OPINI
Pengangguran, Problem Mangkrak Kapitalisme
Oleh. Maya A (Muslimah Gresik)
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2023 dinyatakan turun sebesar 0,38% menjadi 5,45% bila dibandingkan Februari tahun lalu. Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Moh Edy Mahmud, menjelaskan per Februari 2023 terdapat 146,62 juta orang termasuk dalam jumlah angkatan kerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7,99 juta orang tidak terserap di pasar kerja alias pengangguran. (Liputan6.com 5/5)
Pengangguran memang masih menjadi PR besar sekaligus catatan bagi kinerja pemerintah. Ia juga menjadi problem yang belum terpecahkan hingga saat ini sekalipun beragam solusi telah diupayakan. Padahal, tingginya angka pengangguran yang tidak teratasi akan berdampak negatif terhadap berbagai aspek.
Dari sisi ekonomi, pengangguran tentu berpengaruh pada minimnya pendapatan dan berujung pada kemiskinan. Kemiskinan tentu akan merembet ke berbagai aspek lainnya seperti kesehatan karena mengurangi kemampuan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pemenuhan gizi yang cukup.
Merembet pula pada aspek sosial dengan meningkatnya angka kriminalitas. Lebih jauh, menurunnya produktivitas dan pendapatan seseorang juga berpotensi mengancam ketahanan keluarga baik meningkatnya konflik internal keluarga, angka perceraian, maupun KDRT. Dampak yang kian mengerikan ini, seharusnya menjadi pertimbangan bahwa pengangguran tidak boleh dipandang sebagai problem sederhana sebatas pada masalah ekonomi saja.
Banyak sebab mengapa pengangguran meningkat, diantaranya pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah dibanding pertumbuhan angkatan kerja baik karena pandemi maupun resesi yang dipengaruhi oleh perekonomian internasional. Kondisi ini merupakan konsekuensi logis yang harus dirasakan Indonesia sebab keikutsertaannya dalam mengabdi pada sistem ekonomi kapitalisme. Keterlibatan ini pada akhirnya mereduksi peran negara sebatas regulator yang melayani kepentingan pemodal. Disaat yang sama aset berupa kekayaan alam tidak bisa dimanfaatkan secara penuh untuk kesejahteraan rakyat.
Tingginya pengangguran juga selaras dengan tingginya kesenjangan antara pencari dan lapangan kerja yang ada. Padahal semestinya ruang usaha yang kondusif menjadi prioritas kebijakan negara terlebih Indonesia disebut tengah mengalami bonus demografi.
Pada saat yang sama, sistem pendidikan yang komersial membatasi rakyat untuk mengenyam pendidikan sehingga tak jarang dijumpai generasi usia produktif yang terpaksa menganggur sebab putus sekolah. Tak jarang pula dijumpai ketidaksesuaian antara pasar kerja dan kompetensi yang dicari.
Yang lebih menyakitkan adalah lahirnya kebijakan yang tidak pro rakyat dan condong pada kepentingan perusahaan seperti UU Ciptaker yang memudahkan terjadinya PHK serta sistem kontrak kerja yang terus menerus.
Sayangnya, paradigma kapitalisme yang dikukuhi negara membuat penguasa gamang untuk memihak rakyat. Alih-alih berusaha menyejahterakan, penguasa kerap menzalimi rakyatnya dengan kebijakan yang menyengsarakan. Mulai dari pajak, kapitalisasi layanan publik, undang-undang proasing, termasuk proyek investasi yang membuka tenaga asing, dan sebagainya.
Jika selama ini paradigma kapitalisme membuat upaya penguasa sebatas retorika dalan menyelesaikan pengangguran, maka Islam justru mewajibkan penguasa bertanggungjawab penuh atas segala kebutuhan dan urusan rakyat. Termasuk membuka lapangan kerja pada siapapun yang membutuhkan, khusunya mereka yang bertanggungjawab atas nafkah. Detailnya, penguasa akan mengaplikasikan dua mekanisme utama, yaitu mekanisme individu dan ekonomi sosial.
Melalui mekanisme individu, negara tak segan memberikan sarana prasarana baik berupa pendidikan, keterampilan maupun modal bagi siapapun yang membutuhkan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidup. Upaya ini merupakan realisasi dari pemahaman tentang wajibnya bekerja dan kedudukan orang orang yang bekerja di hadapan Allah Swt.
Adapun mekanisme ekonomi sosial, maka negara membuka peluang investasi halal untuk dikembangkan di sektor riil baik di bidang pertanian dan kehutanan, kelautan, dan tambang maupun meningkatkan volume perdagangan. Industri berat juga akan dikembangkan bersamaan dengan industri lainnya guna menyerap SDM dengan kompetensi mumpuni hasil dari sistem pendidikan Islam. Di saat yang sama, negara tidak akan menoleransi sedikitpun tumbuhnya sektor non riil. Selain karena diharamkan, sektor ini juga menyebabkan labilnya perekonomian, terbatasnya peredaran uang diantara orang kaya saja, serta tidak berhubungan dengan penyediaan lapangan kerja. Lebih dari itu, negara juga akan menciptakan iklim yang merangsang rakyatnya untuk membuka usaha dengan menyederhanakan proses birokrasi termasuk penghapusan pajak.
Sementara itu, melalui mekanisme sosial, negara akan mengembalikan fungsi utama wanita sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Dengan mekanisme ini, wanita tidak lagi terjebak akan stereotip kewajiban untuk bekerja sehingga persaingan antara tenaga kerja laki laki dan wanita akan terkikis.
Adapun terhadap mereka yang lemah dan tidak mampu bekerja, maka menjadi kewajiban negara untuk memberikan santunan sehingga mereka pun tetap meraih kesejahteraan.
Demikianlah Islam lahir untuk menjawab setiap permasalahan yang dialami oleh manusia. Dan melalui tangan negara, kesempurnaan Islam semakin nyata terlihat adanya. Sebab ia tak sekedar menjamin terealisasinya sistem sempurna, tapi juga membentuk pribadi penguasa yang amanah atas apa yang diembannya. [Rn]
0 Comments: