Headlines
Loading...
Oleh. Lisnawati, S.Pd. (Pemerhati Masalah Sosial dan Remaja)

Pemuda adalah harapan. Pemuda adalah agen perubahan, yang dipundaknya dibebankan segala tanggung jawab masa depan. Begitulah selama ini pemuda dikenal. 

“Hindari permusuhan, semangat persatuan mari bersama menuju masa depan.”

Demikianlah sepenggal lirik nasyid yang dipopulerkan oleh Ansyada dengan judul "Bangkitlah Generasi Muda", dalam nasyid tersebut memberikan motivasi kepada para pemuda atau remaja agar mereka menjadi pemuda yang produktif dan menjadi pejuang. Namun sayangnya hal itu berbanding terbalik dengan kondisi remaja saat ini, hal ini karena pemuda saat ini justru seolah terbelit kerumitan hidup, pergaulan bebas, dan jauh dari Rabb-Nya.

Tak henti-hentinya kita dikagetkan dengan berita perbuatan tercela pemuda, yang notabenya senantiasa dianggap sebagai tonggak perubahan. Belum lama ini ada seorang remaja 15 tahun di Ponorogo, Jawa Timur, yang ditetapkan sebagai tersangka usai menyebarkan video porno. Pihak Satreskrim Polres Ponorogo terpaksa menjemput paksa pelaku, dikarenakan pelaku dua kali tidak memenuhi panggilan polisi (tribunnews.com, 23/06/2023).

Kasat Reskrim Polres Ponorogo AKP Nikolas Bagas Yudhi Kurnia menjelaskan, aksi yang dilakukan tersangka tersebut dikarenakan pelaku merasa kecewa dengan sang pacar.  Sang mantan kekasih diketahui menjalin asmara dengan pria lain (koranmemo.com, 23/06/2023).

Sungguh ironi, kondisi remaja saat ini semakin mengerikan, jangankan menjadi pejuang Islam, sekedar berpikir untuk masa depannya saja tidak bisa. Adapun kerusakan remaja yang terjadi saat ini tidak bisa lepas dari kerusakan sistem liberalisme sekuler yang diterapkan oleh negeri ini, yang mana pengaruhnya sangat luar biasa baik bagi diri remaja keluarga dan masyarakat. 

Pola kehidupan hedonis memaksa para remaja untuk tunduk dan patuh terhadap nilai-nilai sekulerisme, yang mengedepankan materi sebagai tujuan utamanya dan menjerumuskan remaja untuk tidak menjaga kehormatannya. Pemikiran barat dilumrahkan di tengah kehidupan remaja sehingga menjadikan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan hukum syarak dianggap biasa. 

Sedangkan keluarga sebagai benteng terakhir pun saat ini mandul, banyak sekali orang tua yang tidak paham akan tujuan mereka membangun rumah tangga serta bagaimana mendidik anak yang saleh. Masyarakat pun demikian, menjadi masyarakat yang sakit, masyarakat yang individualis yang memperparah hingga terlepas kontrol masyarakat. 

Remaja merupakan generasi penerus bagi generasi sebelumnya, karena itu ada ungkapan dalam Bahasa Arab “Syubbanul yaumi rijalul ghodi (pemuda hari ini adalah tokoh pada masa yang akan datang)”, karena itu Islam memberikan perhatian yang besar kepada mereka, bahkan sejak dini.

Di masa lalu, banyak pemuda hebat karena sistem hebat yang membentuk mereka. Kita mengenalnya dengan sebutan “Sistem Islam”. Nabi saw. bersabda: “Ajarkanlah kepada anak-anakmu salat ketika mereka berusia tujuh tahun”. Hadis ini tidak hanya memerintahkan dalam perkara salat saja akan tetapi juga mencakup hukum syarak yang lain, karena salat merupakan perkara yang menonjol sehingga hukum inilah yang disebutkan. Selain itu titah ini tidak berarti anak-anak kaum muslim baru diajari salat dan hukum syarak yang lain ketika berusia tujuh tahun. 

Di masa lalu keluarga kaum muslim menjadi madrasah pertama bagi putra putrinya, sejak sebelum lahir dan saat balita orang tuanya membiasakan putra-putrinya yang masih kecil untuk menghafal Al-Qur’an dengan cara mendengarkan bacaannya. Rutinitas ini membuat mereka biasa menghafal Al-Quran sebelum usia enam atau tujuh tahun. Di usia emas seperti ini anak-anak bisa dibentuk seperti apa pun tergantung orang tuanya. Setelah mereka bisa menghafal Al-Qur’an di usia enam atau tujuh tahun, mereka pun mulai menghafal kitab-kitab hadis. 

Saat usia 10 tahun mereka pun bisa menguasai Al-Qur’an, hadis juga kitab-kitab berbahasa Arab yang berat sekelas “Alfiyah” Ibnu Malik. Karena itu di era Islam bermunculanlah pemuda yang mampu memberikan fatwa seperti Iyash bin Muawiyah dan Muhammad bin Idris Assyafi’i, mereka sudah memberikan fatwa saat usianya belum genap 15 tahun. Selain penguasaan pengetahuan yang luar biasa mereka juga dibiasakan oleh orang tua mereka untuk mengerjakan salat, puasa, zakat, infak, dan jihad.

Sungguh sangat disayangkan, remaja-remaja potensial seperti Iyash bin Muawiyah dan Imam Syafii sangat sulit kita dapatkan di masa kini, di mana sistem kapitalisme masih menjadi pijakan yang mengatur kehidupan. Remaja-remaja berprestasi dan memiliki potensi cemerlang akan bisa terwujud jika dididik dengan suasana keimanan yang kuat dan berada dalam naungan sistem Islam yang diterapkan dalam seluruh kehidupan, begitulah tinta sejarah mencatatnya. 

Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: