surat pembaca
Ramai Dosen Demo Tuntut Gaji, Bukti Bobroknya Ekonomi Kapitalisme
Oleh. Choirunnisa'
Di negeri ini, kualitas pendidikan masih saja dipertanyakan. Ada banyak masalah yang melingkupinya aspek yang seharusnya mendapatkan perhatian besar pemerintah ini. Salah satunya adalah mengenai gaji dosen yang diberikan selama ini.
Tuntunan Gaji Dosen
Sejumlah ratusan dosen, tendik, serta karyawan Universitas Islam Lamongan (Unisla) di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur melakukan demo unjuk rasa untuk menuntut dibukanya akses rekening yayasan oleh pihak bank di Lamongan. Hal ini dikarenakan gaji para dosen dan karyawan sudah dua bulan ini belum dibayar.
Sebelumnya telah terjadi pemblokiran rekening yang menyebabkan mereka tidak menerima gaji selama dua bulan dari Yayasan Pembina Perguruan Tinggi Islam (YPPTI) Sunan Giri Lamongan yang menaungi Unisla.
Demonstrasi ini diawali longmarch dari kampus Unisla menuju ke Kantor bank BUMN Lamongan. Demonstran sebelumnya telah membawa pengeras suara serta spanduk yang berisikan beberapa tuntutan atas gaji yang belum dibayar (http://beritajatim.com/19/06/2023).
Kasus semacam ini sudah bukanlah hal baru di dunia pendidikan. Pasalnya banyak sekali tuntutan guru maupun dosen terkait gaji yang diberikan. Mulai dari gaji yang kurang layak, telat pencair gaji dan sebagainya. Tentu hal ini sangat memprihatinkan. Seharusnya para guru dan dosen mendapatkan upah yang layak dan dimuliakan karena telah mengajarkan ilmu dan membantu mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Namun nyatanya upaya mereka kurang dihargai pemerintah yang justru tidak memperhatikan terkait hal ini. Ditambah lagi, guru atau dosen honorer diberi gaji rendah seakan-akan honorer tiada artinya. Serta gempuran biaya pendidikan yang besar justru membuat kesenjangan sosial pada saat ini.
Penyebab Persoalan Gaji
Bila ditelisik lebih mendalam, penyebab banyaknya masalah gaji yang belum terbayar dari aspek pendidikan disebabkan karena lalainya upaya pemerintah dalam mensejahterakan para guru maupun dosen. Pendidikan sekuler hanya memandang pendidikan adalah ladang bisnis yang menguntungkan pemilik modal. Tidak memperhatikan para guru, dosen maupun tendik apakah sudah sejahtera atau tidak. Guru dan selainnya hanya dianggap sebagai pekerja pada umumnya tanpa melihat fungsi sentral yang mereka miliki dalam mendidik generasi.
Mindset ekonomi kapitalistik di era kehidupan sekuler saat ini berhasil membuat para pemilik modal kaya raya, namun kebalikannya para guru, dosen, dan tendik justru yang miskin karena digaji rendah dan telat pencairan gaji.
Jika kita melihat masa kejayaan Islam terdahulu, justru profesi guru maupun dosen sangat dihargai dan dimuliakan dalam Islam. Para pengajar diberi gaji yang sangat layak dengan mekanisme sesuai dengan syariat Islam. Tidak ada lagi upah yang dibayar telat, karena justru merupakan tindak kedzoliman ketika upah pendidik telat dibayar.
Sebagai contoh adalah pemberian gaji guru di masa Khalifah Umar bin Khatab di mana gaji guru dalam per bulannya mencapai 15 Dinar. Coba saja dikurskan dengan nominal mata uang sekarang. Tentu saja akan sangat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gaji guru yang diberikan saat ini.
Selain itu, terdapat penghargaan yang amat besar kepada guru atau dosen sebagai ahli ilmu. Islam mensyariatkan adanya penghargaan yang mendalam pada ahli ilmu sehingga negara pun mengakomodir ini. Yaitu dengan memberikan rewards dan juga penghargaan lain misalnya moral kepada mereka. Tidak seperti saat ini di mana guru banyak direndahkan dan diposisikan sebagai pegawai perusahaan yang harus tunduk patuh pada atasan mereka.
Oleh karena itu, ketika kita ingin menemukan solusi dari permasalahan gaji ini, maka harus melihat betapa Islam menjunjung tinggi profesi tersebut. Solusi Islam adalah satu-satunya solusi pendidikan dan tidak hanya itu saja. Mulai dari ekonomi, sosial dan lainnya diatur dalam Islam. Sistem Islamlah yang dapat menolong para guru maupun dosen untuk mendapatkan kesejahteraannya. Maka, marilah kita mendakwahkan ajaran Islam kaffah yang akan diterapkan dalam naungan negara. Wallahua'lam bissawab.
0 Comments: