OPINI
Akidah tak Terurus, Bukti Negara Kurang Riayah?
Oleh. Mawar Ummu Faza
Dalam Islam akidah merupakan pondasi agama. Tidak akan tegak agama tanpa adanya akidah. Keimanan yang tertancap dalam jiwa haruslah sampai level “tashdiqul jazm”, pembenaran yang pasti, yang tidak tersusupi kecurigaan atau keraguan sedikitpun. Oleh karena itu, jika akidah seorang muslim rusak, maka rusak pulalah agamanya.
Berarti akidah Islam merupakan hal yang sangat krusial, hal yang sangat penting dan genting yang harus dimiliki dan dipertahankan serta dijaga kemurnian dan kekokohannya oleh umat islam. Karena akidah Islam-lah yang menentukan seseorang layak disebut sebagai orang yang beriman atau kafir. Akidah Islam pula yang menentukan apakah amalan manusia diterima oleh Allah SWT atau tidak. Sebab, jika tidak berakidah Islam, maka perbuatan baik sebanyak apapun yang dilakukan oleh seseorang akan sia-sia belaka, tak bernilai pahala di sisi Allah SWT.
Saat ini akidah umat Islam sedang diserang secara masif dari segala arah. Terdapat juga fenomena mudahnya orang saat ini melepaskan keislamannya (murtad).
Pemahaman mayoritas umat muslim terhadap konsepsi kemurtadan itu sendiri sempit. Murtad dari Islam hanya dipahami sebatas jika seorang muslim masuk ke dalam agama Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu atau aliran-aliran sesat lainnya. Mereka lupa, menyakini dan mengamalkan sekularisme-liberalisme termasuk murtad dari Islam, seperti halnya menyakini kebenaran konsep trinitas, panteisme, sosialisme dan atheisme. Jika seorang Muslim telah murtad dari Islam sesungguhnya ia telah menjadi bagian orang-orang kafir yang seluruh amal perbuatannya di dunia sia-sia belaka. Mereka kelak akan kekal hidup di dalam neraka.
Saat ini terdapat juga aliran sesat yang semakin menjamur dan bebas mempraktekkan serta mengajak umat untuk menerima ajaran sesat mereka. Seperti Ahmadiyah, Syi'ah, Bayha'i, dan lainnya. Dan yang terbaru saat ini mengenai pesantren Al-Zaytun yang sedang ramai diperbincangkan mengenai beberapa praktik ibadah di Al Zaytun yang viral beberapa waktu lalu seperti sholat bercampur antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, peristiwa dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati di pondok pesantren Al Zaytun yang terjadi beberapa tahun ke belakang.
(khazanah.republika.co.id, 17/06/2023)
Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali, mempertanyakan sikap pemerintah yang lamban dalam menyelesaikan berbagai persoalan terkait Ma'had Al Zaytun. Dia mengatakan dengan berbagai penyimpangan ajaran di Ma'had Al Zaytun serta adanya keterkaitan dengan NII KW 9, pemerintah tidak cukup untuk memberikan teguran. Tetapi, menurut dia, pemerintah juga harus secepatnya mengambil tindakan membubarkan. "Jadi apa lagi yang mau ditunggu pemerintah. Mengapa ada negara di dalam negara ini dibiarkan. HTI yang punya pemikiran tentang khilafah sudah dibubarkan, FPI juga dibubarkan, loh kok ini Al Zaytun dia jelas punya struktur pemerintahannya sendiri, dibiarkan," kata kiai Athian kepada Republika.co.id pada Sabtu (17/6/2023). Kiai Athian melihat adanya saling lempar dan menunggu di antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan aparat dalam menyelesaikan persoalan Al Zaytun. Hal tersebut menurutnya justru semakin menimbulkan banyak pertanyaan dan kecurigaan di tengah masyarakat.
Dari masalah tersebut tergambar rapuhnya pilar ketaqwaan individu, abainya masyarakat dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, dan yang menjadi sebab paling utama adalah dukungan sistem kehidupan demokrasi yang rusak dan senantiasa memunculkan kerusakan.
Sebagaimana kita pahami, sistem demokrasi dibangun atas 4 pilar kebebasan individu. Salah satunya adalah pilar kebebasan individu dalam beraqidah. Sistem demokrasi menjamin kebebasan setiap individu untuk beraqidah apa saja, termasuk berpindah keyakinan pun menjadi hal yang dilindungi kebebasannya. Akibatnya tidak ada kekhawatiran pada individu untuk murtad. Dan masyarakat pun saat ini sudah menganggap hal ini sebagai fenomena biasa. Na’uudzubillaah.
Oleh karena itu akidah Islam tidaklah bisa hanya meyakini bahwa Allah sebagai Sang Pencipta saja, mengatur urusan ibadah saja (ibadah mahdhah). Namun tidak meyakini bahwa Allah juga telah mengatur bagaimana cara manusia sebagai makhluk yang telah Allah wakilkan (amanahkan) untuk mengurusi bumi agar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah baik berupa sistem pemerintahan, pergaulan, pendidikan, politik, kesehatan, dan lain-lain (ibadah ghairu mahdhah).
Mudahnya seorang Muslim keluar dari Islam dan lain-lain tanpa ada yang bisa mencegahnya apalagi menghentikannya. Sebab kekuasaan (institusi Islam) yang menjaganya telah hilang satu abad yang lalu yaitu daulah khil4f4h yang menjadikan alquran dan as-sunnah sebagai dasar hukumnya.
Islam sebagai sebuah agama tidak akan tegak tanpa kekuasaan. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh 'Hujjatul Islam' Imam Al-Ghazali dalam kitabnya 'Ihya Ulumuddin' bahwa, agama dan kekuasaan adalah ibarat saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan. Jika dipisahkan maka salah satunya cacat tidak akan bisa berjalan sempurna. "Agama dan kekuasaan adalah seperti dua orang saudara kembar, keduanya tidak boleh dipisahkan. Jika salah satu tidak ada, maka yang lain tidak akan berdiri secara sempurna. Agama adalah pondasi sementara kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu tanpa pondasi akan rusak, segala sesuatu tanpa penjaga akan hilang".
Beginilah kondisi umat Islam saat ini ketika agama dan kekuasaan dipisahkan (sekulerisme). Agama tidak boleh dibawa di dalam ranah kekuasaan (pemerintah). Agama hanya boleh di dalam ranah individu semata. Sehingga kekuasaan rusak disebabkan tidak menjadikan agama sebagai pondasinya. Yang mana fungsi kekuasaan saat ini bukan lagi mengurusi urusan umat sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT dalam hadis Nabi SAW: "Pemimpin adalah ri'ayah (pengurus umat/rakyat) dan dia akan mempertanggungjawabkan atas kepengurusan rakyatnya" (HR. Bukhari Muslim).
Namun kekuasaan saat ini malah menjadi pengurus kepentingan para pemilik modal (kapital).
Berkenaan pentingnya kekuasaan ini Allah SWT menyampaikan dalam Al-Qur'an yang artinya: "Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar. Serta berikanlah kepada diriku kekuasaan dari sisi engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS. al-Isra' ayat 80).
Ayat ini menjelaskan dan menegaskan bahwa untuk menegakkan agama butuh kekuasaan. Rasulullah SAW saja menyadari bahwa tidak ada kemampuan bagi beliau untuk menegakkan agama ini kecuali dengan adanya kekuasaan yaitu daulah Islam. Sehingga kita sebagai umatnya selayaknya juga mencontoh Rasulullah dalam hal kekuasaan ini. Dan bersungguh-sungguh memperjuangkan sebuah kekuasaan untuk menegakkan agama ini, sebagaimana kekuasaan yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada khulafa'ur rasyidin dan seterusnya yang disebut sebagai khil4f4h.
"...kemudian akan kembali khilafah (kekuasaan Islam) yang sesuai dengan metode kenabian..." (HR. Ahmad).
Oleh karena itu menjadi suatu kewajiban bagi umat untuk mengembalikan khil4f4h sebagai sebuah institusi Islam penjaga akidah, pemersatu umat dalam ikatan akidah, menjalankan syariat Islam secara kaffah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Dalam sejarah telah tercatat dan terbukti bahwa daulah islam telah memimpin dunia selama lebih kurang 14 abad lamanya. Menjadi negara superpower pertama yang mengayomi banyak suku, agama, dan bangsa.
0 Comments: