Home
›
surat pembaca

surat pembaca
Kelangkaan Minyak Goreng, Bukti Tata Kelola Buruk
Oleh. Dea Ariska
Melambungnya harga minyak goreng seakan ditunggu sebagai momen puncak penetapan tersangka kasus korupsi yang terhitung sudah setahun lalu. Lima orang di bawah naungan tiga perusahaan kelapa sawit akhirnya ditetapkan sebagai tersangkanya. Pejabat negara pun diketahui terlibat dalam kasus ini, sehingga tak heran jika penyidikan membutuhkan waktu yang lama. Padahal kasus kelangkaan minyak goreng sudah sering terjadi dan terus saja berulang. Bukankah jika begitu pemerintah dapat membaca dengan mudah pola dan penyebabnya, sehingga kasus yang sama tak mudah terulang.
Menurut Kejagung, penetapan status tersangka tidak lepas dari kebijakan Kemendag menetapkan DMO dan DPO (Domestic Price Obligation) bagi perusahaan yang ingin melaksanakan ekspor CPO dan produk turunannya. Namun dalam pelaksanaannya perusahaan eksportir tidak memenuhi DPO dan tetap mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah (cnbcindonesia.com, 16/06/2023).
Seharusnya hasil perkebunan kelapa sawit dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Saat kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, barulah negara dapat ekspor minyak goreng ke luar negeri. Pada era kapitalisme yang berorientasi pada materi ini, mental korupsi seolah dengan mudahnya terbentuk dan bukan menjadi hal yang patut disalahkan. Saat muncul peluang untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, amanah yang telah dipegang lantas diletakkan begitu saja dan aturan pun dilanggar.
Kebutuhan minyak goreng dalam negeri belum terpenuhi, namun sudah terburu ekspor ke luar negeri. Belum lagi kasus serupa tentang pembabatan hutan untuk lahan sawit semakin menunjukkan keserakahan oligarki.
Menko Marves sekaligus Ketua Pengarah Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan memutihkan sebanyak 3,3 juta hektare (ha) lahan sawit yang berada di kawasan hutan (JawaPos.com, 26/06/2023).
Pembabatan kawasan hutan yang secara ilegal digunakan sebagai perkebunan sawit dengan total luas yang disebut 45 kali luas negara Singapura ini dilegalkan berdasarkan pada UU Cipta Kerja. Padahal pada September 2022 telah ada peraturan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menegaskan bahwa tidak diperbolehkan lagi ada pemutihan sawit dalam kawasan hutan. Jika sawit yang ditanam tidak pada tempatnya dengan mudah dilegalkan, namun pemukiman warga diatas tanah negara dengan mudahnya digusur, maka sudah sepatutnya rakyat bertanya-tanya siapa pemilik lahan sawit tersebut.
Lagi-lagi kekuasaan dan uang mengambil peran dalam kepentingan pribadi bahkan korporasi yang berambisi memperkaya diri sendiri melalui jalan yang salah. Satu lagi bukti bahwa kebijakan dengan mudahnya dibeli tanpa mengingat kembali bahwa ada amanah di pundak yang seharusnya dijalankan dengan kepercayaan yang telah rakyat limpahkan pada mereka pemegang kekuasaan.
Setiap bidang menjadi lahan subur praktek korupsi yang dilakukan oleh pengurusnya sendiri. Dapat dibilang mereka bagaikan zombi yang bukan hanya tak punya akal namun juga tak lagi punya hati, hanya demi memenuhi perut sendiri.
Islam memiliki hukum yang jelas dan tuntas dalam menyelesaikan persoalan. Dengan fikrah dan tarekat Islam, proses hukum juga berjalan dengan lancar dan sistematis. Sanksi untuk pelaku kejahatan yang memang harus dibayarkan di dunia bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan serta memberi efek jera. Tidak ada kesempatan mengajukan banding terhadap hukum yang telah ditetapkan sehingga hukum tidak dengan mudahnya dilobi. Dengan begitu kasus korupsi dapat diberantas dan tidak akan lagi terjadi secara berulang.
Pengelolaan Sumber Daya Alam termasuk dalam hal ini kelapa sawit sebagai bahan pembuatan minyak goreng yang merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat, seharusnya dikelola oleh negara sepenuhnya dan diberikan hasilnya kepada rakyat dengan sebaik-baiknya tanpa diprivatisasi.
Wallahu’alam
Baca juga:

0 Comments: