Oleh. Afiyah Rasyad
(Emak Big 5)
Siapa yang tak gundah saat hubungan long distance relationship menyapa. Istri mana yang tak galau ketika suami harus menempuh S2 di luar negeri meninggalkan dirinya. Siapa yang tak resah berpisah jarak dan waktu di tengah demam perceraian.
Aroma teh di sore hari sedikit membantu jiwa Aura agar tak bergemuruh. Kepulan asap teh mengudara tanpa aba-aba. Tak ada rencana LDR sebelum-sebelumnya. Embusan napas agak berat lolos dari alat pernapasannya. Kedua maniknya langsung membingkai wajah Azka, suaminya saat lengannya disentuh dengan lembut.
"Bunda, aku janji kalau sudah bisa adaptasi di sana, dapat tempat tinggal yang kondusif buat Bunda dan anak-anak, aku akan jemput Bunda dan anak-anak," ucap tulang punggungnya.
Kata-kata itu semakin menguatkan harapan Aura untuk selalu mendampingi suaminya. Tuntutan profesi mengharuskan Azka menempuh kuliah di luar negeri. Aura mengerjap tenang dan mengutarakan idenya.
"Pak, aku ikut sajalah. Kita sama-sama adaptasi di sana. Aku ada tabungan mungkin cukup untuk kita berangkat sekeluarga."
"Bukan perkara ongkos, Bun," kata suaminya bak petir di siang bolong.
Kegalauan seakan langsung mengepung jiwa dan hatinya. Rasa khawatir dengan bahtera semakin kuat. Dia meminum tehnya untuk sedikit menenangkan perasaannya yang bergolak. Aura lebih memilih diam, tidak lagi memperpanjang pertanyaan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Diamnya Azka dan Aura berhenti saat azan magrib berkumandang. Azka bergegas ke masjid untuk salat berjemaah sekaligus membersamai ketiga putranya yang pulang mengaji sampaj isya nanti. Aura langsung menghadap Sang Ilahi dalam rakaat salat dan sujud panjangnya. Hatinya luruh berserah siri pada Sang Pemilik jiwa.
Setelah isya, dia segera menyiapkan makan malam. Ada waktu 20 menit sebelum suami dan ketiga putranya pulang. Dia mengambil gawainya, membuka logo telpon hijau. Di sana ada pesan dari orang spesial. Netranya berbinar. Jemarinya lincah menyentuh pesan tersebut. Pesan dari guru pertama yang mengajaknya hijrah.
Aura menelepon Mbak Indah, gurunya. Setelah obrolan ringan, menumpahkan rasa kangen, Aura memberanikan diri bertanya terkait permasalahannya. Dia menyampaikan bahwa ingin menyertai suaminya, tetapi tidak dapat restu. Tampak wajah Mbak Indah di video call itu tersenyum menenangkan.
"Kautahu, Ra? Satu yang utuh itu tidak harus selalu bersama. Cobalah tengok sejarah, kaum muslim di bawah naungan Islam itu apa tinggal dalam satu wilayah? Tidak, tetapi mereka bisa bersatu." Mbak Indah ambil jeda.
"Mereka di bawah satu kepemimpinan, yakni khalifah. Tidak semua kaum muslim tinggal sama khalifah. Namun, saat itu, tetap satu kesatuan utuh," kata Mbak Indah menjelaskan.
"Tapi, Mbak ... ini kan bisa diupayakan. Gak sebanyak kaum muslim juga kita," Aura menyangkal.
"Ok. Kaudengar kisah Siti Hajar, hah? Beliau malah ditinggal di tengah gurun, tanpa tempat tinggal dan perbekalan yang cukup. Apa dia menolak tinggal di sana dan meminta ikut Nabi Ibrahim balik? Nggak, 'kan? Keluarga itu tetap satu. Satu yang utuh. Jangan kausangkal lagi, Ra. Kau hanya akan ditinggal sementara ke luar negeri. Kau tak tanyakan perasaanku ditinggal suami selamanya, hah?" Mbak Indah menjelaskan dengan lembut dan penuh senyuman.
"Jleb." Aura speechless. Air mata kini mengalir deras. Obrolan terputus karena suami dan ketiga putranya sudah pulang. Mereka mengakhiri obrolan yang hangat dan sarat makna itu.
0 Comments: