Peluang dan Tantangan Ekonomi Syariat dalam Kehidupan
Oleh. Ummu Faiha Hasna
Indonesia sebagai mayoritas muslim terbesar dengan jumlah institusi keuangan syariah terbanyak di dunia, kini menjadi perhatian pemerintah terhadap potensi ekonomi syariah. Namun, sangat disayangkan perhatian tersebut hanya diambil bila ada sisi kemanfaatannya. Dan anehnya, Islam kafah dianggap tidak layak diterapkan di negeri ini. Bahkan dianggap membahayakan negara. Antara peluang dan juga tantangan dalam kehidupan saat ini, lalu, bagaimana bisa menerapkan ekonomi syariah tanpa Islam kafah?
Saat ini, roda pengembangan ekonomi dan keuangan syariah terus bergulir dengan sejumlah capaian positif. Pangsa aktivitas usaha syariah tahun 2022 lalu tercatat empat puluh lima koma enam puluh enam persen terhadap perekonomian nasional atau meningkat tiga koma empat puluh lima persen dari tahun 2021.
Selain itu, sampai Desember 2022 lalu, pembiayaan syariah yang disalurkan mencapai Rp 149,55 triliun. Pembiayaan bersumber dari dana program pemerintah, seperti KUR, ultramikro, dan LPDB, serta dari sektor keuangan komersial syariah dan sektor keuangan sosial syariah. (kompas, 26/5/2023)
Menurut Menkeu, pengembangan ekonomi syariat merupakan kebutuhan pembangunan di Indonesia, selain sebagai manifestasi ajaran Islam. Hal ini semakin menguatkan bahwa sejatinya ekonomi syariah dalam sekuler kapitalis hanya diambil bila ada sisi kemanfaatannya sementara Islam kafah dianggap tidak layak diterapkan di negeri ini. Hal ini menguatkan bahwa wajah sekuler kapitalis nampak di depan mata dunia.
Sejatinya, problem terbesar negeri ini dan juga dunia terjadi akibat adanya penerapan sistem sekuler kapitalis. Tak dipungkiri dengan beragam kemiskinan yang alami seluruh dunia, termasuk pengangguran, stunting dan sebagainya semuanya adalah ulah dari diterapkannya sistem rusak yang bercokol di negeri ini.
Sistem ini lahir dari cara pandang sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Kebijakan-kebijakannya pun syarat dengan kepentingan materi segelintir kelompok yang berkuasa atau pemilik modal yang mampu mengendalikan kekuasaan. Yang terjadi akhirnya kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak lagi mempertimbangkan apakah mampu mendatangkan kemakmuran yang nyata bagi masyarakat ataukah atau tidak. Akan tetapi, keuntungan segelintir orang yang merupakan pemilik modal itulah yang menjadi tujuan.
Potensi keuangan syariah dijadikan sebagai target perekonomian Indonesia tentu karena melihat realitas masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim makin menunjukkan keinginannya untuk hidup sesuai nilai-nilai Islam. Peluang inilah yang dimanfaatkan negara kapitalisme untuk memberikan tempat bagi aturan syariat selama aturan itu mampu mendatangkan cuan. Sebaliknya, jika aturan syariat Islam meredupkan atau mematikan ekonomi, kapitalisme akan menutup kemunculannya. Inilah ruh sesungguhnya penerapan sebagian kecil dari ekonomi syariah oleh sistem ekonomi kapitalis.
Tak akan ada yang bisa menyelesaikan persoalan umat Islam saat ini jika tak menerapkan syariat Islam kafah termasuk juga dengan sistem ekonomi Islamnya. Dan penerapan syariat Islam, sejatinya hanya akan terwujud bila tata aturan negara yang berasaskan akidah Islam dijalankan secara menyeluruh tidak setengah-setengah. Ini adalah tantangan yang harus dihadapi.
Sebab, pemberlakuan aturan yang bersumber dari wahyu Allah ini akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Apalagi pemberlakuan hukum syariat semata untuk meraih rida Allah bukan karena materi atau manfaat semata.
Begitu pun dalam bidang ekonomi, negara yang berlandaskan akidah Islam akan menerapkan tata aturan ekonomi Islam yang mengatur hak kepemilikan individu, umum dan negara. Sehingga harta tidak didominasi individu tertentu.
Penerapannya akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat, individu per individu. Hal ini karena ekonomi syariat dalam sistem islam tidak tegak di atas asas ribawi melainkan lembaga kas Baitul Mal.
Baitul Mal adalah tempat akumulasi hasil pengelolaan kekayaan umum dan kepemilikan negara serta zakat kaum muslimin yang akan didistribusikan nantinya sesuai peruntukannya.
Sistem keuangannya pun berbasis dinar dirham. Dalam buku berjudul Dirasaat fi al Fikr al Islami karya Dr. Husain Abdullah, beliau memaparkan bahwa ada 3 asas utama dalam ekonomi Islam yakni konsep kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan dan konsep distribusi kekayaan.
Untuk konsep kepemilikan, Islam membaginya menjadi 3 yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum yang mencakup fasilitas umum, yaitu barang-barang yang mutlak dibutuhkan manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Seperti air, api (bahan bakar listrik, gas dan padang rumput). Lalu, barang-barang yang tabiat kepemilikannya menghalangi adanya penguasaan individu seperti sungai, danau, jalan, lautan, udara dan lainnya. Dan barang tambang dalam jumlah besar yang sangat dibutuhkan masyarakat, seperti emas, perak, minyak dan lain-lain.
Untuk harta kepemilikan umum ini, pengelolaannya dilakukan negara. Sedangkan sisi pemanfaatannya bisa dinikmati khalayak umum. Kewenangan negara terhadap kepemilikan umum sebatas mengelola dan mengaturnya untuk kepentingan masyarakat umum, dan negara haram mengalihkan kepemilikan umum (privatisasi) atau menjual aset-asetnya.
Konsep kepemilikan ketiga yakni kepemilikan negara. Diantaranya seperti harta ghanimah, fa'i, khumus, kharaj, jizyah, rikaz, usyur, harta orang murtad, harta orang yang tak memiliki harta waris dan tanah hak milik negara.
Asas kedua, yakni terkait pemanfaat kepemilikan, yaitu siapa sesungguhnya yang berhak mengelola dan memanfaatkan harta tersebut. Pemanfaatan ini dilakukan dengan beberapa cara. Pertama adalah pengembangan harta, yaitu upaya-upaya yang berhubungan dengan cara dan sarana yang dapat menumbuhkan pertambahan harta yaitu sektor pertanian, industri dan perdagangan. Kedua, infak harta, yaitu pemanfaatan harta dengan atau tanpa kompensasi. Misalnya zakat, nafkah anak istri, hadiah, hibah, sedekah, infak, jihad fisabilillah, dan lain-lain.
Asas yang ketiga, konsep distribusi kekayaan. Dimana syariat Islam menetapkan sistem distribusi kekayaan di antara manusia melalui, pertama mekanisme pasar yang menetapkan bahwa negara lah yang berwenang melakukan intervensi pasar pada batas syariat. Kedua, bentuk suplai untuk menjamin keseimbangan ekonomi bagi pihak yang tidak mampu bergabung dalam mekanisme pasar, karena alasan tertentu seperti cacat, idiot, dan lain-lain. Ketiga bentuk transfer yaitu bentuk distribusi ekonomi dari seseorang kepada orang lain yang sepadan dan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
Dengan konsep Islam ini akan membawa kemakmuran bagi umat yang ada di dunia. Akan tetapi, aturan ekonomi Islam secara komprehensif sejatinya hanya akan berjalan di bawah institusi sistem pemerintahan Islam, yakni Khil4f4h. Wallahu alam bissawab. [Ys]
0 Comments: