Headlines
Loading...


Oleh. Maya Dhita

Aku tersadar dari lamunanku saat ibu menjatuhkan baskom air bekas mandi ayah. Aku lekas beranjak mengambil kain pel dan berusaha mengeringkan air yang menggenang di lantai secepat yang kubisa. Ibu pun melakukan hal yang sama. Seperti biasa, bergerak cepat dalam diam.

Seingatku dulu ibu adalah wanita periang. Sedikit lelucon ayah saja membuatnya tertawa lepas. Namun, semenjak ayah sakit, lumpuh separuh badan karena penyakit stroke, ibu jadi berubah. Tak pernah lagi kudengar merdu suaranya bernyanyi saat memasak, menyapu, ataupun mencuci bersama ayah. Tak pernah lagi kudengar tawa renyahnya.

Ayah pun terpaksa berhenti dari pekerjaan sebagai pengawas gudang di sebuah perusahaan swasta. Masih untung perusahaan memberikan uang pesangon. Uang itu digunakan untuk biaya terapi ayah dan sebagian untuk tambah modal warung kelontong Ibu.

"Risa berangkat sekolah, Yah. Nanti sekalian halaqoh ya, jadi pulangnya agak sore," pamitku sambil meraih tangan kanan ayah dan menciumnya.

Ayah berusaha menjawab dengan segala keterbatasannya. Tapi, aku paham, ayah menyuruhku untuk berhati-hati.

"Siap, Bos," jawabku sambil tersenyum lebar.

"Ayah makan yang banyak ya, nanti kalau aku pulang ayah harus gemukan," candaku.

Ayah hanya melenguh.

Setelah mengucap salam, aku segera keluar dari kamar ayah. Tidak ingin ayah tahu air mata yang sejak tadi kutahan telah jatuh membasahi kerudung putihku.

Melihat tubuh ayah yang semakin kurus membuatku sedih. Semangat hidupnya juga menurun. Ayah terlihat lebih tua dari usianya.

Kucurahkan semua beban pikiranku pada Mbak Nur, Musrifahku sesaat setelah selesai kajian di rumahnya.

"Mungkin beliau hanya lelah, Sa. Sepertinya banyak beban yang belum bisa dibagikan. Bantu ibu sebanyak yang kamu mampu. Kuatkan beliau. Ingatkan bahwa Allah tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan hamba-Nya."

Banyak hal yang disampaikan Mbak Nur. Nasehatnya siang itu telah membuka pikiranku. Aku harus bisa mengembalikan keceriaan ayah ibu seperti dulu.

Saat pulang ke rumah tidak ada yang menjawab salamku. Kulihat ayah sedang terlelap. Kucari ibu di belakang rumah. Langkahku terhenti saat kudapati ibu terisak sambil terus menyeka air mata.

"Bu," lirihku.

Kuhampiri ibu dan memeluknya. Ibu semakin mengguguk.

"Yang sabar ya, Bu! Pasti ini semua berat bagi Ibu, tapi aku yakin Ibu bisa melaluinya. Kita hanya perlu melibatkan Allah di setiap usaha kita."

"Astaghfirullah, astaghfirullah," berulang kali terucap dari mulut ibu disela tangisnya. Emosinya mulai mereda.

"Allah akan menguji kita dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan lainnya, Bu. Tapi Allah juga berjanji akan memberikan kabar gembira bagi hambanya yang sabar."

Ibu mengangguk-angguk.

"Tidak mengapa merasa sakit, Bu, bahkan wanita paling mulia yang dijamin masuk surga saja, Maryam salamun'alaiha saja merasakan sakit hingga berkata kalau lebih baik mati. Itu bukan berarti beliau kurang beriman. Ya memang beginilah wanita diciptakan dengan perasaan. Ibu hanya perlu berbagi sama Risa, nanti kita hadapi semua bersama. Maafkan Risa kalau selama ini kurang perhatian sama Ibu! Risa sayang banget sama Ibu." Kupeluk Ibu erat-erat.

Ibu kembali tersedu, "Ibu hanya butuh dikuatkan. Ya Allah, Ibu lupa punya Allah yang Maha Kuat. Terimakasih, Sayang. Insyaallah Ibu bisa melalui semua ini."

Hampir-hampir aku tak percaya dengan semua kata-kata yang keluar dari mulutku sendiri. Allahlah yang berkehendak hingga bisa membuat Ibu kembali bangkit.

Di hari berikutnya. Pagi itu ada yang lain dari biasanya. Ibu terlihat cantik dengan kerudung warna merah muda, sedang menyuapi ayah sambil bercerita tentang masa remaja. Sesekali ibu tertawa dan menggoda ayah. Ayah pun terlihat ceria.

Hari ini urusan dapur telah beres, rumah juga sudah bersih. Aku telah berjanji pada diriku akan meringankan beban ibu.

Sebulan berlalu. Ayah sudah mulai lancar berbicara dan mampu berpindah walau masih dibantu. Ayah juga terlihat lebih gemuk dan bersemangat seperti dulu. Ibu juga tidak pernah bersedih lagi. Luar biasa bahagianya aku saat ibu mengatakan ingin ikut datang kajian bersamaku. Ya, Allah, rasa syukurku teramat dalam. Sungguh di setiap kesulitan akan datang kemudahan.
***

Baca juga:

0 Comments: