
Story Telling
Kurban di Saat Resesi
Oleh. Mak Ayu
Tahun 2023 ini resesi gobal melanda dunia, tak terkecuali Indonesia juga terkena dampaknya. Padahal ibadah Haji dan Kurban jatuh di bulan Juni 2023 ini. Seruan dan panggilan dua ibadah itu begitu menggetarkan hati, ingin- ingin- ingin sekali memenuhi dua-duanya, namun semua ini baru di batas harapan.
Ketika ada yang bertanya apa keinginanmu yang berlum terpenuhi dan ingin terpenuhi? Kujawab dalam hati, “Haji! Ingin sekali menemui Allah di sana meski hanya sekali.” Tergambar diriku sedang berjalan mengelilingi Ka’bah bersama suami, sambil melantunkan kalimat, “Labbaik Allahumma labbaik, labbaik laa syarika laka labbaik, inna hamda wa nikmata laka wal mulk laa syarika kal.”
Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah
Tidak ada sekutu bagi-Mu, Aku datang memenuhi panggilan-Mu
Sesungguhnya segala puji dan nikmat dan kekuasaan adalah Milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu
Ya Allah semoga Engkau meng-ijabahi-nya. Aamiin. Meski harapan berkunjung ke Baitullah belum bisa terwujud, aku dan suami selalu berupaya tidak kehilangan momen untuk berkurban sebagai ganti belum bisa ke Baitullah.
Alhamdulillah ... setiap tahun Allah berikan rezeki yang cukup untuk bisa menunaikan ibadah sunah kurban. Bahkan ada 3 tahun berturut bisa bergabung dengan rekan pengajian ideologis untuk bisa menyembelih satu sapi dan bisa dibagikan ke tempat-tmpat yang minim dan tidak ada sebaran daging kurban sama sekali. Saat pandemi corona kemarin masih bisa berbagi, namun kali ini berat, tak bisa lagi aku mengkoordinir penyelenggaraan sembilih satu sapi kurban. Sedih pastinya, karena wajah-wajah yang biasanya menanti pembagian tidak lagi bisa menerima.
Tapi bagaimana lagi??? Kondisi ekonomi saat resesi juga melanda tim kurban kami, bisa bertahan untuk makan keluarga saja sudah alhamdulillah. Semua merasakan kesedihan yang sama, apalagi saya yang menjadi koordinatornya.
Dari awal saya sudah melihat tahun ini mungkin tidak bisa kurban sapi lagi, ada yang dua kali panen kolaps atau merugi, ada yang sedang sakit dan butuh biaya untuk operasi, ada yang baru keluarkan uang besar untuk menikah, ada juga yang sedang bangun rumah untuk tempat tinggal. Sehingga aku tak berani membuka grup kurban, menunggu ada yang menghubungi.
Saat berbelanja ayam, bertemulah dengan satu ibu tim kurban.
“Bu, pripun kurban sapinipun?” Aku terkesiap dengan pertanyaan salah satu tim kecil kami. Aku pun menghela napas panjang, tidak tahu harus menjawab apa. Tapi juga tidak mungkin tidak kujawab, menginggat waktu kurban tinggal satu bulan. Sudah dekat. Biasanya H-30 adalah waktu keliling survey sapi yang akan dijadikan kurnban, karena mencari sapi kurban yang memenuhi syarat, sehat dan gemuk harus dilihat secara langsung, tidak bisa hanya sekedar dari foto atau video.
“Saya tanya teman-teman dulu ya ...,” jawabku.
“Njih ....”
Begitu sampai di rumah, langsung WA ke beberapa ibu-ibu tim. Seperti yang kuduga, yang biasa ikut kurban sudah mundur tiga orang, hanya ada dua orang yang siap maju. Berat terlalu berat untuk menganggkat 1 sapi untuk kurban. Aku tak berani lanjut menginggat kondisi keuanganku pun juga sedang minim, banyak kebutuhan tak terduga yang harus dikeluarkan dan masih mempertanyakan diri, ikut atau tidak?!
Dengan berat hati akhirnya saya putuskan, tahun ini belum bisa kurban sapi bersama. “Silakan gabung dengan lingkungan masing-masing.” Ya Allah terbayang lagi wajah ibu-ibu yang berharap pada sebaran daging dari kami. Tidak banyak, hanya setengah kilogram per keluarga. Karena kurban bersama kami itu ada untuk mengisi tempat-tempat yang tidak ada dan minim daging kurban.
Ada kisah-kisah pilu yang membuat kami menangis, semisal : ada seorang ibu yang menunggu hantaran daging seharian agar bisa meraakan daging meski hanya 1 x dalam setahun. Ada juga seorang nenek yang sudah bikin bumbu karena berharap ada daging kurban untuk dimasak menginggat lingkungannya menyembelih sapi, tapi faktanya secuil pun tidak mampir ke rumahnya. Ada anak yang mempertanyakan masakan daging ke ibunya. Curhatan-curhatan dari lingkungan tim kami membuatku juga susah menelan masakan kurban juga.
Lemaslah badanku. Daging kurban banyak, di mana-mana ada, tapi sebarannya tidak merata. Di kota 1 keluarga bisa dapat 1 kg kadang doble, di pinggiran kota bisa dapat setengah, di desa bisa seperempat.
Dan yang luput dari sebaran itu ternyata juga masih banyak, di pelosok-pelosok wilayah, ternyata ada yang belum bisa merasakan daging kurban. Dan ini fakta.
Itulah kenapa aku bersedih tidak bisa menyelenggarakan sendiri sembelih sapi, kami tidak bisa lagi mengisi tempat-tempat yang tidak ada daging kurban. Meski tidak bisa menjangkau banyak orang, minimal senyum sebagian mereka dapat membahagiakan kami.
Aku berharap hanya di tahun 2023 tahun 1444 H ini saja kami tidak berkontribusi. Mudahkanlah rezekiku dan teman-teman tim agar tahun berikutnya bisa menargetkan satu sapi untuk wilayah-wilayah yang minim. Dan mudahkanlah rezeki orang-orang di luar tim kami agar tahun berikutnya kembali ikut bergabung dengan kami.
Baca juga:

0 Comments: