OPINI
Waspada Antraks, Pemerintah Harus Sigap
Oleh. Homsah Artatiah, S.si.
Antraks merupakan penyakit zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan kepada manusia atau sebaliknya). Baru-baru ini terjadi kasus penularan antraks pada manusia di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Bacillus anthracis merupakan bakteri penyebab antraks yang menginfeksi hewan ternak seperti sapi kepada manusia.
Dilansir dari tempo.co.id (6/7/2023), lmran Pambudi sebagai Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes menyatakan kejadian antraks ini ditandai dengan lima kali rangkaian peristiwa kematian ternak di lokasi setempat dalam kurun Mei hingga awal Juni 2023. Sapi dan kambing yang mati diketahui milik warga berinisial KR dan SY. Sapi milik KR mati pada 18 Mei 2023 kemudian disembelih dan dibagikan kepada warga untuk dikonsumsi. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab penyebaran kasus antraks. Infeksi antraks tersebut telah memakan korban jiwa. Warga Candirejo Semanu, Gunung Kidul berinisial WP (72) menjadi pasien yang meninggal dunia dengan diagnosis suspek antraks. Miris, kejadian antraks di Yogyakarta ini ternyata hampir setiap tahun terjadi diantaranya terjadi 31 kasus pada 2019, dan 23 kasus pada 2022. Pada 2023 sudah ada tiga kasus pasien meninggal dunia akibat antraks.
Kejadian Berulang
Kejadian antraks di Gunung Kidul ini bukan sekali dua kali saja. Salah satu faktor yang mendorong meningkatnya risiko penularan antraks di Gunung Kidul karena ada tradisi brandu atau purak. Brandu merupakan tradisi memotong paksa hewan ternak sakit atau ternak yang mati mendadak. Daging hewan tersebut kemudian dijual kepada tetangga dengan harga di bawah standar.
Timbul dugaan tradisi tersebut terus lestari karena terkait dengan kondisi sosial ekonomi warga. Peternak merasa 'eman' (sayang) takut rugi kalau ternak yang sudah mati tersebut dikubur begitu saja, sehingga mereka akhirnya menyembelih secara paksa hewan sakit, bahkan yang sudah jelas mati (bangkai). Dari sisi masyarakat, mereka merasa harus ada gotong royong peduli terhadap warga yang kena musibah akibat ternaknya mati.
Budaya brandu ini seakan menunjukkan potret kemiskinan di masyarakat. Masyarakat rela memakan daging kualitas rendah, yaitu daging dari hewan sakit atau daging mati yang disembelih. Harga daging sapi segar saat ini kalau di pasar tradisional tempat penulis sekitar Rp140.000 per kilo gram. Sepertinya harga daging sapi di daerah lain pun tidak jauh berbeda, sama-sama tinggi!
Tidak dapat dipungkiri dengan harga yang tinggi membuat daging menjadi komoditas pangan untuk kalangan tertentu. Tidak semua orang mampu membelinya. Masyarakat miskin nampaknya harus berpikir ulang untuk membeli daging. Kondisi memaksa mereka untuk lebih fokus konsumsi pangan yang mengenyangkan asal terjangkau.
Akibatnya terjadi ketimpangan pola konsumsi pangan di tengah masyarakat. Alih-alih konsumsi pangan gizi seimbang, pada masyarakat ini proporsi antara konsumsi pangan sumber karbohidrat dengan protein hewani sangat timpang. Alhasil kasus stunting pun kerap membayangi masyarakat miskin. Dalam kasus ini, siapa yang harus bertanggungjawab?
Biang Kerok Kapitalisme
Saat ini standar harga mahal atau murah bukan ditentukan oleh mekanisme pasar. Para kapital yang memonopoli pasar menjadi aktor utama penentu harga. Ini menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme di negeri ini. Kita tentu masih ingat dengan kasus suap daging impor yang melibatkan individu, swasta, dan pemerintah.
Di sisi lain, kapitalisme membuat mindset manusia sebatas meraih kepuasan materi dan menomorduakan standar halal dan haram. Akhirnya mau tak mau masyarakat miskin rela mengonsumsi daging kualitas rendah rawan terkontaminasi bakteri patogen seperti Bacillus anthracis padahal nyawa sebagai taruhannya. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Bacillus anthracis dianggap sebagai agen senjata biologis potensial (ncbi.nlm.nih.gov).
Kasus antraks tidak boleh dipandang remeh. Pemerintah harus sigap memberikan edukasi, aturan, dan tindakan nyata memutus akar masalah antraks ini. Seperti disebutkan di atas bahwa budaya brandu menjadi faktor yang meningkatkan risiko penularan antraks. Artinya, pemerintah harus optimal sigap berusaha menghilangkan budaya tersebut karena sangat membahayakan kesehatan. Secara individu akan sulit menghilangkan budaya yang ada di masyarakat. Namun dalam konteks negara, seorang pemimpin punya kuasa.
Budaya brandu juga tidak sesuai dengan ajaran Islam. Umat Islam dilarang memakan bangkai alias binatang yang sudah mati duluan sebelum disembelih. Allah Swt. berfirman di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan bukan atas nama Allah, yang tercekik, yang terpukul, dan jatuh ..."
Islam mengatur masalah makanan. Bagi seorang muslim, halal dan baik/tayib menjadi standar penentu boleh tidaknya makanan dikonsumsi. Hal itu jelas tertulis di dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 168 "Wahai manusia! Makanlah dari makanan yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu merupakan musuh nyata bagimu.”
Negara Sebagai Pengurus Urusan Rakyat
Syariat Islam menetapkan bahwa negara punya tugas mengurus urusan rakyatnya. Itu akan diminta pertanggungjawabannya. Di dalam sistem Islam seorang Kh4l1f4h akan menetapkan kebijakan yang terbaik agar rakyatnya hidup layak dan sejahtera. Pengendalian kasus antraks bisa dilakukan secara preventif maupun kuratif. Secara preventif brandu tidak akan terus dilestarikan karena akan membahayakan manusia.
Dilansir dari gunungkidul.sorot.co (7/2/2022) drh. Retno Widyastuti menyebutkan bahwa infeksi antraks bagi hewan adalah sudden death sehingga hewan yang terinfeksi harus segera diberi pertolongan disuntik antibiotika. Jika terlanjur mati maka hewan tersebut tidak boleh disembelih karena jika darah keluar maka bakteri akan keluar membentuk kapsul atau spora yang akan melindunginya sehingga kuat bertahan di dalam tanah sampai 80 tahun. Dari sini sudah jelas ya bahwa penguasa seharusnya mampu melakukan pendekatan komunikasi, edukasi, maupun informasi yang jelas tentang bahaya antraks ini kepada masyarakat baik itu peternak maupun warga sekitar.
Sebagai pemimpin, di dalam Islam seorang Kh4l1f4h sejatinya akan mengedukasi masyarakat agar mereka memiliki kepribadian Islam. Dengan pemahaman Islam masyarakat mampu berpikir dan bersikap sesuai syariat. Alhasil budaya brandu tidak akan lestari. Prinsip tolong-menolong akan ditempatkan pada konteks yang benar. Membantu tetangga dengan membeli hewan sakit kemudian dikonsumsi jelas tidak dibenarkan karena ini akan membahayakan. Prinsip tolong-menolong yang dibenarkan adalah tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, bukan tolong-menolong yang mendatangkan bahaya.
Last but not least secara sistem seorang Kh4l1f4h akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang adil sehingga menjamin rakyatnya mampu membeli seluruh kebutuhan pokoknya termasuk membeli daging kualitas baik. Kh4l1f4h juga akan memberi subsidi kepada peternak sehingga mereka mampu merawat ternak dengan baik dan sehat. Wallahualam. [Ni]
0 Comments: