OPINI
Korupsi Dana Desa, Apakah Soal Integritas Semata?
Oleh. Dwi Moga
Korupsi sudah merambah desa? Rasanya masih belum percaya. Bagaimana bisa? Kalau dalam bayangan kita, masyarakat desa adalah masyarakat yang masih kental dengan kebersamaan, gotong-royong, ramah, jujur dan banyak hal baik lainnya. Akan tetapi, beberapa waktu lalu kasus korupsi dana desa pun terkuak.
Akiani, seorang Kepala Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten, kini menjadi tersangka korupsi dana desa dengan total kerugian negara mencapai Rp 988 juta, (tirto.id, 30/06/2023). Dana desa yang seyogyanya digunakan untuk kegiatan infrastruktur pembangunan di Desa Lontar malah dihamburkan untuk kepentingan pribadinya, seperti pesta di tempat hiburan malam hingga memiliki empat orang istri.
Sementara itu di sisi lain, ada wacana revisi Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang akan berpengaruh pada periode masa jabatan kepala desa yang awalnya satu periode hanya enam tahun, berubah menjadi sembilan tahun. Dan selanjutnya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan yang sama. Hal ini tentunya akan meningkatkan potensi terbentuknya politik dinasti, yang mana petahana memiliki kesempatan lebih lama dalam membangun reputasi dan mengumpulkan sumber daya pada putaran pemilihan selanjutnya, (rejogja.republika.co.id, 1/07/2023).
Lalu mengapa korupsi dana desa itu bisa terjadi? Apakah hanya soal integritas semata? Jika hanya sebatas integritas maka tak mungkin terjadi banyak kasus. Kasus di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus yang terjadi. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 155 kasus korupsi yang terjadi di sektor desa dengan 252 tersangka sepanjang tahun 2022. Angkanya pun meningkat satu kasus dibandingkan tahun 2021, sebanyak 154 kasus korupsi di sektor desa, (dataindonesia.id, 20/03/2023).
Sesuatu yang Tersistem
Ketika sesuatu sudah merajalela maka dipastikan sebabnya adalah karena sesuatu itu sudah terpola atau tersistem sehingga menjadi hal yang biasa. Apalagi kita sedang hidup di tengah kehidupan kapitalisme, di mana tolak ukur kebahagiaan adalah banyaknya manfaat yang didapat hingga tak pedulikan halal dan haramnya. Korupsi banyak dilakukan karena sudah jadi hal yang biasa. Apalagi untuk mendapatkan kekuasaan (jabatan) perlu biaya besar di era demokrasi ini. Akhirnya korupsi dijadikan jalan untuk mendapatkan kembali harta yang sudah dikeluarkan sebelum berkuasa.
Islam Solusi Pencegahan Korupsi
Di era kapitalis sekuler saat ini, korupsi layaknya lingkaran setan yang tak ada habisnya. Meski berbagai upaya pencegahan korupsi telah dilakukan namun rasanya tak cukup untuk memberantas hingga akarnya. Tapi tidak dengan Islam, tak hanya sebagai agama namun juga ideologi, Islam memiliki aturan untuk mencegah korupsi. Diantaranya yaitu dengan menumbuhkan rasa takut karena merasa selalu diawasi oleh Sang Pencipta, sudah cukup sebagai pencegah termanjur bagi tindak korupsi. Ditambah lagi adanya pemahaman bahwa setiap diri akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak. Hal tersebut jelas diperintahkan, seperti disebutkan dalam QS. Al-Qiyamah : 36. Allah SWT berfirman
اَÙŠَØْسَبُ الْاِÙ†ْسَانُ اَÙ†ْ ÙŠُّتْرَÙƒَ سُدًÙ‰ۗ
“Apakah manusia mengira Dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?"
Sebuah jabatan adalah amanah yang harus dilakukan dengan baik. Termasuk pengelolaan dana desa merupakan bagian dari amanah. Tidak terlaksananya amanah dengan baik berarti telah melakukan dosa. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Anfal ayat 27 yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."
Melakukan korupsi berarti melakukan dosa. Seorang Muslim pasti akan berusaha agar tidak melakukan dosa dalam setiap aktivitasnya. Jika dosa dilakukan maka harus bertanggungjawab. Pertanggungjawaban bagi orang yang melakukan korupsi adalah dengan bertobat dan mengganti uang yang dikorupsinya. Namun hal ini tentunya harus didukung dengan peran masyarakat serta Negara yang berasaskan syariat Islam. Dengan pembiasaan amar makruf nahi mungkar, masyarakat berfungsi sebagai pengawas diterapkannya syariat. Sedangkan negara, mewujudkan sistem sanksi Islam yang memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan, termasuk koruptor. Saat seluruh hukum yang digunakan adalah hukum Allah, maka mustahil ada celah untuk mempermainkannya. Wallahu'alam bishawab. [Rn]
0 Comments: