motivasi
Menulis, Pembuka Jalan Menuju SSCQ
Oleh. Agustia
Sedari belia, aku mempunyai kegemaran menulis. Namun, untuk menulis kembali setelah sekian lama tidak melatih jari-jemari ini, ternyata bukan hal yang mudah.
Kini, setelah menikmati kehidupan panjang hingga usia 56 tahun, aku perlu banyak latihan lagi. Menyadari hal itu, aku berusaha mencari ilmu di berbagai tempat, entah itu di media sosial, di tempat kursus maupun di perpustakaan.
Meski aku sempat beberapa kali mengikuti pelatihan menulis berbayar di media sosial, tapi aku tak berhasil. Aku “mati” sendiri, tekor sendiri, ilmu pun malah terasa asih terasa jauh dariku.
Usahaku untuk mencari ilmu berakhir juga di perpustakaan karena saat itu belum banyak informasi yang kudapat untuk mendapatkan tempat belajar yang memadai. Tak mengapa, toh aku punya kesenangan untuk menyendiri guna menyusun strategi dan rencana masa depan.
Kadang aku tergelak sendiri jika menyebut kata terakhir tadi, “rencana masa depan”. Karena ini biang masalahnya. Disebabkan hal ini aku jadi suka mencorat-coret kertas dan berkhayal, "Ah, seandainya aku jadi ....*
.
Memang benarlah kata orang bijak, buku adalah gudang ilmu, jendela dunia. Coretanku, khayalanku menjadi terarah berkat buku-buku yang kubaca.
Suatu waktu, aku merasa beruntung, mendapatkan hidayah untuk berhijrah. Bahagia mendapat kebaikan, bersyukur menjadi yang terpilih, hingga timbul keinginan untuk berbagi dengan yang lain. Tak suka bicara banyak, tak mampu berbahasa yang tertata, tak menjadikan aku putus asa. Allah Swt. sangat mengerti kebutuhan hamba-Nya. Allah Swt. memberikan kemampuan lain. Menulis.
Kucoba menjajaki kemampuanku. Menulis untuk diri sendiri, seperti dulu ketika belajar menulis, terbiasa dengan menulis surat untuk kakakku yang pergi merantau. Kebiasaan yang kemudian membentuk karakter cara menulis yang khas “aku”. Kebiasaan menulis yang membawa berkah bagiku, hingga aku menjadi kontributor majalah sekolah.
Jujur, selama ini aku hanya mengandalkan satu ilmu menulis yang aku punya, menulis fiksi. Atau lebih tepatnya kebiasaan, bukan ilmu. Karena aku tidak pernah memahami bagaimana cara menulis dengan baik. Tapi semuanya mengalir begitu saja, sebagaimana orang bercerita, itulah yang aku tulis. Mungkin waktu itu banyak yang membutuhkan cerita versi “aku”.
“Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar manusia dengan pena.” QS: Al-Alaq: 3-4.
Tuhan telah mengajarkan manusia menulis dengan perantaraan pena dan alat tulis lain. Kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya dengan memberi pengetahuan, atas hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui. Dengan kemampuan menggunakan alat tulis itu, manusia dapat menuliskan temuannya hingga dapat dibaca oleh orang lain. Besarnya manfaat menulis tidak dapat diperoleh kecuali jika menuliskannya. Sementara tulisan berguna untuk mengikat ilmu dan menyebarkannya ke orang lain supaya berkembang.
Yang pasti Al-Qur'an tidak akan sampai ke tangan kita jika tidak ditulis dan agama tidak akan tegak jika tidak ada aturan-aturan yang mengaturnya, yang notabene semua itu harus ada yang tulisan.
Al Qur'an sebagai salah satu bukti pentingnya menulis untuk mengikat ilmu, merupakan pedoman hidup yang harus dipelajari, dipahami. Kebiasaan tilawah Qur’an yang kulakukan sedari dulu, menjadi hal terbaik yang aku nikmati. Bersabar mempelajari ayat demi ayat, hingga dapat memahaminya dengan baik, merupakan ujian tersendiri yang aku rasakan. Banyak hal yang membuatku tersadar dengan meneteskan air mata penyesalan terhadap pandanganku selama ini tentang kewajiban sebagai seorang muslimah. Ketaatan tidak menunggu nanti jika tua, kewajiban tidak menunggu tertunaikannya hak. Pasalnya kita tidak pernah tahu kapan Allah Swt. memanggil kita pulang. Kita tidak pernah tahu dengan cara, bagaimana, sedang berbuat apa dan dalam kondisi baik atau tidak, ketika berpulang. Ya, Rabb, betapa aku lalai, betapa aku gagal.
Menyadari pentingnya menjalankan syariat sesuai apa yang diyakini, membuatku berpikir, bahwa Islam harus disampaikan, harus didakwahkan. Rasulullah saw. sendiri bersabda, ” Sampaikanlah dariku walau satu ayat.”
Kini aku harus berpikir bagaimana caranya agar aku dapat mengambil peran terhadap perintah amar makruf nahi mungkar.
Walau bagaimanapun Al Qur’an harus dipraktekkan dalam kehidupan karena ia merupakan pijakan yang benar yang akan menuntun kita menuju surga-Nya.
Sembari melatih jari jemariku agar tetap mampu “bicara” , aku membiasakan diri menulis status di laman FB-ku. Meski sebagian orang mencibir kebiasaan menulis status di FB, namun aku berusaha “cuek bebek” karena aku merasakan manfaat yang baik untuk meningkatkan kemampuan menulisku. Hingga suatu hari aku menemukan tulisan Bunda Lilik S. Yani yang mengundang masyarakat untuk mengetahui seluk-beluk komunitas SSCQ. Dari kata pembuka dapat kutebak jika komunitas SSCQ merupakan komunitas yang baik dan bergerak di bidang dakwah. Komunitas seperti inilah yang aku cari, yang kuyakini dapat membimbingku menjadi penulis, terutama menulis untuk kepentingan dakwah.
Serta-merta aku pacu jemariku menghubungi Bunda Lilik S.Yani dengan SSCQ-nya. Tak lama aku mendapat sambutan baik. Alhamdulillah. Langkah awalku memberi motivasi sendiri bagi diriku.
Oleh karena itu dakwah Islam dimulai dengan motivasi membaca dan menulis. Dengan demikian dakwah diharapkan akan mencapai seluruh masyarakat, karena dengan tulisan mampu menembus ratusan bahkan jutaan kepala, yang diharapkan dapat menyadarkan umat akan pentingnya menjalankan perintah Allah Swt. Dengan tulisan akan mampu menumbuhkan motivasi masyarakat, karena dibaca berulang-ulang, karena kondisi masing-masing individu berbeda-beda, ada yang kuat mental dan imannya. Ada pula yang lemah. Jadi, dakwah dengan tulisan selain dapat menjangkau di semua tempat, juga dapat dimanfaatkan secara berulang kapan kita membutuhkannya, kapan kita ingin membacanya.
Aku tidak tahu sampai kapan aku dapat menulis, namun aku ingin tetap menulis. Mudah-mudahan aku istikamah, tetap berada di barisan dakwah ini bersama SSCQ, hingga aku dipanggil pulang. [my]
0 Comments: