OPINI
Gegara Made in China, Indonesia Kian Tak Berdaya, Harus Bagaimana?
Oleh. Yuki Zaliah
Banjir made in China. Inilah realitas yang ada di depan mata kita. Produk-produk China ada di setiap rumah penduduk Indonesia. Sebut saja produk elektronik, hampir semua produk elektronik made in China, hingga mainan anak dan barang-barang rumah tangga. Namun ternyata banyak juga yang tidak bertuliskan made in China, tetapi dia diimpor dari sana, seperti sembako dan bahan baku produksi. Bahkan salah satu platform media sosial yang banyak digunakan oleh penduduk Indonesia, TikTok, berasal dari China.
Dikabarkan TikTok hendak meluncurkan Project S yang dicurigai sebagai salah satu cara untuk mendapatkan database konsumen Indonesia mengenai produk apa saja yang paling banyak diminati. Kemudian diproduksi di China untuk dipasarkan di Indonesia melalui social commerce, TikTok (www.medcom.id, 10/7/2023).
Bisa dibayangkan bagaimana kehancuran masa depan UMKM jika kecurigaan ini benar adanya. Sedangkan pemerintah belum mampu memberikan perlindungan kepada UMKM.
Teknologi di ujung jari. Semua kemudahan itu ternyata memicu permasalahan yang cukup kompleks. Pemerintah belum bisa menyiapkan aturan untuk memperkecil dampak dari perubahan zaman yang begitu cepat.
Salah satunya dampak yang dirasakan oleh para pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) dengan adanya social commerce atau e-commerce yakni para konsumen banyak yang lebih memilih membeli barang dari luar negeri karena harga yang lebih murah dibanding produk dalam negeri.
Tentu saja, hal ini menjadi ancaman bagi keberlangsungan UMKM yang rata-rata bermodal pas-pasan. Mereka harus berjuang ekstra untuk keberlangsungan usahanya. Bersaing dengan para pemodal besar termasuk produsen asing. Walhasil, produk Indonesia semakin tidak berdaya dihadapkan dengan produk-produk luar negeri.
Dimana Peran Pemerintah Sekarang?
Pemerintah sudah memberikan bantuan kepada para pelaku UMKM. Namun, faktanya bantuan tersebut tidak memberikan efek berarti. Buktinya, tiap bulan banyak pelaku UMKM yang akhirnya menutup usahanya karena kehabisan modal, tidak ada pembeli karena kalah bersaing, dan beberapa alasan lainnya.
Selain itu, ada faktor lain yakni daya beli masyarakat Indonesia yang rendah. Masyarakat dipaksa untuk bisa mengatur pengeluarannya seminimal mungkin. Tentu mereka akan memilih mana yang termurah tanpa memikirkan dampak terhadap UMKM. Juga hanya membeli yang penting saja.
Permasalahan yang saling berkaitan ini bagai benang kusut, yang dilepas satu masalah akan muncul masalah yang lainnya seperti tidak akan terurai.
Mengapa Daya Beli Masyarakat Semakin Rendah?
Dalam sistem ekonomi kapitalisme yang meletakkan pajak sebagai sumber pendapatan utama, mengharuskan setiap aktivitas jual beli ada pajak yang dibebankan. Sehingga harga produk menjadi naik. Contoh, harga asli barang 100.000 rupiah, karena ada pajak pertambahan nilai 10% maka pembeli harus membayar 110.000 rupiah. Ini membuat daya beli masyarakat menurun karena harga barang semakin naik. Selama masih berpegang pada sistem kapitalisme, pajak pertambahan nilai akan terus ada. Membuat harga barang semakin naik dan naik terus. Dengan kata lain, jangan berharap stabilitas ekonomi bisa diraih dalam sistem kapitalis sekuler. Karena pajak pasti akan selalu dibebankan.
Benang kusut itu masih bisa terurai. Bagaimana caranya?
Sebagai negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, sudah sewajarnya mengambil solusi dari Islam.
Memangnya bisa, Islam menyelesaikan masalah perekonomian negara?
Islam bukan sekadar agama ritual. Islam agama yang sempurna, di dalamnya memuat aturan/syariat dalam berbagai sendi kehidupan, termasuk perekonomian.
Bagaimana cara Islam menyelesaikan permasalahan ini?
Dalam sistem ekonomi Islam, aktivitas jual beli sesama warga dalam negeri tidak dipungut pajak sedikit pun. Sehingga tidak ada penambahan nilai dari produk yang diperjualbelikan. Daya beli masyarakat jadi lebih stabil.
Sedangkan untuk jual beli yang berhubungan dengan luar negeri, Islam memberi aturan-aturan khusus. Seperti produk yang diperjualbelikan harus halal. Pihak luar negeri harus memiliki visa atau surat keterangan izin masuk ke dalam negeri. Negara akan memantau warga negara lain saat beraktivitas jual beli di dalam negeri. Termasuk jual beli secara online.
Tidak hanya di situ, negara juga sangat mempertimbangkan status produk yang akan diimpor atau diekspor. Jika kebutuhan masyarakat akan komoditas produk tertentu sudah tercukupi maka diperbolehkan untuk menjualnya ke luar negeri. Namun, apabila kebutuhan di dalam negeri saja masih kurang, maka negara akan melarang komoditas tersebut diekspor ke luar negeri.
Sehingga dalam sistem Islam, tidak akan ditemui hal seperti kasus kelangkaan minyak goreng beberapa waktu silam. Karena harga minyak goreng dunia yang melambung tinggi, membuat para produsen minyak tergiur mengekspor minyaknya ke luar negeri. Hingga mengakibatkan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri yang berdampak melambungnya harga minyak goreng hingga dua kali lipat. Sungguh, salah satu cerminan ekonomi kapitalisme yang hanya mengejar keuntungan semata tanpa mempedulikan kepentingan orang lain.
Begitu juga impor. Jika produksi di dalam negeri akan suatu komoditas itu sudah melimpah maka impor akan dilarang demi melindungi produk dalam negeri tidak tersaingi oleh produk luar negeri. Juga menjaga agar harga produk tidak anjlok.
Betapa teraturnya Islam dalam mengatur stabilitas perekonomian negaranya. Kesejahteraan mudah didapatkan dalam perekonomian Islam. Negara memberikan perhatian sepenuhnya terhadap rakyat, karena sadar peran pentingnya dalam menjaga rakyat dan adanya pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Seperti dikatakan dalam hadis:
…الإِÙ…َامُ رَاعٍ Ùˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR Bukhari dan Ahmad).
Wallahualam bissawab. [Ni]
0 Comments: