
OPINI
Hipokrisi HAM dalam Isu Rasisme Prancis
Oleh. Selly Ummu Radit
Nahel, remaja laki-laki berusia 17 tahun tewas setelah mendapat tembakan dari seorang polisi pada selasa, (27/6) di daerah Nanterre, Paris. Menurut jaksa setempat, tindakan penembakan dilakukan karena remaja tersebut menolak untuk menepikan kendaraannya setelah ia tertangkap melanggar undang- undang lalu lintas (www.viva.co.id , 28 juni 2023).
Dalam sebuah wawancara dengan televisi BFM. Kepala Polisi Paris, Lurent Nunez mengakui bahwa tindakan penembakan yang dilakukan polisi tersebut menimbulkan pertanyaan, Nunez juga mengatakan kemungkinan petugas tersebut ada dalam keadaan merasa terancam. (news.detik.com, 30 juni 2023).
Insiden kematian remaja inipun sontak menimbulkan kerusuhan di Prancis, situasi ricuh yang kian membara semakin meluas hingga memaksa otoritas Prancis untuk mengerahkan puluhan ribu pasukan keamanan guna memblokade aksi-aksi protes yang terjadi selama empat hari berturut- turut. Sementara itu, ibu dari remaja korban penembakan meyakini rasialisme menjadi motif penembakan yang mengantarkan pada kematian putranya. “Petugas polisi itu melihat seorang Arab, seorang anak kecil,” dan “Ingin mengambil nyawanya” papar Mounia, dalam wawancara di saluran TV France 5 (jabar.antaranews.com, 30 juni 2023).
Peristiwa ini sejatinya semakin membuktikan keburukan HAM yang senatiasa diagung-agung kan oleh negara Barat. Atas nama kemanusiaan mereka merumuskan “Hak Asasi Manusia” agar semua manusia mendapatkan hak-hak kehidupan mereka. Namun dikarenakan peradaban Barat dibangun oleh sistem sekularisme yang meniadakan peran agama dari kehidupan. Maka prinsip-prinsip yang dibangun pun berasal dari akal manusia semata, dan dari sanalah rasialisme lahir. Karena sebagian manusia menganggap bahwa diri mereka lebih baik daripada manusia lain. Perasaan ini muncul karena adanya ikatan emosional.
Syeikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya Nidhamul Islam menjelaskan bahwa ikatan emosional biasanya terjadi pada masyarakat primitive, yang notabene memiliki taraf berfikir rendah, dan wawasan pemikiran yang sempit. Sehingga ketika dalam kondisi keluarganya atau ras nya memiliki kekuasaan maka mereka ingin memperluas kekuasaannya dan terus ingin memperluasnya. Tak ayal, perasaan seperti ini pun semakin tumbuh subur dalam sistem demokrasi kapitalisme. Karena hakikatnya sistem demokrasi ini meniscayakan manusia bisa membuat aturan.
Dalam sistem ini, manusia bisa bersepakat merumuskan sebuah aturan, lalu kemudian aturan itu dipakai untuk mengatur kehidupan mereka. Walhasil, rasisme akan tumbuh subur dan terus bermunculan.
Berbeda halnya dengan sistem sekularisme dan demokrasi, rasisme tidak akan kita jumpai keberadaannya dalam sistem Islam maupun dalam ajaran agama Islam.
Meskipun keberadaan Agama Islam diturunkan Allah di Arab, Allah Swt menegaskan melalui sabda Rasulullah Saw bahwa mereka (bangsa Arab) tidak memiliki kelebihan apapun dibanding orang Ajam (bangsa non-Arab) begitupun sebaliknya. Allah menegaskan semua manusia sama dihadapan Allah Swt yang membedakan kedudukan diantara mereka hanyalah ketakwaan saja. Sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an Q.S Al- Hujurat:13 yang artinya:
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kami di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.”
Dalam Hadist Riwayat Ahmad dan al- Bazzar
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu(yaitu Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab atas orang ajam (non-Arab) dan tidak pula orang ajam atas orang Arab. Begitu pula orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas yang berkulit hitam dan tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali atas dasar ketakwaan.”
Dalam hadist yang lain juga ditegaskan bahwa Rasulullah Saw bersabda “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian” (H.R Muslim, Sahih Muslim 12/427, No. Hdis 4651).
Karena itu kita akan mendapati di dalam sejarah negara Islam yang pernah berdiri hingga 1300 tahun lamanya terdapat berbagai suku, ras, bangsa, maupun perbedaan warna kulit akan tetapi mereka semua bisa hidup dalam kerukunan dan kesatuan. Salah satu buktinya adalah adanya seorang ulama besar yang hidup pada masa ke khalifahan bani Umayyah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah. Beliau adalah seorang budak berkulit hitam milik Habibah binti Maisarah bin Abu Hutsaim yang tinggal di Makkah.
Sang tuan melihat keberadaan potensi keilmuan Atha’ yang luar biasa, kemudian Habibah memerdekakan Atha’ agar Atha’ bisa memperdalam keilmuannya. Atha’ pun kemudian menjadi seorang ulama yang keilmuannya diakui oleh Kekhilafahan Bani Umayyah. Beliau diangkat menjadi seorang mufti (pemberi fatwa) untuk musim haji pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul Malik. Selain itu, beliau juga diangkat sebagai penasihat Khalifah.
Tidak berhenti sampai disitu, konsep toleransi dalam Islam juga mampu menyatukan berbagai agama dalam satu kepemimpinan negara di dalam sistem negara Islam. Allah Swt berfirman dalam Q.S Al- Kafirun ayat 6 “Untukmu agamamu, untukku agamaku”
di surah yang lain Allah pun menegaskan
“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama, Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (Q.S Al Baqarah: 256).
Dalam kitab Daulah Islamiyah karya Syeikh Taqiyuddin an Nabhani dijelaskan bahwa warga Daulah Khilafah terdiri dari Muslim dan non-Muslim. Dalam kehidupan publik mereka memperoleh hak yang sama dan pelayanan yang sama. Negara tidak boleh memaksa warganya yang non-muslim untuk masuk dalam agama Islam. Hal inilah yang dicontohkan khalifah Umar bin Khattab ketika ada seorang wanita tua beragama Nasrani, yang dibantu oleh khalifah dalam melunasi hutang- hutangnya.
Ketika itu khalifah Umar menyanyakan “Mengapa engkau tidak masuk Islam?” lalu wanita itu berkata “biarlah aku yang menjadi wanita terakhir dengan agama ini”. Sontak mendengar perkataan Wanita itu, khalifah Umar merasa bersalah. Padahal beliau hanya bertanya. Begitulah sistem dan aturan Islam yang dapat meniadakan rasisme sehingga terwujud kesatuan dan persatuan diantara warga negara. Wallahualam bishawab.
Baca juga:

0 Comments: