
OPINI
Rasisme Berujung Kerusuhan, Bukti Kapitalisme Tak Mampu Wujudkan Kerukunan dan Kesatuan
Oleh. Ummu Faiha Hasna
Prancis telah diguncang gelombang protes setelah seorang pemuda berusia 17 tahun bernama Nahel yang merupakan keturunan AlJazair ditembak mati oleh polisi di dekat Paris pada Selasa, 27/6 2023 di daerah pinggiran Paris, Nanterre setelah dia melanggar UU lalu lintas dan menolak menepi menurut jaksa Nanterre Pascal Prache. Tindakan polisi tersebut menimbulkan pertanyaan meski kepala polisi mengatakan ada kemungkinan petugas tersebut merasa terancam. Kematian seorang remaja ini pun menimbulkan kerusuhan di Prancis. Ricuh yang membara. Semakin meluas hingga Otoritas Prancis menyerahkan puluhan ribu pasukan keamanan untuk mengatasi aksi-aksi protes yang terjadi selama empat hari berturut-turut itu. Mampukah kapitalisme wujudkan kerukunan dan kesatuan diantara warga negaranya?
Dikutip dari jabar.antaranews.com, Jumat, 30/6/2023, dalam wawancara yang disiarkan pada saluran TV France 5, ibu Nahel, Mounia, mengatakan bahwa motif pembunuhan tersebut adalah rasisme. Petugas polisi itu "melihat wajah seorang Arab, seorang anak kecil", dan "ingin mengambil nyawanya".
Peristiwa ini sejatinya membuktikan keburukan HAM yang digadang-gadang oleh Negara Barat. Atas nama kemanusiaan, mereka merumuskan HAM agar semua manusia mendapatkan hak-hak kehidupan mereka. Akan tetapi, karena peradaban Barat dibangun oleh sekularisme yang meniadakan agama dari kehidupan, maka prinsip-prinsip yang dibangun berasal dari akal manusia. Karena itulah rasisme lahir. Karena sebagian manusia menganggap bahwa diri mereka lebih baik dari pada manusia lain. Perasaan ini muncul karena adanya ikatan emosional.
Ikatan emosional biasanya terjadi pada masyarakat primitif. Dimana taraf berpikirnya rendah dan wawasan pemikirannya sempit. Sehingga ketika ras atau keluarganya memiliki kekuasaan, maka mereka ingin memperluas kekuasaannya dan terus ingin memperluasnya. Perasaan seperti ini pun semakin bertambah subur di dalam sistem rusak demokrasi kapitalisme. Sebab, sistem demokrasi meniscayakan manusia bisa membuat aturan dan mereka pakai untuk mengatur kehidupan mereka. Maka, yang terjadi rasisme terus bermunculan.
Sejatinya, rasisme tak akan ada di dalam sistem Islam, yakni Kh!l4f4h. Sebab rasisme bukan ajaran Islam. Walaupun, Islam diturunkan di Arab, Allah menegaskan melalui lisan Baginda Nabi Shallallahu alaihi wasallam bahwa mereka tidak memiliki kelebihan apapun dengan non Arab. Allah azza wa jalla menegaskan semua manusia sama di hadapan RabbNya, hanya yang membedakan diantara mereka adalah ketakwaannya saja.
Jadi, sejatinya, semulia-mulia manusia adalah yang paling bertakwa. Ini artinya bahwa mulianya hamba di akhirat karena takwanya bukan karena harta atau keturunan selama di dunia. Sebagaimana dalam surat al hujurat ayat 13.
Di hadist lain ditegaskan dari Abu Hurairah ra, Allah tidak melihat rupa dan harta, melainkan melihat hati dan amal. (Hadist Riwayat Muslim, Shahih Muslim, Bab 12, hal 427. No. hadist 465)
Karena itu, akan didapati ketika Kh!l4f4h tegak berdiri selama 1300 tahun lamanya, berbagai ras, suku, bangsa maupun warna kulit bisa hidup dalam kerukunan dan kesatuan. Salah satu buktinya adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa Kekhalifahan bani Umayyah bernama Atha' bin Abi Rabah. Beliau adalah seorang budak berkulit hitam milik Habibah binti Maisarah bin Abu Hutsain dan tinggal di Makkah.
Sang tuan melihat potensi keilmuan Sang Atho' yang luar biasa. Kemudian Habibah memerdekakan Atha' agar Atho' bisa memperdalam keilmuannya. Atho' pun menjadi seorang ulama dan keilmuannya diakui oleh keh!laf4h4n Bani Umayyah. Atho' diangkat menjadi seorang mufti atau pemberi fatwa untuk muslim haji pada masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Di samping itu, Atho' juga diangkat sebagai penasihat khalifah. Tidak hanya konsep tersebut, konsep toleransi dalam Islam juga mampu menyatukan berbagai agama dengan satu kepemimpinan negara dalam naungan Kh!l4f4h.
Allah Ta'ala berfirman dalam surat al Kafirun ayat enam, "Untukmu agamamu, untukku agamaku' dan Allah pun menegaskan dalan surat al-Baqarah ayat 256 bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Karena telah jelas di antara kebenaran dan kesesatan. Dan Allah pun memerintahkan dalam firman-Nya sebagaimana dalam surat an-Nisa ayat 32 agar seorang hamba tidak iri hati dengan nikmat yang Allah beri. Baik itu berupa kecerdasan, kemuliaan, nama baik, pangkat, jabatan, maupun harta benda yang berlimpah.
Di dalam kitab Daulah Islamiyyah, syaikh Taqiyuddin menjelaskan bahwa warga dalam sistem Islam terdiri dari muslim dan non muslim. Dalam kehidupan publik mereka mendapatkan jaminan yang sama, layanan yang sama, hak yang sama. Negara yang berlandaskan Islam tak boleh memaksa warganya yang non muslim untuk masuk agama Islam. Salah satu contohnya yaitu sebagaimana yang dicontohkan Umar bin Khattab. Ketika itu Umar ada seorang wanita tua beragama Nasrani yang dibantu oleh Khalifah melunasi utang-utangnya. Saat itu, khalifah menanyakan, "mengapa engkau tidak masuk Islam?" Lalu, wanita tersebut berkata, "Biarlah aku yang menjadi wanita terakhir dengan agama ini".
Sontak, sejak saat itu, khalifah Umar merasa bersalah. Padahal beliau hanya bertanya. Begitulah sistem pemerintahan Islam meniadakan rasisme sehingga terwujud kesatuan dan persatuan diantara warga negaranya. Wallahu A'lam bishawab.
Baca juga:

0 Comments: