Headlines
Loading...
Polemik Baby Blues: antara Kesiapan Menjadi Ibu dan Ilusi Kesejahteraan

Polemik Baby Blues: antara Kesiapan Menjadi Ibu dan Ilusi Kesejahteraan

Oleh. Afiyah Rasyad, S.S.

Syahdan, air mata penderitaan tak jua meraih seriusnya perhatian. Betapa banyak kaum hawa yang porak-poranda jiwa dan hatinya dengan peliknya kehidupan. Tingginya harga barang kebutuhan dan segala tarif iuran semakin menambah luka yang tak menuai kesembuhan. Belum lagi, potret pergaulan sungguh memprihatinkan. Masalah demi masalah datang tak berkesudahan. Belum usai masalah dispensasi nikah dini, kini muncul 'baby blues' ke permukaan.

Akar Masalah 'Baby Blues'

'Baby blues' adalah gangguan suasana hati yang dialami ibu setelah melahirkan. Kondisi ini menyebabkan seorang ibu mudah sedih, lelah, mudah marah, menangis tanpa alasan yang jelas, kurang nafsu makan, mudah gelisah, dan sulit berkonsentrasi. (detik.com, 3/1/2023)

Secara umum, dijumpai beberapa faktor yang menjadikan risiko 'baby blues' bergentayangan. Terkadang seorang perempuan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, 'insecure', kecewa terhadap pasangan, mengalami kecemasan, dan stress saat melahirkan. Sejatinya, ibu sangat membutuhkan bantuan orang di sekitarnya ketika bercengkerama dengan babak baru dalam hidupnya. Terlebih kehadiran buah hati akan membuat hari-hari seorang ibu berubah dari sebelumnya.

Psikolog dan Ketua Komunitas perempuan dari Wanita Indonesia Keren (WIK) Maria Ekowati mengatakan bahwa kondisi 'baby blues' biasanya terjadi karena kondisi hormonal, meski perempuan telah mempersiapkan diri sebagai calon ibu sejak lama. Maria juga mengatakan bahwa kondisi 'baby blues' parah juga bisa terjadi pada perempuan yang hamil karena 'kecelakaan' hingga berada dalam rumah tangga yang tidak harmonis atau mengalami KDRT.  (Republika.co.id, 28/5/2023)

Kini, negeri ini tengah dihantui kasus 'baby blues'. Data laporan Indonesia National Adlescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023 di Lampung, 25 persen ibu mengalami depresi setelah melahirkan. Hasil penelitian Andrianti (2020) terungkap bahwa 32 persen ibu hamil mengalami depresi dan 27 persen depresi pasca melahirkan dan dalam penelitian skala nasional menunjukkan 50-70 persen ibu di Indoensia mengalami gejala 'baby blues'. Angka ini tertinggi ketiga di Asia. (republika.co.id, 28/5/2023)

Tak dinafikkan, mayoritas ibu hamil akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut buah hati. Perlengkapan si bayi dan ibu pasca melahirkan akan dipikirkan dengan saksama. Namun, persiapan itu sekadar persiapan peralatan atau perlengkapan fisik. Kesiapan jiwa yang lapang dan waktu yang akan menguras emosi masih luput dari perhatian.

Kebanyakan ibu hamil juga melupakan ilmu menyambut kelahiran buah hati dengan senang hati jiwa dan raga. Tak dipungkiri, kelelahan dan keletihan akan diarungi ibu pada fase melahirkan, mengasuh, hingga membesarkan buah hatinya. Terutama di fase melahirkan, selain hormonal, akan ada perubahan tatanan pola istirahat dan pola makan akibat kehadiran si bayi mungil. Apalagi jika itu dialami keluarga tidak mampu. Pikiran akan semakin bercabang. Perkara dapur mengepul juga bisa memicu kesiapan si ibu tersebut.

Kebanyakan keluarga di negeri jauh dari kata sejahtera. Banyak kaum hawa yang turut serta berjibaku di ranah publik untuk sekadar menyambung hidup. Bahkan, saat hamil dan melahirkan pun, ia dihadapkan pada kondisi pelik. Di satu sisi, ibu harus memperhatikan bayi yang baru dilahirkannya. Di sisi lain, dia harus ikut membantu suami terkait urusan nafkah. Lebih-lebih jika suaminya tak memberikan banyak perhatian di saat ia butuh perhatian pasca melahirkan.

Kondisi ini juga diperparah oleh tatanan kehidupan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Walhasil, jiwa si ibu kian gersang di tengah rapuhnya jiwa yang tak tercurah atasnya kasih sayang dan perhatian. Belum lagi lingkungan masyarakat yang cenderung liberalis dan individualis. Rasa empati seakan pergi dari nurani. Banyak masyarakat yang enggan memberikan pertolongan pada tetangganya. Tak jarang di antara mereka sudah tak peduli dengan tetangganya.

Hal krusial yang menjadikan 'baby blues' sebagai polemik adalah hilangnya perhatian negara atas pemeliharaan urusan rakyat, termasuk perkara kehamilan dan kelahiran. Pendidikan seorang perempuan secara khusus agar siap menjadi ibu, tidak tersentuh sama sekali. Kurikulum pendidikan juga bertumpu pada sekularisme. Di bangku sekolah, para pelajar perempuan hanya mendapatkan ilmu pengetahuan yang jauh dari fitrah seorang manusia dan ibu. Pendidikan agama hanya 2 jam dalam sepekan. Walhasil, perempuan jauh dari kodratnya sebagai 'ummun warabbatul bayt' dan 'madradah ula'.

Selain itu, kesehatan ibu dan bayi juga banyak dikomersialisasi. Meski ada program BPJS, pada faktanya, masih banyak warga yang kalang kabut untuk membayar iuran tiap bulannya. Saat dibutuhkan, iuran itu wajib dibayar dengan tagihan yang sudah membengkak karena bolos membayar. Dari sini, negara seakan abai dengan kesehatan rakyat.

Kompleksitas permasalahan ibu dalam rumah tangga dan negara yang dicengkeram oleh sistem kapitalis, menjadikan kasus 'baby blues' mudah muncul dan menjamur. Sementara maraknya kajian parenting tidak mampu menjadi solusi karena perannya  sebatas menyajikan poin-poin umum yang tidak menyentuh akar masalah. Ketidaksiapan ibu dalam menghadapi kelahiran dengan segala perubahannya.

Islam Menjaga Fitrah Ibu

Polemik 'baby blues' tak akan berlarut-larut ketika akar masalahnya diberikan solusi yang tepat. Dalam kapitalisme, kesiapan menjadi ibu dan kesejahteraan ilusi belaka. Maka, dibutuhkan solusi fundamental yang mampu menyelesaikan masalah 'baby blues' sampai ke akarnya, yakni dengan penerapan Islam kafah oleh negara.

Islam menetapkan sebuah tugas mulia bagi seorang ibu, selain 'ummun warabbatul bayt', ia adalah seorang 'madrasah ula'. Ayah pun bersinergi dengan ibu dalam membersamai buah hati.

Islam adalah agama sempurna. Islam meletakkan kewajiban atas pemimpin negara (khalifah) untuk menyiapkan generasi sebagai calon orang tua masa depan yang tangguh. Negara wajib menjamin pendidikan setiap individu rakyat. Negara harus menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islam pada setiap individu dan  membekali generasi dengan tsaqafah Islam. Pembinaan yang intens, komprehensif, dan penuh motivasi akan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam kokoh, tak mudah emosi dan depresi. Suasana keimanan akan mewarnai kehidupan mereka sampai berumah tangga, termasuk kesiapan untuk memiliki anak.

Selain itu, negara akan menerapkan sistem politik ekonomi Islam yang akan mampu menyejahterakan rakyatnya. Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok 'person to person' secara optimal, seperti sandang, pangan, dan papan. Negara akan memotivasi dan menyiapkan lapangan pekerjaan bagi laki-laki. Sehingga, kaum hawa tidak perlu berjibaku dengan urusan kerja demi membantu tulang punggung keluarga.

Jika tak ada lelaki sama sekali dalam keluarga tersebut yang mampu menanggung nafkah, negara akan mencarikan wali sesuai nasab. Jika tak ditemukan satu wali pun, maka kebutuhan pokok akan dibebankan pada kaum muslim yang lain. Negara mengkoordinasikannya dalam Baitulmal, berupa pos zakat yang akan disalurkan kepada keluarga tersebut yang  terkategori dalam 8 ashnaf. Dengan demikian, kaum hawa akan fokus mengasuh dan mendidik buah hati dengan sepenuh hati.

Negara juga harus menjamin kebutuhan pokok komunal, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sehingga, setiap individu rakyat, terutama ibu hamil dan melahirkan merasakan ketenangan dalam berobat dan memeriksakan kehamilannya. Ia bisa mengakses layanan kesehatan dari tenaga medis yang profesional secara gratis. Keamanan pun dijaga dengan baik oleh negara. Sehingga, ketenteraman jiwa sudah terjaga.

Adapun sistem sosial, negara wajib menjaga suasana keimanan di tengah masyarakat tetap stabil. Sehingga, tak ada 'bullying' di tengah masyarakat. Tetangga terdekat akan memiliki rasa empati dan ringan tangan untuk membantu ibu yang baru melahirkan. Untuk menjaga suasana keimanan kondusif, pendidikan berasas akidah Islam benar-benar ditegakkan. Negara akan menegakkan pembinaan umat. Selain itu, negara akan menjauhkan masyarakat dari polusi pemikiran yang beredar dengan selalu mengontrol media dari konten tak layak. Dengan demikian, fitrah ibu terjamin dan terjaga.

Wallahualam

[Dn]

Baca juga:

0 Comments: