OPINI
Tentang Pernikahan Beda Agama
Oleh. Sri Setyowati
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Baru-baru ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuat keputusan yang membolehkan nikah beda agama. Pemohon pernikahan beda agama tersebut, JEA yang beragama Kristen berencana menikah dengan SW, seorang muslimah. Putusan yang mengabulkan keduanya menikah tertuang dalam nomor 155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst. Pernikahan dilakukan antara perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim dan sebaliknya laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim. (Republika.co.id, 24/06/2023)
Hakim Bintang, AL, menyatakan putusan itu sesuai Pasal 35 huruf a UU 232006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Juga berdasarkan putusan MA Nomor 1400 K/PDT/1986 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan beda agama. Pengadilan berpendapat bahwa perkawinan antar agama secara obyektif sosiologis adalah wajar dan sangat memungkinkan terjadi mengingat letak geografis Indonesia, heterogenitas penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara sah keberadaannya di Indonesia. (detiknews.com, 25/06/2023)
Sebelum PN Jakarta Pusat, beberapa pengadilan di daerah lain telah lebih dulu membolehkan nikah beda agama adalah PN di Surabaya, Yogyakarta, Tangerang hingga Jakarta Selatan. (detiknews.com, 25/06/2023)
Putusan PN Jakarta Pusat tersebut tentu berseberangan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai nikah beda agama yaitu bahwa pernikahan beda agama dilarang. Bahkan MUI dalam fatwanya yang dikeluarkan pada Juli 2005 dan ditandatangani oleh Ketua MUI KH Ma'ruf Amin, menyebutkan bahwa hukum pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram dan tidak sah. (republika.co.id, 24/06/2023)
Dikabulkannya pernikahan beda agama ini yaitu antara laki-laki non muslim dengan muslimah menunjukkan pelanggaran terhadap hukum agama. Negara tidak lagi berfungsi dalam menjaga tegaknya hukum Allah dan melindungi rakyat untuk tetap dalam ketaatan pada Allah Swt.
Sistem sekuler yang diterapkan saat ini cenderung melahirkan paham liberal di mana negara tidak mencegah tetapi justru membuka peluang terjadinya pernikahan beda agama, seperti misalnya menikah di luar negeri atau mengubah salah satu agama dari calon pengantinnya dulu agar pernikahan sah.
Di samping itu, derasnya arus pluralisme yang menganggap bahwa semua agama sama benar, menjadikan tidak boleh ada yang mengklaim bahwa agamanya yang benar dan yang lain salah. Sehingga tidak boleh ada diskriminasi dalam masalah agama. Demikian juga dalam masalah pernikahan beda agama. Ketika orang mempermasalahkan pernikahan beda agama, maka dianggap memiliki sikap yang diskriminatif. Padahal Allah telah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 19 yang artinya, " Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam."
Dalam hukum Islam, pernikahan beda agama adalah dilarang, namun faktanya banyak terjadi pelanggaran. Islam melarang muslimah menikah dengan pria non muslim, musyrikin maupun ahli kitab. Sedangkan pria muslim masih diizinkan menikahi wanita non muslim asalkan dia dari ahli kitab. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221 yang artinya: “Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Dalam sistem Islam, apabila ada pelanggaran terhadap pernikahan beda agama, maka akan diberikan sanksi. Selain itu, bagi yang melanggar baik muslim menikah dengan wanita musyrik maupun muslimah menikah dengan lelaki ahli kitab atau musyrik akan mendapatkan dosa dan pernikahannya dinyatakan batal. Pelakunya bukan hanya dianggap melanggar hukum pernikahan, tetapi juga dinyatakan telah melakukan zina. Karena itu, jika tidak dibatalkan maka pelakunya bisa dijerat dengan pasal zina dan dikenai sanksi perzinahan.
Sanksi perzinahan tergantung kepada masing-masing pasangan. Jika sebelumnya mereka belum pernah menikah, maka bisa dijatuhi sanksi jilid atau cambuk sebanyak 100 kali dan mereka harus dipisahkan karena pernikahannya dianggap tidak ada. Jika sebelumnya mereka pernah menikah, maka bisa dijatuhi sanksi rajam atau dilempar batu hingga mati.
Jika pernikahan atau perzinahan ini terus berlanjut hingga melahirkan anak, maka status nasab anaknya tidak bisa disebutkan kepada bapak biologisnya. Dengan demikian bapak biologisnya tidak bisa menjadi wali dari anak tersebut. Demikian juga dengan konsekuensi waris bagi masing-masing, baik bapak mewarisi anaknya maupun anak mewarisi bapaknya, sama-sama tidak bisa diberlakukan.
Jika kondisi seperti ini terjadi, maka negara harus mempunyai data yang akurat terkait dengan mereka dan anak-anaknya, sehingga hukum Islam bisa diterapkan dengan tepat dan akurat. Misalnya ketika anak tersebut hendak menikah dan membutuhkan wali, maka bapak biologisnya tidak bisa menjadi walinya. Ini penting untuk menghindari ketidak-absahannya akad berikutnya, sehingga bisa menimbulkan zina turunan. Dalam hal ini, penguasa negaralah yang akan bertindak menjadi wali bagi anak-anak seperti ini. Selain aspek perzinahan, pernikahan seperti ini bisa menjadi sarana pemurtadan.
Demikianlah ketentuan dalam Islam terkait dengan pernikahan beda agama. Islam tidak hanya menjamin kehormatan dan kesucian kaum muslim dan muslimah, tetapi Islam juga mewujudkan hikmah pernikahan yaitu terwujudnya sakinah (ketenangan jiwa), mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) diantara mereka. Hal ini menunjukkan pula bahwa Islam menjaga setiap jiwa dari ancaman sanksi rajam yang bisa mengantarkan pada kematian, sekaligus menyelamatkan dari ancaman pemurtadan yang berujung pada sanksi pembunuhan.
Wallahu a'lam bi ash-shawab. [my]
0 Comments: