciptaan-Mu, ya Allah," batinku.

"Mas, aku ingin bicara," kataku mengagetkannya.

"Ada apa, sayang? Jangan nakutin Mas, deh!"

"Menikahlah lagi, Mas." Akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulutku.

Azka menganga. Tak percaya dengan apa yang kukatakan.

"Kamu itu ngomong apa?" 

"Aku tidak ingin menjadi penghambat hidup, Mas.  Menikahlah lagi dan Mas akan punya keturunan.  Aku tidak ingin egois. Bukannya hal itu diperbolehkan oleh syariat."

Aku menukil QS. An-Nisa ayat 3, kubacakan dari layar ponsel.

"Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim."

"Aku rela Mas menikah lagi, aku ikhlas," ungkapku sambil berurai air mata.

Di sisi hatiku yang lain berteriak, "Apakah aku salah jika berharap memilikimu seutuhnya?"

Azka kembali mengunyah martabak potongan terakhir. Setelah minum air mineral dia menatapku tajam.

"Minum obatmu dan aku akan temani kamu terapi. Aku tidak ingin mendengar perkataan seperti tadi keluar dari mulutmu, istriku." Azka beranjak, meninggalkanku dalam diam.

Sebulan berlalu sejak terapi rutin dan ramuan tradisional yang aku minum dua kali sehari. Doa-doa kami panjatkan di antara derai tangis di sepertiga malam.

Hingga pada suatu pagi, di bulan kedua menjalani terapi, aku merasa mual. Baru sadar bahwa seminggu aku telat datang bulan. Aku bergegas mengambil test pack di laci. 

Azka pulang setelah aku telepon. Dia berlari, berteriak memanggilku. Di depan pintu kamar dia mendapatiku sedang menangis tersedu.

"Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir.

Aku menunjukkan dua garis merah pada layar test pack. 

"Aku hamil, Mas," 

Ya Allah, ini adalah saat paling emosional bagi kami. Azka menangis sambil berulang-ulang mengucap syukur. Dia menghujaniku dengan ciuman. Mengelus perutku yang masih rata. Berdoa memohon kesehatan dan keselamatan untukku dan kandunganku.

Allah memberikan kami keturunan di saat yang tepat. Allah selalu punya rencana terbaik bagi hamba-Nya. [CF]

Baca juga:

0 Comments: