Headlines
Loading...
Benarkah Pemilu dalam Sistem Demokrasi, Berpotensi Menimbulkan Masalah?

Benarkah Pemilu dalam Sistem Demokrasi, Berpotensi Menimbulkan Masalah?

Oleh. Umi Hafizha

Sebentar lagi Indonesia akan menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) serta pimpinan legislatif dan pemilihan pimpinan daerah setempat.

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Wahiduddin Adams mengungkapkan kesiapan lembaganya dalam menyidangkan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Beliau menyebutkan akan ada ratusan pengawas yang membantu sembilan hakim MK. Di MK akan ada 400-600 orang yang akan membantu para hakim untuk menyelesaikan semua perkara beserta dengan bukti-bukti yang akan diserahkan para pihak. Inilah cara MK meningkatkan kualitas dan kecepatan menyelesaikan perkara dengan waktu terbatas yakni 30 hari untuk pemilu dan 45 hari untuk perkara pilkada (New.republika.co.id, 16/7/23).

Sementara ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmad Bagja mengungkapkan potensi permasalahan pada pemilu 2024 ada tiga aspek yakni dari penyelenggara, peserta pemilu, dan pemilih. Potensi permasalahan pertama ada pada penyelenggara pemilu, seperti pemutakhiran data pemilih, pengadaan dan distribusi logistik pemilu.

Permasalahan kedua, berasal dari aspek peserta pemilu, seperti maraknya politik uang.
Sedangkan potensi pemilihan ketiga adalah berasal dari aspek pemilih. Bagja merasakan bahwa pengalaman pemilu dan pemilihan tahun lalu masih banyak meninggalkan berbagai masalah. Seperti kesulitan pemilih dalam menggunakan hak pilih, ancaman dan gugatan terhadap kebebasan pemilih, penyebaran berita hoaks dan hate speech (Bawaslu.go.id, 13/7/23).

Potensi masalah dalam pemilu demokrasi makin nyata dengan adanya persiapan banyak orang oleh MK untuk membantu hakim menangani perkara pemilu. Menjelang digelarnya pemilu 2024 memang sudah dihadapkan berbagai persoalan. Sebagaimana diketahui untuk jadwal penyelenggaraan pemilu saja masih menjadi polemik ditengah masyarakat.

Suatu keniscayaan bahwa pemilu dalam demokrasi mengundang masalah diantara penyebabnya yaitu karena demokrasi berasaskan sekularisme yang mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan termasuk urusan politik dan karena politik demokrasi berbiaya mahal. Jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sejatinya lahir dari sekularisme yang meletakkan kedaulatan ditangan rakyat. Artinya yang berhak membuat aturan kehidupan selain peraturan agama adalah manusia yang dipilih melalui proses pemilu. 

Aturan yang dibuat oleh manusia inilah yang menyebabkan munculnya berbagai persoalan ditengah masyarakat. Sebab akal manusia yang serba terbatas telah menjadikan mereka terhalang dari mengetahui aturan terbaik bagi dirinya. Meskipun mereka mampu berfikir, namun hasil pemikiran tersebut tidak akan mampu mengakomodir kebutuhan setiap individu rakyat. Akan tetapi yang terakomodir hanya kepentingan segelintir orang yakni mereka yang duduk di kursi kekuasaan atau pemerintahan dan para pemilik modal yang memburu dukungan para penguasa sebelum dipilih. 

Maka tak heran, jika setelah berkuasa seringkali kita dipertontonkan dengan kebijakan penguasa yang abai terhadap kepentingan rakyatnya. Sistem demokrasi juga sarat dengan ongkos besar. Pemilu langsung sudah seperti industri dalam demokrasi. Pihak manapun yang memiliki modal besar sudah pasti memiliki peluang terbesar untuk memenangkan pesta demokrasi. Pemilu hanya dijadikan ajang adu kuat modal politik yang sumbernya berasal dari para cukong dan oligarki. Politik balas budi pun akan mewarnai kepemimpinan yang terpilih dan tentu saja praktik korupsi menjadi incaran untuk mengembalikan modal politik yang sudah dikeluarkan.

Akan tetapi, kondisi berbeda akan kita temukan dalam sistem Islam. Memang benar bahwa Islam membolehkan pemilu, sebab pemilu adalah salah satu cara untuk memilih pemimpin dalam pemerintahan Islam. Namun, pemilu yang berlangsung tegak diatas akidah Islam. Artinya segala praktik pemilu yang dijalankan harus memenuhi syarat yang ditetapkan Islam. Landasan akidah dalam politik Islam inilah yang akan menjaga pemilu berjalan dengan aman, tertib, dan jauh dari kecurangan.

Kebolehan pemilu dalam Islam disebabkan karena Asy-Syari yaitu Allah telah meletakkan kekuasaan sebuah negara bukan ditangan umat tetapi kedaulatan ditangan Asy-Syari' yakni Allah Swt. Artinya penguasa yang dipilih oleh rakyat hanya boleh menjalankan aturan dari Allah saja bukan aturan kesepakatan diantara para pejabat pemerintahan.

Sebagaimana dipahami bahwa kesempurnaan Allah sebagai pembuat hukum menjadikan hukum yang akan diterapkan dalam bangunan khil4f4h adalah hukum terbaik dan tak cacat. Islam juga telah menjadikan politik sebagai jalan untuk melayani kepentingan publik, sebab politik dalam Islam bermakna mengurusi urusan umat. Oleh karena itu, siapapun yang menjadi calon penguasanya maka ketika terpilih wajib melayani kepentingan umat bukan kepentingan segelintir orang.

Pemilu dalam Islam bukan ajang pertarungan modal politik, sebab biaya pemilu dalam Islam tidak mahal sebagaimana dalam sistem politik demokrasi. Islam menetapkan metode baku pengangkatan kepala negara adalah dengan bai'at syar'i. Sementara proses pemilihannya harus dilaksanakan maksimal 3 hari dengan pelaksanaan yang sederhana dan tanpa membutuhkan biaya kampanye yang fantastis. Apalagi pemilu dalam Islam dilaksanakan bila dipandang tepat dan dibutuhkan pada keadaan tertentu. Sebab masa jabatan dalam khil4f4h tidak ada periodesasi. Kepala negara hanya akan diganti ketika melanggar syariat atau berhalangan menegakkan syariat.

Demikianlah pemilihan penguasa yang berdasarkan pada Islam yang dilaksanakan dibawah institusi khil4f4h akan meminimalkan bahkan menafikan munculnya berbagai persoalan di tengah masyarakat. Wallahu'alam bishawab. [Rn]

Baca juga:

0 Comments: