Headlines
Loading...
Oleh: Atik Setyawati

Beda masa, beda zaman, beda pula budayanya. Dulu, setiap menghadiri jamuan undangan pernikahan atau sunatan, tamu sangat dimuliakan. Begitu tamu datang, akan ada pramusaji yang segera menghidangkan minuman dan beberapa camilan dalam piring. Pramusaji akan mempersilakan tamu untuk makan kue dengan tutur kata yang sopan. Tak berapa lama kemudian, pramusaji akan datang dengan membawa menu utama. Ada nasi, rendang, mie bihun, sambel kentang, orak-arik tempe, tumis buncis, dan kerupuk. Kembali, pramusaji akan mempersilakan untuk makan. Barulah kemudian tamu makan. Jika sudah selesai, tamu diperkenankan untuk membawa kue yang masih ada. Tradisi membungkus kue menggunakan kacu atau sapu tangan pun disertai dengan candaan. 

Saat ini, menghadiri pesta atau acara walimah, tamu undangan yang datang langsung dibimbing menuju meja prasmanan. Tamu akan diberi piring untuk mengambil makanan yang dikehendaki. Banyak sekali tersaji hidangan makanannya. Aneka rasa ada. Anehnya, hampir semua makanan pun diambil dan memenuhi piring. Padahal, tidak ada yang mengharuskan untuk mengambil semuanya. Mengapa prasmanan? Sebenarnya, maksudnya banyak jenis makanan tersaji supaya tamu bebas memilih menu yang disukai. Tetapi yang telanjur dipahami justru mengambil semuanya. Sayangnya, makanan yang sudah diambil tidak dimakan semua. Alih-alih dihabiskan, yang ada hanya sebagian yang masuk ke mulut. Mubazir kan, ya?

Cerita di atas sekadar gambaran budaya hidangan dan cara memuliakan tamu undangan. Lantas, bagaimana dengan beragama Islam? Apa hubungannya dengan prasmanan seperti yang diceritakan tadi?

Ya, tidak ada paksaan untuk masuk agama Islam. Masuk Islam dengan bersyahadat ataukah tidak masuk Islam adalah murni pilihan dan hak masing-masing individu. Tetapi, harus diingat, dipelajari, dan dipahami bahwa begitu lisan bersyahadat, menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, saat itulah aturan berlaku. Aturan apa? Aturan atau tuntutan masuk Islam secara kaffah, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah ayat 208 yang artinya: 
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu."

Setelah menyatakan keislaman, seseorang harus beriman dan menjalankan syariat Islam secara kaffah. Kaffah di sini berarti menyeluruh, bukan pilih-pilih syariat berdasarkan hawa nafsu. Tidak diperkenankan mengambil sebagian dan menolak sebagian. Hanya mengambil yang dinilai menguntungkan. Tidak begitu, ya! Berislam harus paripurna, bukan prasmanan. Alias, mengambil yang disukai saja. Tidak boleh, ya!

Begitu kita berislam maka totalitas dalam setiap ranah dimensi beragama. Apa saja dimensi itu? Pertama, dimensi yang mengatur hubungan antara mahluk dengan Sang Pencipta, yaitu berkaitan dengan akidah dan ibadah. Dimensi kedua adalah yang mengatur bagaimana manusia saling berinteraksi dengan sesamanya. Hal ini berkaitan dengan muamalah dan uqubat (persanksian). Setiap sendi kehidupan diatur dengan syariat. Tidak asal kehendak manusia. Sebab kita hadir di dunia ini atas kehendak Yang Maha Kuasa. Jadi, berkehidupan pun mengikuti aturan yang telah digariskan oleh-Nya. Berikutnya, dimensi ketiga adalah mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Ini berkaitan dengan makanan, pakaian, akhlak terhadap alam sekitar. Bagaimana mendapatkan makanan, apa saja yang halal dimakan, bagaimana memakai baju di tempat umum atau di tempat khusus, bagaimana berperilaku terhadap hewan, tumbuhan dan alam semesta. Semua ada aturannya. 

Ketiga dimensi itu diatur dalam Islam. Dan, setiap muslim harus menjalaninya sesuai syariat. Bagaimana jika tidak? Hanya ada dua pilihan berdasarkan ayat di atas. Yaitu, berislam secara kaffah ataukah mengikuti langkah-langkah setan.

Tentunya, sebagai insan yang memiliki akal, kita sebagai muslim akan memilih berislam secara kaffah, bukan mengikuti bagaimana setan melangkah. Setan itu musuh yang nyata bagi insan beriman. Jadi, bagaimana mengaku beriman jika masih menjadikan setan sebagai teman dan mengikuti ke mana setan berjalan?

Akhirnya, masihkah memilih dan memilah-milah lagi saat berislam? Ingat, Islam bukanlah prasmanan tetapi kaffah dalam penerapan. Maka, ambillah semuanya untuk bersama-sama menerapkan. Baik menerapkan secara individu, masyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Wallahua'lam bishshowab. [my]

Baca juga:

0 Comments: