Headlines
Loading...
Oleh. Najwa Ummu Irsyad

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) bertahap akan mencabut izin 23 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Hal ini dilakukan berdasarkan pengaduan masyarakat dan hasil tim evaluasi. Perguruan Tinggi (PT) tersebut diberikan sanksi karena memang sudah tidak sesuai dengan standar  dari pemerintah. Kampus-kampus tersebut melakukan pelangggaran berupa pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, dan penyimpangan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk mahasiswa (Kompas.com, 27/05/23).

Jika benar adanya kampus-kampus tersebut melakukan kecurangan seperti itu, lantas apa jadinya lulusan dari perguruan tinggi yang melakoni praktik jual beli ijazah? Lantas bagaimana kompetensi lulusan kampus tersebut? Tentu kita bisa bayangkan bahwa seseorang yang aktivitas perkuliahannya fiktif, bisa dipastikan tidak ada tambahan pengetahuan padanya. Lantas kelulusannya dengan membeli ijazah. Sudah tentu tidak ada kompetensi dari lulusan tersebut. 

Fakta seperti ini wajar saja terjadi, sebab sistem pendidikan saat ini merujuk pada sistem sekuler. Sistem yang mempermudah siapa pun untuk membangun dan mendirikan PTS. Mereka membangun PTS berlandaskan bisnis semata. Sedangkan mahasiswa yang masuk dalam kampus-kampus tersebut bisa jadi hanya bertujuan untuk mencari legalitas ijazah demi kepentingan karir atau pekerjaan.  Dalam proses pembelajarannya pun Negara tidak banyak ikut campur dalam menentukan kurikulumnya. Alhasil pendidikan yang berlangsung jauh dari pemahaman keilmuan dan pembentukan manusia berkarakter. 

Keputusan pemerintah dengan memberikan sanksi hingga pencabutan izin beberapa PTS memang sudah menjadi keharusan. Karena praktik semacam itu akan merugikan banyak pihak. Namun di sisi lain langkah ini sejatinya tidak memecahkan persoalan pendidikan di sektor kampus. Sebab, kebutuhan adanya PT di Indonesia juga masih tinggi. 

Dari fakta ini kita bisa melihat bahwa Negara seolah membiarkan kampus-kampus swasta tersebut melakukan apa pun dalam kampus mereka. Sampai pada masanya banyak aduan dari masyarakat barulah Negara turun tangan dengan memberikan sanksi. Semakin jelas bahwa Negara telah menyerahkan urusan pendidikan kepada pihak swasta, bahkan kepada korporasi. Di tangan korporasi pendidikan dijadikan sebagai ladang bisnis, wajar jika mereka mematok harga yang tinggi untuk masuk ke kampus-kampus swasta. 

Tergambar pula peran pemerintah di sini hanya sebagai regulator semata. Syarat yang tidak berbelit menjadikan pihak swasta mudah mendirikan PTS. Berbagai macam fakultas dan jurusan dibuka sesuai dengan permintaan perusahaan-perusahaan para korporat tersebut. Selanjutnya lulusan akan diarahkan ke perusahaan mereka, sehingga untung berkali lipat bagi para korporat karena dengan mudah mendapatkan tenaga kerja terampil dan mudah untuk diarahkan. 

Seperti inilah jeratan kapitalis dalam sektor pendidikan. Ijazah dipandang hanya seperti legalitas untuk masuk dalam dunia kerja. Alhasil pengetahuan yang sebenarnya harus dimiliki, mereka kesampingkan. Bahkan para korporasi itu mengarahkan generasi bangsa ini menjadi terampil semata bukan menjadi ahli di bidangnya. Bonus demografi yang kita miliki mereka jadikan sebagai target pekerja terampil. Hasilnya perusahaan korporasi bisa menyerap tenaga terampil dengan gaji rendah. 

Laksana gabung bersambut, kejumudan masyarakat karena himpitan ekonomi menjadikan mereka melakukan segala hal demi bertahan hidup. Mereka yang malas berpikir akibat kehidupan sekuler, akan menempuh jalan pintas dengan masuk ke PTS abal-abal tersebut. Lantas, apa yang bisa kita harapkan jika generasi kita terus berada dalam cengkeraman kapitalis seperti ini? 

Berbeda dengan pendidikan dalam sistem Islam. Dalam Islam, Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan primer individu dan masyarakat. Kebutuhan primer individu adalah sandang, pangan, dan papan. Selanjutnya kebutuhan masyarakat secara umum selain sandang, pangan, dan papan adalah pendidikan dan kesehatan. Negara wajib menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan secara cuma-cuma.

Dengan politik dan pemerintahan Islam, Negara akan mampu memfasilitasi layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis. Pembiayaannya diambilkan dari baitulmal. Jika tidak ada kas dari baitulmal, maka Negara akan memotivasi kaum muslim yang kaya untuk menyumbangkan hartanya bagi pendidikan. Negara juga tidak akan memberikan izin kepada swasta jika kampus yang mereka bangun hanya berorientasi sebagai bisnis. 

Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membangun pendidikan yang berkarakter Islam, memajukan keilmuan tentang sains, teknologi, dan matematika. Sehingga output yang dihasilkan memiliki keimanan yang kukuh dan mendalam keilmuannya. Begitu juga dengan kurikulum yang ditetapkan oleh Negara, PTS tidak dilarang menyusun kurikulum sendiri, asalkan sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh Negara. 

Begitulah indahnya Islam dalam mengatur pendidikan perguruan tinggi. Hal ini akan terealisasi hanya jika Negara mengadopsi Islam sebagai dasar sistem.

Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: