OPINI
Pencabutan Operasional PTS, Pendidikan Tercederai?
Oleh. Dea Ariska
Peningkatan jumlah Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan sejumlah PTS yang berada dibeberapa wilayah Indonesia tidak memenuhi standar operasional bahkan melakukan praktek terlarang.
Dilansir di laman CNN, bahwa menurut Lukman selaku Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi menyatakan bahwa Kemendikbud menerima 52 aduan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi ringan, sedang, berat, hingga pencabutan izin operasional. Pemberian sanksi berdasarkan ketentuan Permendikbudristek Nomor 7 Tahun 2020. Pencabutan izin dilakukan lantaran perguruan tinggi tersebut tidak memenuhi standar pendidikan tinggi, melaksanakan pembelajaran fiktif, dan melakukan praktek jual beli ijazah. Selain itu, melakukan penyimpangan pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah, serta adanya perselisihan badan penyelenggara sehingga pembelajaran tidak kondusif. (cnnindonesia.com, 25/5/2023).
Perguruan Tinggi Swasta disatu sisi menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan pelajar terhadap perguruan tinggi di dalam negeri. Namun, disisi lain penyelewengan tak terelakkan juga terjadi dalam ranah ini. Beberapa oknum yang hanya berorientasi pada materi, disambut dengan beberapa orang yang mencari jalan pintas, melahirkan sejumlah tindakan penyelewengan yang justru mencederai tujuan pendidikan.
Beberapa hal yang melatarbelakanginya adalah:
Pertama, tuntutan jenjang karir dan syarat mencari pekerjaan, namun tak ingin melalui proses panjang untuk meraihnya. Kedua, kedua belah pihak tentunya merasa saling diuntungkan sehingga praktek terlarang yang tejadi di kampus ini terus bertumbuh subur. Belum lagi pelanggaran terhadap larangan pungutan liar disetiap lembaga negara, termasuk lembaga pendidikan banyak dilanggar dengan kedok infak, sedekah, jariah, dan semacamnya, dengan dalih bahwa operasional lembaga pendidikan tak dapat berjalan dengan baik tanpa sokongan dana tersebut.
Kondisi yang telah disebutkan di atas masih terjadi sampai hari ini tentunya karena didukung dengan sistem kapitalis yang berorientasi pada materi. Selain itu, Perguruan Tinggi Swasta yang notabene memiliki sumber pendanaan bukan dari negara tentunya memiliki peluang lebih besar untuk terus meraup keuntungan melalui praktek terlarang, jika tak segera memperbaiki sistem pengawasannya.
Pakar sekaligus pengamat pendidikan Darmaningtyas menyebutkan tiga alasan utama mengapa sikap korup tumbuh di lingkungan kampus, yaitu:
Pertama, proses pemilihan Rektor atau Dekan yang sarat dengan muatan politis. Pemilihan kerap diwarnai dinamika saling menjatuhkan antar calon dan saling lobi ke penentu suara sehingga akan berpotensi memunculkan politik balas budi sebagai ‘imbalan’.
Kedua, posisi Rektor atau Dekan dianggap sebagai jabatan politis yang juga membawa konsekuensi ekonomi dan sosial tinggi. Dengan gaji terbatas mereka harus memberikan sumbangan besar di kegiatan tertentu demi membangun relasi, secara potensial tindakan korupsi bisa terjadi untuk memenuhi kebutuhan ini.
Ketiga, program Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) jalur mandiri khususnya di PTN yang sangat berpotensi menjadikan kampus sebagai lahan ‘basah’ untuk praktek korupsi. (Kompas.com, 27/03/2023).
Menuntut ilmu merupakan kegiatan yang mulia dan sepatutnya mendapat apresiasi tinggi serta dukungan yang cukup dari negara terutama dari segi dana. Sehingga manajemen pendidikan dalam semua ruang lingkupnya termasuk dalam sarana dan prasarana dapat dilaksanakan dengan baik. Sistem pendidikan Islam membantu peserta didik untuk memaksimalkan potensi dalam diri untuk menjadi ahli dalam bidang yang ditekuni masing-masing. Para ahli ini selanjutnya akan berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat dengan berlandaskan peraturan Islam, yang tentunya melarang serta memberi sanksi tegas terhadap berbagai bentuk praktek terlarang dalam bidang apapun.
Kehebatan dan kualitas sistem pendidikan Islam tentunya tak dapat diragukan. Hal ini tergambar melalui salah satu contoh tokoh ilmuwan Islam Al-Khawarizmi penemu aljabar dan angka nol yang masih digunakan ilmunya diseluruh dunia hingga hari ini.
Khil4f4h (sistem pemerintahan Islam) tidak mengenal paradigma Reinventing Government dan konsep turunannya semisal MBS. Negara berperan dan bertanggung jawab penuh dalam pelayanan pendidikan. Meski demikian, dalam Islam dimungkinkan terdapat peran serta masyarakat ataupun sekolah swasta. Hanya saja keberadaannya tidak boleh mengambil alih peran negara. Negara menjaga betul agar layanan pendidikan sampai kepada tiap individu rakyat dengan biaya yang amat murah bahkan gratis. Hal ini merupakan kewajiban syariat kepada negara. (Lensamedianews.com, 21/09/2021).
Begitu sempurnanya Islam mengatur sistem pendidikan yang sangat didambakan setiap orang, dengan peraturannya yang detail serta menyejahterakan umat. Berkebalikan dengan sistem kapitalis yang memiliki banyak celah terhadap penyelewengan karena aturannya yang dibuat oleh manusia. Dengan diterapkannya aturan Islam tentu akan tercapai pula keberkahan serta ridho Allah SWT.
Wallahu’alam. [Rn]
0 Comments: