Headlines
Loading...
Pendirian Tempat Ibadah Dipermudah, Solusi atau Masalah?

Pendirian Tempat Ibadah Dipermudah, Solusi atau Masalah?

Oleh. Ana Mujianah 

Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kerukunan Umat Beragama yang di dalamnya tercantum perihal mempermudah izin pendirian rumah ibadah ditargetkan terbit tahun ini. Hal itu disampaikan oleh Juru Bicara Kemenag, Anna Hasbie, bahwa nantinya pendirian rumah ibadah cukup dengan satu rekomendasi dari kepala kantor Kemenag daerah setempat. Tidak perlu lagi rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) (BBC.com, 7/06/2023).

Tuntutan untuk mempermudah pendirian rumah ibadah dipicu salah satunya adanya pembubaran ibadah di Gereja Kristen Kemah Daud, Bandar Lampung pada Minggu (19/2) oleh warga sekitar. Alasan pembubaran karena gereja tersebut belum mengantongi izin resmi sebagai tempat ibadah (Kompas.id, 20/2/2023).

Konflik pelaksanaan dan pendirian rumah ibadah memang seringkali terjadi. Namun sayangnya, sebagai umat beragama mayoritas, umat Islam kerap menjadi sasaran tuduhan atas tindakan yang dianggap intoleran terkait konflik pendirian rumah ibadah padahal hal itu sudah sesuai prosedur. Maka, beberapa pihak mengusulkan terkait pendirian rumah ibadah agar izinnya dipermudah.

Kebijakan untuk mempemudah pendirian rumah ibadah tampak sebagai solusi dalam menjaga toleransi umat beragama. Akan tetapi benarkah, bahwa dengan banyaknya rumah ibadah meski itu umat minoritas yang mendirikannya di tengah perkampungan umat beragama lain yang mayoritas tidak akan menimbulkan konflik? Jika kita cermati, konflik akan terus terjadi selama tidak dibangun pemahaman yang benar tentang makna toleransi antar umat beragama. 

Sikap-sikap intoleran sebenarnya justru subur pada sistem sekuler-liberal. Karena kepentingan segelintir orang, tak jarang pendirian rumah ibadah di tempat mayoritas umat beragama yang berbeda dipaksakan, padahal sudah difasilitasi rumah ibadah yang dinilai cukup untuk melaksanakan ibadah. Ketika terjadi protes, karena umat Islam sebagai umat mayoritas sering menjadi sasaran tuduhan tindakan intoleran. Oleh karenanya, pemerintah yang katanya menjujung tinggi demokrasi juga harus adil dan obyektif melihat persoalan ini. 

Terkait dengan toleransi antar umat beragama, justru sepertinya kita harus banyak belajar dari umat Islam. Bagaimana dulu Muhammad Saw. sebagai seorang nabi dan pemimpin negara memperlakukan umat beragama lain yaitu orang-orang Yahudi yang tinggal di negeri Islam. 

Nabi Muhammad Saw. telah memberikan teladan yang mulia tentang sikap toleransi kepada umat beragama lain. Dalam suatunkisah disebutkan, bahwa setiap hari, Rasulullah Saw. dengan sabar menyuapi seorang pengemis Yahudi yang buta meskipun pengemis tersebut selalu memakinya. Karena kesabaran Rasulullah Saw., si Yahudi buta itu akhirnya tersadar akan kemuliaan akhlak Baginda Nabi Saw. Namun sayangnya, ketika itu Rasulullah telah wafat.

Selain akhlak Rasulullah Saw., kita juga bisa belajar dari Khalifah Umar bin Khattab tentang toleransi. Khalifah Umar pernah menegur Gubernur Mesir kala itu, Amr bin Al-'ash ketika Amr hendak mendirikan masjid di tanah milik orang Yahudi. Orang Yahudi tersebut tidak rela dan mengadu kepada Khalifah Umar, maka dengan segera Khalifah Umar mengirimkan pesan berupa potongan tulang onta yang digores pedang. Seketika Amr bin Al-'ash membatalkan pendirian masjid tersebut bahkan membongkar bangunan yang sudah berdiri.

Di dalam sistem Islam sendiri, pelaksanaan ibadah bagi umat beragama lain dijaga dan dihormati. Hanya saja, mereka yang minoritas juga harus sadar diri. Melaksanakan ibadah di komunitasnya sendiri dan tidak berusaha untuk mempublikasikan ibadahnya yang akhirnya itu menganggu warga sekitar yang notabene umat mayoritas.

Itulah bentuk toleransi yang ditunjukkan oleh umat Islam. Jika kita mau jujur, sejatinya sistem Islamlah yang bisa memberikan jaminan kehidupan yang rukun antar umat beragama.

Wallahu 'alam bish shawab. [Wa]

Baca juga:

0 Comments: