Headlines
Loading...
Sinyal Kepentingan Politik dalam Revisi UU Desa

Sinyal Kepentingan Politik dalam Revisi UU Desa

Oleh. Najwa Ummu Irsyad 
(Aktivis Muslimah)

Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menuntut revisi UU 6/2012 (UU desa) tentang kenaikan dana desa. Pasalnya penambahan alokasi dana desa diperlukan untuk menunjang pembangunan desa. Selain itu mereka juga menuntut perpanjangan masa jabatan kades menjadi sembilan tahun dan beberapa tuntutan lain. 

Simbiosis Kades dan DPR

Meski keinginan Apdesi sudah muncul sejak tahun 2019, tahun 2021 MK hanya memutuskan bahwa masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dan paling banyak menjabat tiga kali masa jabatan konstitusional. Memasuki tahun 2023 para Jepara desa melakukan demo besar menuntut perpanjangan masa jabatan kembali. 

Tidak membutuhkan waktu yang lama, pertengahan tahun ini Panja Penyusunan RUU Desa menyepakati 19 poin perubahan, salah satunya peningkatan alokasi dana desa menjadi 20 persen dari total dana transfer daerah atau sekitar dua kali lipat dari alokasi dana desa saat ini. Masa jabatan kades juga diperpanjang menjadi sembilan tahun.

Proses ketok palu yang tidak memakan waktu lama tersebut seolah memperlihatkan bahwa tuntutan kades dan disahkannya UU desa yang baru merupakan simbiosis mutualisme antara kedua belah pihak. 

Korupsi dan Kepentingan Politik

Sebelum UU desa ini direvisi, banyak pro kontra yang terjadi di masyarakat. Selain bernuansa politis dengan tukar guling dukungan menuju kontestasi pemilu 2024, usulan tersebut akan menyuburkan oligarki di desa dan politisasi desa. Menurut  Indonesia Corruption Watch (ICW) korupsi di tingkat desa menempati urutan pertama. Sepanjang tahun 2015 hingga 2021, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar (antikorupsi.org/26/01/23).

Jumlah yang cukup miris, namun anehnya alih-alih menjegal usulan perpanjangan masa jabatan, sinyal positif dan gerakan sat-set justru ditunjukkan sejumlah partai politik dan politisi DPR  dalam proses revisi UU tersebut. Tidak mengherankan, sebab, ada potensi suara besar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis di desa, mengingat pemilu 20124 didepan mata. 

Lemahnya Pengawasan 

Rentannya dana desa untuk disalahgunakan sebenarnya juga disadari oleh pemerintah. Sehingga pada Juli 2017 dibentuklah Satuan Tugas Dana Desa (Satgas DD). Satgas ini bertugas untuk mengawasi pelaksanaan penggunaan dana desa, merumuskan kebijakan terkait, dan menerima serta menindaklanjuti laporan dugaan penyimpangan dana desa. Sayangnya, sampai saat ini belum ada tindakan serius yang dilakukan Satgas DD dalam menghadapi korupsi dana desa yang semakin lama semakin meningkat.

Selain itu, banyaknya kasus korupsi dana desa yang telah menjerat pelakunya dalam jeruji besi ternyata tidak memberilan efek jera terhadap pelaku. Ancaman hukuman bagi pelaku korupsi di secara umum pun juga tidak mampu memberikan efek takut bagi yang lain. Bahkan di level penegak hukum juga tersandung kasus korupsi. Hal ini membuktikan lemahnya pengawasan tindak pidana korupsi di negeri ini.

Politik Sekuler Berbiaya Tinggi

Sistem demokasi adalah sistem yang mahal. Dimana pelaku politik harus mengeluarkan dana yang tdak sedikit untuk mendapatkan jabatan dan kedudukan. Untuk menduduki jabatan kepala desa saja membutuhkan dana hingga milyaran. Sedangkan gaji yang diterima hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, tidak mampu mengembalikan modal awal. Oleh sebab itu salah satu jalan ninja mengembalikan modal masa kampanye adalah dengan korupsi. 

Sesat Pikir

Anggapan bahwa membangun desa itu membutuhkan dana yang tinggi sekilas memang masuk diakal. Karena secara fisik, infrastruktur dan beberapa hal jauh berbeda jika dibandingkan dengan kota. Namun sejatinya pembangunan tidak hanya berfokus pada fisik semata. Kesejahteraan masyarakat memang didukung oleh infrastruktur yang memadai, namun kebijakan politik yang benar-benar mengurusi urusan umat menjadi satu hal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.

Sebesar apapun dana yang dialokasikan untuk rakyat, tidak akan mampu mensejahterakan jika kebijakan yang dibuat tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Besarnya anggaran justru berpotensi membuka peluang korupsi lebih besar. Dana desa yang sebelumnya mencapai 1 milyar saja belum terserap sempurna dan menyentuh kesejahteraan rakyat. Apalgi jika sekarang naik hingga dua kali lipat. 

Selanjutnya jika benar perpanjangan masa jabatan untuk kepentingan rakyat, seharusnya keadaan desa sepuluh tahun mendatang sudah jauh meningkat kesejahteraannya. Berbagai infrastruktur dan pembangunan akan marak didesa-desa. 

Pengurusan Umat dalam Islam

Polemik UU desa dan kepentingan politik yang terjadi saat ini dipastikan tidak akan muncul dalam sistem politik Islam. Hal ini disebabkan jabatan kepala desa ataupun jabatan yang lainnya adalah amanah. Amanah yang harus ditunaikan sesuai dengan ketentuan dan tuntutan Negara. Sebab seorang pemimpin dia tidak hanya bekerja secara fisik untuk kepentingan rakyat semata, namun ada tanggung jawab besar terhadap jabatan yang diembannya kepada Allah Swt. 

Kekuatan dari pemahaman bahwa pekerjaan dan jabatannya tidak hanya dinilai dan diawasi oleh manusia yang membuat seorang pemimpin bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanahnya. Sebagai manusia biasa, meski memiliki aqidah yang kuat dan pemahaman islam yang bagus bisa saja terjadi kesalahan penerapan. Namun sistem Islam telah merancang semua itu agar kembali kepada yang benar.

Sistem pemerintahan Islam didukung oleh berbagai sistem tangguh lain, misalnya sistem perekonomian yang kuat. Pemerintah akan memastikan setiap pemimpin memperoleh kebutuhan sandang, pangan, papan, dan fasilitas yang memadai untuk mendukung pekerjaannya. Selain itu sistem pengawasan keuangan akan memeriksa detail kekayaan seseorang yang akan menjabat dan menghitung kembali setelah masa jabatannya usai. Jika ada selisih yang mencurigakan maka badan pengawas tersebut akan mendetili dari mana penambahan tersebut.

Disisi hukum, sistem Islam memberlakukan hukum sangsi yang tegas bag pelaku kejahatan. Pelaku korupsi akan mendapatkan hukuman takzir karena merugikan Negara dan hudud karena mencuri harta Negara. 

Demikian Islam tidak hanya mengatur hukuman bagi pelaku kejahatan semata, namun juga mengurusi dan mencegah agar seorang pejabat tidak mengejar dunia, memberikan ketenangan hidupnya, sehingga ia akan mencurahkan semua perhatiannya untuk kesejahteraan rakyat. Wallahua’lam bishowab. [Rn]

Baca juga:

0 Comments: