OPINI
Derita Driver Ojol, Buah Buruk Sistem Kapitalisme
Oleh. Hamsia (Pegiat literasi)
Nasib pekerja Ojek Online (Ojol) kian menderita. Alih-alih mau hidup sejahtera bekerja dari pagi sampai malam justru upah yang didapat tidak seberapa. Sebab hubungan kemitraan antara pengemudi ojek daring dengan perusahaan aplikasi menjadikan posisi mereka semakin terjepit. Hal ini diakui oleh ahli hukum perubahan UGM.
Sejumlah pekerja ojol, yang ditemui BBC Nwes Indonesia, mengatakan dalam sehari mereka memperoleh antara Rp 10.000 sampai Rp 100.000. bahkan ada kalanya nol rupiah (BBC.Com, 26/7/2023)
Mirisnya, upah harian yang sangat minim tersebut didapatkan para pekerja ojol bahkan tak jarang mereka berangkat pagi-pagi buta dan pulang tengah malam. Sementara pendapatan yang begitu minim, para ojol harus menanggung sendiri perawatan motor, bensin, dan paket data internet ditanggung oleh pengemudi ojol bukan pihak aplikator.
Inilah fakta pengemudi ojol yang terjepit dalam kebijakan yang menjadikannya sebagai mitra perusahaan. Nasib mereka tidak akan pernah baik selama masih dalam sistem kapitalis, karena cara pandang kapitalisme adalah materi. Alhasil, mereka tak mendapatkan hak-hak pekerja bahkan tak memiliki nilai tawar untuk mengadukan nasibnya pada pihak yang berwenang. Pun tampak penguasa sendiri membiarkan kezaliman itu terjadi para pekerja driver ojol.
Semua persoalan ini berakar dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini, sistem ini melepaskan tanggungjawab negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pasalnya negara menyerahkan urusan pembukaan lapangan kerja yang luas bagi pihak swasta, sementara negara hanya membuat regulasi yang faktanya justru membuat rakyat sengsara, sebagaimana UU Ciptaker.
Negara juga lepas tangan dan tidak bertanggungjawab terhadap nasib driver ojol yang terpuruk, dan sulitnya mencari pekerjaan di negeri ini sehingga menjadikan para driver ojol bertahan dengan nasibnya yang diberlakukan tidak adil oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Alhasil, sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini berhasil menambah daftar panjang penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyatnya.
Disinilah perusahaan-perusahaan menekan pengeluaran modal salah satunya dengan meminimalisir gaji pekerja, mereka menggunakan berbagai cara mewujudkannya meski dampaknya merugikan pekerja. Sebut saja perusahaan ojek online demi mendapatkan keuntungan maksimal tanpa ada kerugian mereka tak mau menganggap para pengemudi online sebagai pekerja, tetapi sebagai mitra. Padahal jika diperlakukan sebagai mitra, keuntungan hasil kerja tersebut harusnya dibagi merata, demikian pula kerugian harus ditanggung bersama. Namun faktanya pengemudi ojol justru mendapat kerugian, sementara keuntungan besar diembat perusahaan aplikator.
Berbeda dengan sistem Islam yang menerapkan seluruh aturan Islam secara sempurna. Penerapan aturan Islam akan membawa kebaikan bagi siapapun dimuka bumi ini. Islam menempatkan negara sebagai pengurus urusan umat yang menjamin terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi setiap rakyatnya.
Dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan, negara Khil4f4h akan menjamin secara tidak langsung. Negara akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya yang diperuntukkan bagi kepala keluarga, ini adalah tanggungjawab Khalifah sebagai kepala negara yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Penerapan sistem ekonomi Islam dengan konsep kepemilikannya memastikan hal ini, sebab seluruh SDA dalam Khil4f5h diposisikan sebagai kepemilikan umum (rakyat). SDA tersebut hanya boleh dikelola oleh negara untuk dikembalikan keuntungan atau kemanfaatannya bagi rakyat secara utuh bukan sebagai ladang bisnis. Untuk SDA yang membutuhkan usaha eksplorasi dan sistem pengelolaan khusus sebelum didistribusikan ke masyarakat seperti migas, batubara dll, maka negara tentu membutuhkan pekerja dalam jumlah besar.
Disinilah negara mempekerjakan rakyatnya sebagai tenaga ahli maupun terampil dan menggajinya sesuai sistem pengupahan dalam Islam. Selain itu negara akan membuka iklim usaha di tengah masyarakat dengan memberikan modal secara Cuma-Cuma hingga memberi dukungan infrastruktur.
Islam memiliki pengaturan akan kerja yang manusiawi dan bebas eksploitasi. Penetapan upah dalam sistem Islam didasarkan pada nilai manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja, baik upah itu mencukupi kebutuhannya ataupun tidak.
Dengan demikian upah pekerja antara sektor dan profesi akan berbeda-beda dan relatif berbeda. Upah tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pihak pekerja dan pemberi kerja mereka dapat merujuk pada pendapat ahli ketenagakerjaan mengenai jumlah yang sesuai dengan harga pasar tenaga kerja.
Posisi tenaga kerja dan pemberi kerja adalah setara mereka boleh mengadukan perkaranya kepada qadhi (hakim) jika salah satu pihak merasa didiskriminasi karena ketidakjelasan akad atau pelanggaran akad kerja. Meski upah dalam Islam disesuaikan jenis pekerjaan, negara tetap menjamin kesejahteraan setiap rakyatnya. Sebab dalam Islam pelayanan pendidikan dan kesehatan diberikan secara gratis. Hanya khilafah yang mampu mengeluarkan rakyat dari kesulitan hidup. Wallahu a’lam bis shawwab. [Rn]
0 Comments: